• Friday, 17 July 2020
  • Basar Daniel
  • 0

“Ayuk, ikut meditasi.”

Seorang teman meminta saya dengan ramah. Itu terjadi belasan tahun lalu. Ajakan itu sempat membuat saya serba salah.

Waktu itu sebenarnya saya sudah mulai banyak kenalan rekan-rekan yang beragama Buddha. Saya pun tahu praktik meditasi sebenarnya bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas apa pun latar agamanya.

Tapi rasanya ada yang mengganjal. Pengalaman persentuhan saya dengan Buddhis, memang punya nuansa yang enggan tapi rindu.

Dibesarkan di wilayah perkebunan di Provinsi Jambi, kami sangat jarang bertemu dengan rekan yang beragama Buddha. Mungkin sesekali saya berinteraksi dengan rekan yang berlatar etnis Tionghoa, yang kemungkinan besar agamanya Buddha, tapi tidak pernah bisa mengetahui lebih jauh soal sosok dan ajarannya.

Sesekali kami melihat hal terkait Buddha di televisi atau buku-buku pelajaran. Tapi lain dari itu sosok Buddha begitu asing dan sepertinya sering kami jauhi. Apalagi dalam kebiasaan di keyakinan saya sebagai orang Protestan – juga rekan-rekan muslim sepergaulan saya – biasanya agak curiga pada praktik ibadah dengan ragam simbol fisik, terutama patung-patung.

Namun, perkenalan dengan sahabat lintas iman, lalu ajakan pelatihan meditasi di Vihara Vipasaana Graha Lembang itu menjadi ruang perjumpaan yang cukup luas mengenal ajaran yang dibawa Buddha. Untungnya, saat itu saya memberanikan diri untuk ikut.

Mulanya agak kaku dan sulit, namun kemudian saya merasakan ketenangan batin saat mulai diajar bermeditasi. Bhante yang mendampingi begitu lembut menuntun, amat mengerti batas-batas kita sebagai pemeditasi pemula.

Saya dan rekan yang lain punya sejumlah pertanyaan – kebanyakan yang ikut juga masih kurang tahu soal meditasi dan Buddhisme – namun bhikkhu tersebut menjawab dengan ramah dan cukup mencerahkan.

Lepas dati pelatihan itu, saya kemudian banyak menghabiskan waktu untuk mengenal dan mencari tahu soal Buddha dan ajarannya.

Upaya meneladani Buddha secara otodidak

Perenungan otodidak atas buku-buku dan rekan diskusi yang Buddhis, memberi cara pandang yang jauh lebih luas bagi saya untuk memahami arti hidup, penderitaan, serta kemanusiaan. Setidaknya ada dua hal yang begitu menginspirasi, bahkan menjadi concern saya dalam berkarya sekarang.

Pertama, saya sangat kagum akan ajaran welas asih yang begitu menghargai kehidupan. Banyak aktivitas saya di gerakan kemanusiaan terinspirasi oleh semangat ini. Kegiatan lintas agama, bakti sosial, penggalangan donasi untuk pemberdayaan masyarakat adalah beberapa contoh kesibukan yang saya geluti karena semangat menghargai kehidupan ini.

Dalam perenungan saya akan ajaran welas asih – saya meyakini tujuan utama kita berkarya baik itu bukanlah unjuk kemampuan atau mengharap pamrih dan terimakasih. Justru kitalah yang mesti berterima kasih karena diberi kesempatan mengerjakan hal baik.

Ini yang membuat saya selalu nothing to lose, saat semua jerih-lelah tidak disorot, tidak dipuji atau bahkan ditolak. Ternyata hidup jadi jauh lebih rileks dan karya bisa berjalan lancar.

Hal kedua adalah sangat menginspirasi terkait metode Buddha mengajarkan dharma. Selalu terbuka, berusaha mengedepankan fakta, tanpa takut diuji. Ehipassiko, datang dan lihat sendiri, ujilah sendiri, kalau sesuai fakta ambil – kalau tidak silahkan tinggalkan.

Itu pula yang kemudian menginspirasi saya dan rekan-rekan menggagas media lokal yang mengedepankan narasi yang baik namun harus faktual.

Saya sadar, banyak sekali orang di masa sekarang yang begitu mudah larut pada berita palsu atau hoaks, bahkan tak jarang memakainya untuk kepentingan politis. Namun, tak jarang pula mereka punya niat memberi narasi baik, tetapi terjebak karena tidak menguji faktanya.

Maka lewat media, saya berusaha memberi ruang terbuka, untuk para penulis muda, menyuarakan ide dan semangatnya, namun harus diuji dengan fakta yang ada.

Belakangan di tengah kian besarnya kebutuhan akan karya sosial yang tulus dan berita yang faktual – saya bersyukur sudah jauh-jauh hari bisa mengamalkan hal ini karena terinspirasi Sang Buddha.

Dua hal tadi tentulah masih sangat kecil dari begitu kayanya ajaran Buddha. Tapi saya cukup senang, selaku seorang yang mengagumi Buddha dari jauh, bisa menghidupinya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *