• Thursday, 21 January 2021
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Kalau kita bersedia untuk melihat sekitar kita dengan lebih seksama, kita akan menemukan banyak hal-hal yang mungkin selama ini luput dari pandangan kita.

Selama ini bisa saja kita cenderung untuk mengabaikan hal-hal abnormal, tidak sempurna, dan hanya melihat hal-hal baik saja. Ya, mungkin kita dibesarkan dengan cara demikian: mengejar-ngejar kesempurnaan, menghilangkan kecacatan.

Tapi kita mungkin lupa, bahwa kita bisa saja menjadi bagian dari yang cacat itu, yang diabaikan itu. Lantas haruskah kita membiru? Meratap dan mengutuk?

Seperti halnya sebuah keramik yang pecah, keramik itu masih bernilai apabila diperbaiki dengan benar. Meminjam teknik perbaikan keramik Jepang yang disebut kintsugi, sebuah keramik yang telah pecah, bahkan dapat bernilai lebih dari kondisinya sebelum pecah.

Sebagai sebuah seni memperbaiki keramik pecah dengan tambalan logam mulia, kintsugi menghargai barang-barang pecah atau cacat dan memperbaikinya sebagai bagian sejarah dari obyek tersebut, daripada membuang barang tersebut.

Menurut salah satu teori, seni kintsugi berasal dari peristiwa dimana salah satu Shogun Jepang bernama Ashikaga Yoshimasa mengirimkan sebuah mangkuk teh Tiongkok kembali ke Cina untuk perbaikan pada abad ke-15 Masehi.

Ketika kembali kepadanya, dia menemukan perbaikan mangkuk teh tersebut jelek dengan menggunakan steples logam. Hal ini menginspirasi para ahli tukang Jepang untuk memperbaiki sesuatu dengan lebih estetik.

Baca juga: Menemukan Ikigai

Di cerita lainnya, menurut Bakōhan Saōki (catatan tentang mangkuk teh), kejelekan yang ada berkaitan dengan filosofi agama Buddha Zen yang mengaitkan keindahan dalam hal-hal yang cacat.

Disini, kintsugi juga dapat dihubungkan dengan filosofi mushin (tanpa pikiran), yang mencakup konsep tanpa kemelekatan, penerimaan terhadap perubahan sebagai bagian dari hidup manusia.

Sebagai sebuah filosofi, kintsugi mirip pula dengan filosofi wabi-sabi, yaitu menerima bentuk ketidaksempurnaan atau kecacatan.

Ini juga alasan rasional sebagian orang Jepang untuk menyimpan benda-benda meskipun telah pecah atau rusak, dan memperbaikinya sebagai bagian dari suatu peristiwa dalam kehidupan daripada menganggap kegunaannya telah habis dan membuangnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *