
Sabtu, 15 Desember 2018. Perjumpaan antara teman lama terjadi di Blok M Square, Jakarta. Kami berjumpa untuk saling berbagi cerita, saling mendukung dalam nestapa. Ada teman lain yang akan datang. Namun, ia terhalang. Kami paham, dan berjanji untuk tetap saling berkomunikasi. Percakapan pun dilanjutkan di tengah riuh Blok M Square.
Tak lama kemudian, tiga orang teman datang. Sebelumnya, saya tak kenal mereka. Namun, percakapan di antara kami pun mengalir. Kami berlima, sebuah cerita perjalanan dari orang asing menjadi sahabat peniti kehidupan.
Dari dalam kedai kopi, seorang perempuan berbicara keras, “Atas nama Iwan!” Rupanya, kopi yang dipesan Mas Iwan sudah siap. Kami berlima saling menatap, dan tertawa. Tak ada seorang pun dari kami yang bernama Iwan. Panggilan perempuan dari dalam kedai kopi itu seperti memecah percakapan kami, dan memaksa kami kembali ke saat ini: “Atas nama Iwan“.
Kami berbincang sampai sore. Suasana begitu nyaman. Waktu terbang, begitu cepat lepas dari genggaman. Saatnya berpisah, untuk pulang ke rumah melanjutkan kehidupan.
Sebuah kisah cinta
Sabtu 15 Desember 2018 adalah sebuah kisah cinta. Pikiran-pikiran yang berbeda saling berbagi, dan mencari jalan. Harapan untuk mendapatkan inspirasi bertabrakan dengan berbagai tantangan yang ada. Kami berbagi. Kami saling menguatkan.
Tak seorang pun dari kami yang luput dari penderitaan hidup. Ada beberapa yang masih terjebak. Ada yang sudah mulai menemukan titik terang. Kami saling menguatkan di tengah pergulatan yang belum menunjukkan ujungnya.
Baca juga: Cinta Pertama dan Terakhir, Mungkinkah?
Ah betapa hidup merupakan guru yang paling agung. Setiap kita mengira sudah selesai belajar, satu lagi hal datang, dan memaksa kita untuk belajar. Kita dipaksa oleh hidup untuk terus mengubah diri, bertahan dalam naik turun peristiwa yang mungkin hanya berhenti, ketika kita mati.
Akhirnya, Sabtu 15 Desember 2018 adalah kisah tentang perpisahan. Pepatah Zen kuno mengatakan, bahwa kita bertemu untuk berpisah. Tak ada perjumpaan yang abadi. Tak ada kebersamaan yang berlangsung selamanya.
Belajar melepas
Salah satu kebijaksanaan Zen klasik adalah, bahwa setelah gunung, masih ada gunung-gunung lainnya. Hidup pun seperti itu. Ia bagaikan rangkaian gunung-gunung yang tak berakhir. Setelah satu masalah selesai, masalah-masalah lain pun menanti.
Dalam semua itu, manusia selalu membuat kesalahan. Seorang Zen Master pun adalah manusia yang penuh dengan kesalahan, dan akan terus melakukan kesalahan lagi. Itu sama sekali tak terhindarkan. Kita hanya bisa belajar, dan kemudian maju terus. Tenang saja, masih ada gunung-gunung lain yang siap mengajari kita.
Sabtu 15 Desember 2018, “Atas nama Iwan“, Filosofi Kopi, Blok M Square. Semua kata itu mengajarkanku tentang melepas. Melepas yang tak dapat digenggam, dan selalu kembali ke rumah sejatiku, yakni saat ini. Perih mungkin mengiris hati. Namun, kehidupan punya jalannya sendiri untuk mengobati, asal kita berani, saat demi saat, melepaskan genggaman kita atas kehidupan.
Bagaimanapun juga, kehidupan adalah sebuah kisah cinta. Ia mempertemukan, namun juga memisahkan. Ini adalah rangkaian hukum alam. Ini adalah kenyataan sebagaimana adanya. Terima kasih atas kenangan dan perjumpaan ini. Selamat jalan kawan.
Reza A.A Wattimena
Pelaku Zen, tinggal di Jakarta