• Wednesday, 9 June 2021
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Ada beberapa hal yang menarik dalam agama Buddha, yang membuat dunia Barat tertarik. Ada sebuah cerita: suatu saat, seseorang sedang berkunjung ke suatu ruangan, dan pada waktu itu seorang bhikkhu sedang berada di sana bersama dengan beberapa orang umat lainnya.

Di ruang tersebut terdapat banyak semut, bhikkhu itu meminta agar semut-semut tersebut disapu—mencegah agar tamu tersebut tidak membunuh semut-semut. Di samping itu, ia ingin mengajarkan dan memberikan contoh kepada tamu tersebut bahwa membunuh itu tidak baik.

Lalu, salah seorang umat mulai menyapu, tamu tersebut hanya memperhatikan dan berkata, “Bunuh saja semutnya!” Seorang umat yang lain berkata, “Jangan dibunuh, kita harus mencintai kehidupan.” Menurut tamu tersebut, membunuh semut juga berarti mencintai kehidupan. Semut itu mengganggu kehidupannya, dengan membunuh semut berarti dia telah mencintai kehidupannya sendiri.

Anda boleh mencintai kehidupan Anda, tetapi apakah dengan mencintai kehidupan sendiri, Anda harus membunuh mahkluk lain? Dengan tidak membunuh makhluk lain, sesungguhnya Anda bisa mencintai kehidupan Anda, seperti makhluk-makhluk itu yang juga mencintai kehidupannya sendiri. Anda juga tidak ingin dibunuh. Ketika Anda dianggap berbahaya oleh orang lain, orang itu akan membunuh Anda. Apakah hal itu yang Anda inginkan?

Di negara-negara buddhis, sejak kecil anak-anak diajarkan untuk tidak membunuh, misalnya, jangan menangkap jangkrik, kupu-kupu, atau memelihara burung. Anak-anak menjadi takut membunuh—karena orang tua mengajarkan bahwa membunuh dilarang oleh Buddha—dan takut akibat yang akan diterima jika membunuh makhluk hidup, tetapi mereka belum mengerti apa arti mencintai kehidupan.

Saat beranjak dewasa, saat mereka sudah dapat menggunakan intelektualitas mereka, barulah diberikan penjelasan mengapa tidak boleh membunuh. Apa hanya karena takut menerima buah karma buruk atau penderitaan. Bukan karena itu, tetapi karena kehidupan itu memang berharga.

Anak-anak di negara buddhis tidak membunuh karena pengaruh keyakinan orang tuanya, yakni membunuh dilarang oleh Buddha—karena membunuh akan mengakibatkan penderitaan. Tetapi beda halnya dengan seorang bapak yang baru belajar Dhamma, bapak itu tidak membunuh semut karena pengertiannya sendiri.

Ajaran Buddha bersifat konsisten, salah satunya adalah tentang konsistensi mencintai kehidupan. Dhamma tidak pernah membuat standar ganda tentang mencintai kehidupan. Contohnya: membunuh berarti tidak menghargai kehidupan, termasuk misalnya jika ada seseorang yang ingin mengganggu Buddha, maka orang itu tidak boleh dibunuh.

Buddha konsisten dengan ajarannya, seperti yang ada pada hukum alam yang selalu konsisten.

Dalam ajaran Buddha, menghargai kehidupan—larangan pembunuhan—menjadi hal yang sangat penting. Konsistensi tentang larangan itu, tidak akan pernah berubah. Berat dan ringannya akibat yang akan dialami dari perbuatan membunuh tentu berbeda-beda. Ajaran mencintai kehidupan sering disebut sebagai ‘metta’ atau cinta kasih—mencintai semua kehidupan tanpa kecuali.

Almarhum Soedjatmoko pernah menulis, bahwa ada dua pandangan tentang keberadaan manusia di dunia. Pandangan yang satu menyatakan bahwa manusia memiliki mandat untuk mengelola alam ini. Pengertian ini bisa memicu manusia untuk mengeksploitasi kekayaan alam. Pengertian yang kedua: manusia adalah bagian dari alam, penjaga alam, bukan pengelola alam.

Memancarkan metta dan menghargai kehidupan bisa langsung dilakukan dalam praktik dan sikap hidup sehari-hari. Kebaikan, ketulusan memang harus selalu dipelajari dan dilatih; tetapi keburukan tidak perlu sulit-sulit dipelajari. Semua sumber kebaikan berasal—mengalir—dari metta, mencintai kehidupan. Dengan berkembangnya metta, maka niat melanggar sila akan lebih sulit muncul karena pikiran telah terkondisikan pada hal-hal yang baik.

Dalam keadaan lain, seseorang yang minum minuman keras memiliki empat sahabat yang nanti nya akan selalu mengikutinya.

Yang pertama adalah berbohong atau berkata yang tidak benar, yaitu waktu berbicara saat sedang mabuk. Tanpa sadar ia akan mengatakan sesuatu yang tidak baik atau tidak benar.

Yang kedua, mencuri: seseorang yang telah kecanduan minuman keras akan mencuri jika tidak lagi memiliki uang untuk membeli minuman keras.

Yang ketiga, orang mabuk juga cenderung melakukan perbuatan asusila.

Yang terakhir, keempat, membunuh: orang yang kecanduan minuman keras akan melakukan segala cara untuk memperoleh apa yang diinginkan, termasuk membunuh, karena dia sudah tidak bisa mengendalikan dirinya lagi akan apa yang dilakukan.

Orang yang semula kecanduan dan sekarang telah sembuh dari kecanduannya, ia bisa teringat kembali pada kenikmatan kecanduan di masa lalu, dan ia bisa kembali pada kebiasaan yang tidak baik itu.

Rokok merupakan pembunuh yang sangat cepat, karena rokok banyak mengandung zat-zat yang tidak baik. Marilah mengembangkan metta, mencintai kehidupan, tidak hanya melaksanakan melalui ucapan, tetapi perbuatan. Setelah memiliki metta, maka seseorang akan memiliki karuna – welas asih, dan mudita – rasa simpati.

Dicuplik dari “Melihat Dhamma”, terbitan Insight Vidyasena Production.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *