• Sunday, 22 November 2020
  • Reza Wattimena
  • 0

Doanya panjang. Katanya-katanya indah dan berbunga. Semua hal baik ditumpahkan ke dalam kata. Harapannya, hal-hal baik akan menjadi kenyataan, dan hal-hal buruk tak akan pernah terjadi.

Berikanlah aku rejeki banyak

Berikanlah aku jodoh yang baik

Berikanlah aku kesehatan yang terus terjaga

Berikanlah aku umur panjang

Jika mati, berikanlah aku tempat di surga

Jauhkan aku dari orang-orang jahat

Jauhkan aku dari malapetaka dan penderitaan

Inilah pola doa kita sekarang ini. Isinya, tentu saja, sangat tidak sejalan dengan kenyataan. Hidup itu tidak hanya berisi hal-hal baik. Derita dan rasa sakit adalah bagian dari hidup yang tak terhindarkan.

Doa semacam ini menciptakan harapan yang berlebihan tentang kehidupan. Dalam jangka panjang, ini tidak sehat. Orang tak lagi berpijak pada dunia yang kompleks. Orang hidup dalam ilusi yang merusak.

Ilusi ini, lalu, menjadi budaya. Masyarakat menjadi delusional. Mereka tidak lagi berpijak pada kenyataan yang terus bergerak dan berubah. Inilah akar penyebab sakit kolektif yang menghasilkan masyarakat yang menderita.

Sumber derita, sejatinya, adalah harapan yang berlebihan. Hidup punya hukumnya sendiri. Ia tidak akan pernah tunduk pada kehendak manusia. Jika kita menentang ini, kita akan menderita, dan hancur.

Apa yang kita inginkan tak sejalan dengan kenyataan. Di dalam bahasa Jerman, ini disebut sebagai Weltschmerz, yakni rasa sakit dunia. Berulang kali, saya terjebak pada soal ini. Saya yakin, anda pun juga.

Lagi pula, keinginan kita kerap kali sangat egois. Kita rakus. Keinginan adalah bentukan masyarakat, termasuk pola didik dan hubungan sosial kita sejak kecil. Di mata alam semesta, ia tak ada artinya.

Bahkan, jika semua keinginan kita terwujud, malapetaka besar akan terjadi. Sebenarnya, ini sudah terjadi. Alam sudah rusak, karena manusia secara rakus mengejar keinginan dangkalnya. Alam memang memiliki kemampuan memperbaiki dirinya sendiri. Namun, ketika itu terjadi, kita mungkin sudah lama punah.

Jika keinginan kita semuanya tidak terwujud, lalu keinginan siapa yang terwujud? Orang beragama menyebutnya keinginan Tuhan. Yang lain menyebutnya kehendak semesta. Apapun itu, keduanya jelas lebih cerdas dan bijaksana daripada kita. Bukankah begitu?

Tuhan, apapun namanya, jelas lebih cerdas dan bijak daripada manusia. Begitu pula alam semesta. Kehendak dan keputusan mereka jauh lebih baik daripada kehendak dan keputusan manusia. Kerap kali, manusia menjadi rakus dan berpikir sempit. Ini yang merusak dirinya dan alam sekitarnya.

Lalu, apakah kita harus diam saja? Sedikit kecerdasan jelas diperlukan disini. Untuk hidup, kita harus berusaha. Untuk berkembang sebagai manusia, kita juga harus berusaha.

Namun, keinginan dan usaha harus tetap tunduk pada kesadaran. Ia tak boleh membabi buta, lalu merusak segalanya. Keinginan haruslah realistik, yakni berpijak pada dunia sebagaimana adanya. Pada satu titik, kita harus berhenti, berdiam dan membiarkan segalanya berjalan menurut hukum-hukum alam.

Jadi, semoga keinginanmu tidak terwujud. Semoga hal-hal tak terduga terjadi di dalam hidupmu. Kiranya, ini harapan yang jauh lebih realistik, dan menarik. Inilah kehidupan dalam segala keutuhannya.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *