Nama Yesus dekat di hati saya. Saya bertumbuh besar di dalam tradisi Kristiani. Dalam perjalanan, cakrawala saya meluas. Saya berjumpa dengan filsafat, ilmu pengetahuan dan ajaran spiritual dari berbagai tradisi. Hidup ini memang kaya dan berwarna.
Di tengah perjalanan hidup, ajaran Buddha menemukan saya. Beberapa kali, hidup saya diselamatkan oleh ajaran Buddha, atau yang banyak dikenal sebagai Buddha Dharma.
Ajarannya begitu sederhana dan berguna untuk mewujudkan hidup yang bermakna. Di abad 21 yang amat kompleks ini, ajarannya bisa menolong banyak orang. Yang menarik, ajaran Buddha dan Yesus tidak hanya mirip, tetapi identik.
Keduanya menjadikan welas kasih sebagai pusat ajarannya. Bahkan, keduanya melihat, bahwa sikap welas asih lebih penting dari keadilan. Dalam kenyataan, keadilan memang penting, terutama untuk menata hidup bersama.
Namun, keadilan kerap digunakan untuk menutupi kehendak sebenarnya, yakni balas dendam. Maka dari itu, ide tentang keadilan tidak hanya bisa memperpanjang kebencian, tetap juga bisa melahirkan konflik baru.
Tulisan ini ingin melihat keterkaitan antara ajaran Buddha dan Yesus. Bagian pertama tulisan menjabarkan beberapa data sejarah dan tekstual tentang kaitan antara ajaran Buddha dan Yesus.
Bagian kedua memberikan beberapa refleksi atasnya. Tulisan akan diakhiri dengan kesimpulan. Saya mengacu pada penelitian yang dibuat oleh Hanson, dan penelitian-penelitian yang telah saya lakukan sebelumnya.
Kajian ini menjadi penting, karena agama tetap menjadi hal penting bagi hidup banyak orang. Maka, dialog antar agama tidak bisa dihindari. Dialog yang hanya mungkin terjadi, jika ada pemahaman.
Dan pemahaman akan muncul, jika ada keinginan untuk saling belajar. Tulisan ini adalah ruang untuk saling belajar, sekaligus untuk membangun jembatan antar agama yang kita perlukan untuk hidup bersama secara damai.
Buddha dan Yesus
Yesus, sosok yang dikenal sebagai seorang Nabi, penyembuh, filsuf moral, filsuf politik dan, bahkan, Tuhan itu sendiri. Menurut pengakuannya sendiri, Yesus adalah seorang Messiah, yakni penyelamat manusia dari dosa-dosanya sendiri.
Ia tidak hanya fasih tentang ajaran Yahudi, namun juga memiliki banyak pengetahuan tentang pandangan dunia Asia. Ada dua dasar dari pandangan ini. Yang pertama adalah dasar sejarah, dan yang kedua adalah dasar tekstual dari ajaran-ajaran Yesus itu sendiri.
Ada dua penjelasan tentang ini. Yang pertama, Yesus pergi mengunjungi India yang merupakan rumah besar bagi perkembangan spiritualitas Asia.[6] Yang kedua, ajaran-ajaran spiritualitas Asia tersebar luas di masyarakat Yahudi pada masa itu.
Yang jelas, pengaruh spiritualitas Asia, terutama ajaran Buddha, amat jelas di dalam ajaran-ajaran Yesus. Kemungkinan terbesar, Yesus mendalaminya pada “masa-masa hilang” (Lost Years), dimana tak ada catatan tentang dia antara umur 12 tahun sampai 30 tahun di berbagai Injil yang diakui resmi.
Ajaran-ajaran Yesus juga sangat mirip dengan pandangan spiritualitas Asia. Kata-katanya, terutama, amat mirip dengan apa yang diajarkan Siddharta Gautama (Buddha) yang hidup kurang lebih 500 tahun sebelum Yesus. Dengan kata lain, Yesus berbicara selayaknya orang yang sudah fasih memahami ajaran-ajaran Buddha.
Cara mengajarnya pun juga sama, yakni dengan menggunakan cerita-cerita pendek untuk menyampaikan pesan moral tertentu. Ini ditambah dengan kesamaan nilai yang diajarkan, yakni sikap welas asih dan keberanian untuk berpikir kritis di dalam memahami tradisi.
Pada masa Yesus hidup, tanah Israel juga banyak memperoleh pengaruh dari Asia. Ini terjadi, karena perdagangan internasional yang intensif di Timur Tengah pada masa itu.
Kekaisaran Romawi menjadikan Israel sebagai penghubung dengan India yang merupakan negara dengan ekonomi terbesar pada masa itu. Jerusalem, pada masa itu, adalah kota internasional. Romawi juga menggunakan Jerusalam sebagai pelabuhan untuk menyerbu Afrika Utara.
Dalam hubungan dengan Persia, Romawi juga menggunakan Jerusalem sebagai titik hubung. Semua hubungan ini, baik dengan India, Romawi dan Persia, tiga kerajaan besar pada masa itu, dibangun sejak Kaisar Alexander dari Yunani menyerbu, dan menguasai Timur Tengah, sekitar 300 tahun sebelumnya.
Yang bergerak dalam jalur internasional tersebut bukan hanya barang dagangan ekonomi, tetapi juga filsafat dan agama. Dengan keadaan seperti itu, cukuplah masuk akal, jika ditarik kesimpulan, bahwa ajaran spiritualitas Asia, terutama Buddhisme, mempengaruhi kehidupan masyarakat Israel. Dalam konteks inilah Yesus lahir dan mengajar disana.
Pada masa Yesus hidup, Israel berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi. Ekonomi pun juga berada di dalam kekuasaan Romawi. Untuk kepentingan politik, banyak catatan tersebar di masa ini.
Banyak ditemukan catatan tentang orang-orang Yahudi yang menetap di India dan Persia. Sebaliknya, banyak pula data tentang orang-orang India yang menetap di Israel, maupun di berbagai daerah Romawi lainnya.
Banyak pula ditemukan catatan tentang para pemikir Buddhis maupun Zoroastris yang menetap di Arab, dekat dengan Israel. Di dalam Injil, persis setelah kelahirannya, Yesus dikunjungi oleh tiga raja.
Ini tradisi Timur yang banyak berkembang di daerah Persia. Tradisi Yahudi juga tersebar luas di India dan Persia. Sampai sekarang, pemukiman Yahudi masih dapat ditemukan di Punjab dan Kashmir.
Pertanyaan penting yang kiranya perlu dijawab adalah, apakah ada orang-orang Buddhis yang tinggal di Israel? Pada masa Yesus hidup, ajaran Buddha sudah berkembang selama lebih dari 500 tahun. Ajaran itu telah tersebar di berbagai penjuru dunia, terutama di Asia dan Timur Tengah.
Ada juga kemungkinan, ajaran Buddha memberikan dasar bagi berkembangnya beberapa aliran di dalam Filsafat Yunani Kuno, seperti Stoa dan Sinisme filosofis. Ini terjadi, akibat sepak terjang Kaisar Alexander 300 tahun sebelum Yesus yang melakukan penyerbuan ke seluruh Timur Tengah dan India Utara.
Bahkan, beberapa peneliti melihat, bahwa setelah Alexander menyerang India Utara, India mengirimkan banyak misionaris Buddhis ke seluruh penjuru Timur Tengah. Raja Ashoka yang melakukan hal ini.
Di Israel, ajaran Yahudi sudah lama berjumpa dengan ajaran Buddha. Dalam banyak hal, perjumpaan ini menjadi persiapan untuk lahirnya Kristianitas. Tersebarnya ajaran Buddha bisa juga dilihat di Mesir, terutama di kota Alexandria.
Di dalam tradisi Yahudi, ada tradisi kecil yang berkembang, yakni tradisi Gnostik. Mereka menolak ajaran agama yang rasional dan optimistik. Dengan kata lain, mereka menolak ajaran resmi Yahudi tentang Yahwe dan Taurat.
Sebaliknya, kaum Gnostik meyakini keberadaan Tuhan yang melampaui akal budi. Pengaruhnya amat terasa di dalam pemikiran Yohanes Pembabtis dan juga Yesus sendiri.
Beberapa ahli bahkan berpendapat, bahwa Injil Yohanes amatlah dekat dengan gaya spiritualitas Asia, terutama ajaran Buddha. Gayanya intuitif dan puitis. Inilah yang merupakan ciri khas Yesus dalam perbandingan dengan ajaran Yahudi yang lebih tradisional.
Kesimpulan kiranya bisa ditarik, bahwa ajaran Buddha sudah tersebar di Israel dan Palestina dua ratus tahun, sebelum Yesus lahir. Saling mempengaruhi antara ajaran Yahudi dan ajaran Buddha pun tak bisa dihindari.
Salah satu pemikir yang membahas langsung soal ini adalah Jacques Derrida, seorang filsuf Perancis. Baginya, Kristianitas memiliki ajaran yang secara langsung berlawanan dengan ajaran Yahudi.
Walaupun, keduanya terkait erat secara historis dan geografis. Yesus jelas memainkan peranan amat penting disini. Ada tiga hal yang kiranya penting untuk diperhatikan.
Pertama, Yesus melihat, bahwa hubungan Tuhan dengan manusia adalah hubungan langsung. Tidak diperlukan perantara tertentu, seperti pemuka agama, ataupun rumah ibadah. Yang terpenting adalah keadaan batin dan kehendak baik dari manusia itu sendiri.
Inilah yang menjadi inti terpenting dari moralitas sekaligus spiritualitas Kristiani. Pandangan ini jelas bertentangan dengan ajaran Yahudi tradisional yang sudah ada sebelumnya.
Kedua, Yesus melihat keutamaan lebih penting dari keadilan. Dan, keutamaan tertinggi adalah sikap welas asih kepada semua mahluk. Yesus secara tegas menyatakan bahaya dari pandangan lama, yakni mata ganti mata dan gigi ganti gigi.
Bergerak lebih jauh, ia juga menyatakan pentingnya mengampuni orang-orang yang kita benci, dan orang-orang yang membenci kita. Pengampunan tidak memiliki batas.
Tigas, Yesus melihat pemberian bantuan bukanlah untuk diumumkan ke masyarakat luas. Berdoa pun juga bukan untuk dipamerkan di masyarakat luas. Seringkali, semua itu jadi tanda kemunafikan belaka. Pemberian kepada orang lain dan berdoa harus dilakukan secara rahasia. Ini, menurut Yesus, merupakan doa sekaligus pemberian yang tulus.
Tiga pandangan Yesus ini amat dekat dengan pandangan Essenes. Ini adalah nama dari salah satu aliran dalam agama Yahudi yang berkembang sekitar 150 tahun, sebelum Yesus lahir.
Ini terjadi pada waktu Ashoka, Raja Buddhis dari India, mengirim banyak pemikir Buddhis ke seluruh penjuru Asia dan Timur Tengah. Kata “essene” berakar pada bahasa Sanskrit, yakni Eeshani. Ini adalah nama lain dari Shiva, konsep yang amat penting di dalam spiritualitas Asia, terutama Yoga.
Aliran lain yang berkembang di Timur Tengah adalah Mithraisme. Aliran ini secara khusus berkembang di Persia. Pada masa itu, Zoroastrianisme juga berkembang di Persia dan Israel.
Pengaruh peradaban India amat kental terasa disini, karena Mithras juga dianggap sebagai salah satu dewa penting di dalam tradisi Hindu. Mithraisme menjadi salah satu agama besar di Kekaisaran Romawi pada abad 2 dan 3. Ia juga mempengaruhi perkembangan Kristen awal disana.
Persilangan peradaban ini menunjukkan satu hal jelas, bahwa Yesus jelas telah berjumpa dengan ajaran-ajaran Asia, terutama Buddhisme. Ada kemungkinan, Yesus mendalami ajaran Buddha sekaligus Zoroastrianisme, ketika ia masih muda.
Di dalam satu bagian di Injil, Yesus berdiskusi dengan beberapa ahli tentang hal-hal yang berkembang di jamannya. Ini tentu saja juga terkait dengan filsafat Buddha dan Zoroastrianisme yang berkembang disana. Setelah itu, tidak ada catatan lagi tentang Yesus, sampai nanti ia berumur sekitar 29 tahun.
Beberapa data sejarah menunjukkan, bahwa Yesus sempat keluar dari Israel. Di dalam tradisi Islam, Yesus dikenal sebagai nabi yang berkeliling (traveling prophet). Bahkan, ia juga dikenal sebagai pembimbing bagi orang-orang yang sedang bepergian.
Yesus juga dikenal sebagai Messias, karena ia tidak pernah menetap di satu tempat. Ia selalu berkeliling untuk menyebarkan ajarannya. Ini tentu membuka kemungkinan besar, bahwa Yesus mendalami ajaran-ajaran dari spiritualitas Asia.
Yesus jelas adalah orang yang suka berkeliling. Ia mengajar dan menyebarkan ide-idenya di berbagai tempat. Ini sudah jelas dari kecenderungannya, ketika ia berusia 12 tahun.
Ajarannya tentu tidak datang dari kekosongan. Selama tahun-tahun yang hilang, ia jelas mempelajari banyak hal dari berbagai tradisi yang ada. Tentunya, ia juga berjumpa dengan guru-guru yang tercerahkan.
Di dalam Injil, beberapa keterangan bisa ditemukan. Setelah ia muncul dari masa-masa hilangnya, Yesus sudah berusia 29 tahun. Ia hendak dibabtis oleh Yohanes Pembabtis.
Setelah itu, Yesus lalu menyampaikan beberapa pandangannya. Orang-orang sekitarnya amat kagum akan kedalaman sekaligus kebijaksanaan pemikiran Yesus.
Mereka heran, bagaimana mungkin seorang anak tukang kayu bisa memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan semacam itu? Ada dua penjelasan. Pertama, Yesus telah menimba ilmu dari berbagai guru tercerahkan.
Salah satu dari mereka adalah para biksu Buddhis dan Yogi dari India. Keduanya tersebar di berbagai penjuru di Timur Tengah pada masa itu. Yang kedua, mereka hanya kaget, setelah lama tak berjumpa dengan Yesus.
Bagi saya, penjelasan pertama lebih sesuai dengan akal sehat. Tidak ada mitologi disana. Tidak ada spekulasi berlebihan di dalamnya. Buku Nicolas Notovitch yang berjudul The Unknown Life of Jesus Christ kiranya bisa memberikan beberapa keterangan. Buku itu lahir dari penelitian dan perjalanannya ke Kashmir pada 1888.
Ia mengunjungi satu biara di Kashmir. Ia melihat catatan dari masa lalu tentang kehadiran orang yang bernama Issa. Penelitian lebih jauh menunjukkan, bahwa sosok Issa menekuni banyak ajaran Asia, terutama Buddhisme, Yoga, Vedanta dan Zoroastrianisme.
Ia bersikap terbuka terhadap semua orang, lepas dari kasta dan kedudukan mereka di masyarakat. Atas sikapnya itu, ia banyak bertentangan dengan para pemuka agama Zoroastrian dan Hindu yang lebih tradisional. Menurut data, Yesus tiba di Kashmir pada usia 14 tahun, dan pergi meninggalkannya pada usia 29 tahun.
Tentu saja, buku itu langsung menjadi perbincangan hangat di Eropa. Gereja Ortodoks Russia menyebut penelitian itu sebagai penipuan. Inggris bahkan mengirimkan beberapa orang untuk mengubur semua bukti terkait dengan penelitian tersebut.
Berbagai cara dilakukan, supaya karya Notovitch tersebut tidak mendapatkan kepercayaan masyarakat umum. Namun, ide adalah hal yang paling menular di dunia. Pandangan Notovitch telah mulai menjadi bagian dari percakapan umum dalam Kristianitas.
Kaitan antara peradaban Eropa, Timur Tengah dan India sebenarnya sudah lama ditemukan. Hal tersebut paling nyata dalam soal bahasa. Berbagai bahasa Eropa dan Timur Tengah memiliki akar pada bahasa Sanskrit. Terkait dengan Yesus, banyak pula ahli yang sudah menemukan, bahwa ajaran-ajaran Yesus banyak mengambil dari ajaran-ajaran Buddha, terutama berbagai perumpaan yang ia ajarkan.
Ajaran-ajaran di dalam Injil Perjanjian Baru memiliki banyak kemiripan dengan ajaran-ajaran Buddha yang tersebar 500 tahun sebelumnya. “Sejarah Yesus dari Nazaret, seperti diungkapkan oleh Perjanjian Baru, adalah tiruan dari Buddha, dan digabungkan dengan mitologi yang dipinjam dari bangsa-bangsa lain.“
Sumber-sumber lain juga menyatakan hal yang serupa. Fida Hassnain, seorang pemikir Buddhis asal Kashmir, menyatakan dengan tegas, bahwa Yesus meninggalkan Israel pada usia 13 tahun.
Lalu, ia berjalan bersama para pedagang ke arah Damascus, Babilonia, Persia dan Kashmir. Ia berada di sana selama 17 tahun. Disana, ia mendalami ajaran Buddha, Vedanta dan Yoga. Pada usia 29 tahun, ia kembali ke Israel.
Hassnain mendasari pandangannya pada beberapa sumber. Di Tibet ditemukan teks dengan judul “Cermin Kaca”. Di dalam teks tersebut disebutkan orang bernama Yesu. Ia adalah seorang guru dan pencipta sebuah agama. Ia menyatakan dirinya sebagai penyelamat dunia sekaligus Putra Tuhan. Ia mengikuti ajaran-ajaran dasar Buddha.
Sumber-sumber dari tradisi Islam juga berbicara kurang lebih serupa. Ada sekitar 21 sumber dari tradisi Islam yang menyebut nama Issa. Di beberapa tradisi lainnya di Timur Tengah, ia juga dikenal sebagai Yuz Asaph. Pada akhir abad 9, seorang pemikir Persia bernama Kamal U-Din juga menyebut soal Yesus.
Salah satu teks kuno dari Kashmir, yakni Bhavishya Maha Purana, juga menyebut perjumpaan Raja Shalivahana yang berjumpa dengan orang asing yang menyebut dirinya sebagai Ishvara Putaram (anak Allah) pada tahun 80. Mereka semua menyebut soal keberadaan Yesus di Kashmir.
Di dalam tradisi Buddhis, Yesus seringkali disebut sebagai Issa-Masih. Tradisi Islam lebih menggunakan Yusu-Masih dengan berbagai variasinya. Masih banyak sumber lainnya tentang Yesus di daerah Kashmir.
Namun, semua ini tentu tidak bisa diterima begitu saja sebagai kebenaran. Satu hal yang bisa disimpulkan adalah, bahwa Yesus keluar dari Israel, dan menyebarkan ajarannya ke berbagai tempat di Timur Tengah dan India Utara.
Pengaruh dari ajaran Buddha, dan banyak dari ajaran filsafat Asia, juga amat jelas di dalam ajaran-ajaran Yesus. Sampai detik ini, ada empat Injil yang dianggap resmi oleh berbagai Gereja, yakni Injil tulisan Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.
Semua yang dikatakan oleh Yesus di dalam keempat Injil tersebut dapat dengan mudah ditemukan sumber-sumber sebelumnya di dalam ajaran Buddha yang telah ada 500 tahun, sebelum Yesus lahir. Maka tidaklah berlebihan jika dikatakan, bahwa Yesus berpikir, berkata-kata dan bertindak seperti layaknya seorang murid Buddha.
Perihal bahasa menjadi penting untuk dikaji disini. Buddha Gautama, yang hidup 500 tahun sebelum Yesus, berbicara dalam bahasa Pali. Murid-muridnya kemudian mengembangkan ajaran Buddha dengan menggunakan bahasa Sanskrit.
Ketika ajaran Buddha tersebar di seluruh Timur Tengah, banyak teks-teks Buddhis kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Latin, Yunani kuno dan bahasa Aram (yang digunakan oleh Yesus). Bahasanya mungkin berbeda, namun isi yang disampaikan oleh Buddha Gautama dan Yesus sama persis.
Beberapa hal penting kiranya mesti diperjelas. Yesus dan Buddha lahir, dan kemudian menerima kunjungan dari tiga orang bijak. Ini merupakan tanda penghormatan di dalam tradisi Asia, bahwa orang hebat telah lahir.
Keduanya juga dianggap sebagai anak yang cerdas dan berbakat. Pengetahuan mereka melampaui anak-anak seumurnya, bahkan melampaui orang-orang yang hidup sejamannya.
Yesus dan Buddha menjalani puasa yang berat di alam yang masih liar, jauh dari sentuhan manusia. Tradisi ini tidak ditemukan di dalam tradisi Yahudi, namun sangat kental di tradisi Asia.
Ketika berpuasa, Yesus dan Buddha juga mengalami godaan dari Iblis. Keduanya berhasil melampaui godaan tersebut. Keberhasilan ini menjadi titik penting bagi perkembangan spiritualitas keduanya.
Yesus dan Buddha juga mulai berkarya, ketika mereka berusia sekitar 30 tahun. Yang tertarik pada ajaran mereka bukanlah orang-orang penting di dalam masyarakat, seperti pemuka agama, orang kaya ataupun bangsawan, melainkan orang-orang dari kelas sosial yang rendah.
Sebagian di antara mereka bahkan menjadi murid-murid setia, dan mengikuti perjalanan Yesus dan Buddha. Beberapa diantaranya mengganti nama mereka sebagai tanda, bahwa mereka memulai hidup yang baru.
Yesus dan Buddha tidak berkarya di satu tempat. Mereka berkeliling untuk mengajar. Di dalam perjalanan, mereka juga melakukan beberapa keajaiban, seperti menyembuhkan orang.
Walaupun, itu bukanlah inti utama dari ajaran mereka. Yesus dan Buddha juga tidak mengumpulkan harta benda berlebihan. Mereka hidup sederhana bersama murid-muridnya.
Yesus dan Buddha banyak berkarya di antara orang-orang yang terbuang di masyarakat. Mereka tidak melihat perbedaan di antara manusia, entah mereka kaya atau miskin, atau memiliki status sosial tinggi ataupun rendah.
Yesus dan Buddha berbicara soal cinta dan perdamaian universal dengan segala mahluk. Cara mengajar mereka pun serupa, yakni dengan menggunakan cerita sederhana, guna menyampaikan nilai yang ingin diajarkan. Banyak cerita mereka yang memiliki kemiripan.
Karena sikap yang adil, damai dan terbuka, Yesus dan Buddha kerap dipuja bagaikan raja. Buddha disambut bagaikan raja, ketika ia memasuki kota Rajagripa. Yesus pun juga sama, ketika ia memasuki Yerusalem.
Di beberapa kesempatan, Yesus dan Buddha menyampaikan ajaran utama mereka di atas gunung. Bagi keduanya, gunung adalah tempat yang amat cocok untuk mengubah batin seseorang dari dalam.
Karena sikapnya yang terbuka tersebut, Yesus dan Buddha kerap dimusuhi oleh para pemuka agama. Buddha dicurigai oleh kaum Brahmin, yakni pemuka agama Hindu.
Sementara, Yesus dimusuhi oleh kaum Farisi, pemuka agama Yahudi. Bahkan, Yesus akhirnya disalib, karena kebencian para pemuka agama Yahudi padanya. Peran kekaisaran Romawi juga besar dalam hal ini.
Yesus dan Buddha melihat pentingnya menyebarkan ajaran perdamaian universal ini. Maka sebelum mereka meninggal, keduanya mengutus murid-muridnya untuk menyebarkan ajarannya.
Yesus dan Buddha melihat, bahwa semua orang bisa diselamatkan dari penderitaan yang tak berkesudahan. Beberapa sumber bahkan menyebutkan, kematian mereka berdua diikuti dengan beberapa peristiwa ajaib. Namun, kita tak perlu masuk terlalu jauh tentang hal ini.
Yesus dan Buddha menegaskan, bahwa membunuh, mencuri dan berbohong tidaklah boleh dilakukan. Itu merusak kedamaian manusia, sekaligus hubungannya dengan manusia lainnya.
Moralitas yang mereka ajarkan juga serupa. Perdamaian lebih berharga dari perang, apapun bentuknya. Kekayaan harus digunakan untuk menolong orang-orang yang membutuhkan, bukan menyirami diri dengan kemewahan.
Maka dari itu, Yesus dan Buddha amat menentang segala bentuk perbudakan. Mereka juga menentang sistem kasta yang melihat satu kelompok masyarakat tertentu lebih tinggi dan lebih terhormat daripada yang lain.
Sebaliknya, mereka mengajarkan, supaya kita hidup dengan melepaskan semua keterpakuan pada kepentingan diri, atau egoisme. Kita pun didorong untuk mencintai semuanya, tidak hanya keluarga dan sahabat, tetapi juga musuh kita. Ini adalah salah satu ide paling revolusioner dari Yesus dan Buddha.
Beberapa pernyataan Yesus amat mirip dengan apa yang dikatakan Buddha lima ratus tahun sebelumnya. Misalnya, Yesus menegaskan, betapa rapuhnya orang yang membangun rumah di atas pasir. Buddha juga telah mengatakan hal serupa.
Rapuhlah kota, begitu kata Buddha, yang dibangun di atas pasir. Keduanya juga menyatakan dengan tegas ajaran agung sepanjang masa, yakni lihatlah orang lain seperti dirimu sendiri. Berbuatlah kepada orang lain sebagaimana kamu ingin orang lain berbuat kepadamu.
Keduanya juga mengajarkan pandangan yang amat unik. Cintailah musuhmu. Jika ia memukulmu di pipi kiri, kata Yesus, berikan pipi sebelahnya. Buddha juga berkata hal serupa. Jangan membalas perbuatan jahat apapun dari orang lain.
Yesus menegaskan, bahwa kita harus berbuat baik pada orang yang membenci kita, memberkati orang yang mengutuk kita dan berdoa untuk kebaikan orang yang menyakiti kita. Ini kiranya sejalan dengan ajaran Buddha.
Kebencian, kata Buddha, tidak lenyap dengan kebencian, melainkan dengan cinta. Kita harus belajar untuk melampaui kemarahan dengan cinta, dan melampaui kejahatan dengan kebaikan. Inilah kebenaran universal, menurut Buddha.
Yesus mengajarkan, bahwa semua muridnya harus saling mengasihi satu sama lain. Buddha pun juga mengajarkan hal serupa. Cinta, baginya, adalah kehidupan itu sendiri yang melingkupi segala sesuatu.
Namun, untuk bisa mencintai, menurut Buddha, manusia harus berani melatih batinnya terlebih dahulu. Inilah kiranya yang sedikit membedakan ajaran kedua guru besar tersebut.
Yesus juga mengajarkan, bahwa orang tidak boleh menilai satu sama lain. Hanya Tuhan, bagi Yesus, yang berhak menilai hati dan tindakan manusia. Buddha mengajarkan hal serupa.
Bagi Buddha, manusia harus belajar untuk melatih dirinya sendiri, dan tidak ikut campur urusan orang lain. Setelah cukup bisa melatih batinnya, orang lalu bisa menolong orang lain, dan tidak sembarangan menilainya.
Keduanya mengajarkan cinta tanpa syarat. Buddha memberikan perumpamaan yang bagus. Cinta itu bagaikan matahari yang menyinari semua orang. Ia tidak memilih antara orang baik dan orang jahat. Ia tidak juga membedakan antara orang kaya dan orang miskin.
Yesus juga mengajarkan hal yang sama. Ia menggunakan perumpamaan cinta Tuhan pada manusia. Bagi Yesus, cinta Tuhan itu seperti hujan yang jatuh pada semua orang. Ia tidak memilih antara orang kaya atau orang miskin. Ia juga tidak membedakan antara orang berdosa dan orang suci.
Dalam soal sikap hidup, Yesus juga banyak memiliki kemiripan dengan Buddha. Mereka melihat arti penting dari memberi. Bahkan, Yesus menegaskan, jika kamu ingin menjadi manusia sempurna, kamu harus menjual semua hartamu, dan memberikannya kepada orang miskin. Hanya dengan begitu, kamu bisa memiliki harta di surga. Buddha mengajarkan hal serupa.
Orang-orang kikir akan hidup dalam penderitaan. Hanya orang-orang bodohlah yang kikir dengan hartanya. Mereka melekat dengan hartanya. Dan kelekatan adalah sumber utama dari penderitaan hidup. Orang yang murah hati akan menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam hatinya.
Kelahiran Yesus dikaitkan dengan ramalan yang dibuat di dalam tradisi Yahudi tentang lahirnya penyelamat, atau Messias. Ini kiranya beririsan dengan cerita serupa di dalam tradisi India.
Lalu, Messias tersebut akan datang kedua kalinya untuk menyelamatkan seluruh manusia. Ini kiranya beririsan langsung dengan ramalan yang ada di India tentang kembalinya Krishna untuk menyelamatkan dunia dari kejahatan.
Cerita tentang Krishna adalah cerita tradisional di India. Ia sudah tersebar ratusan tahun disana, jauh sebelum Yesus lahir. Tepatnya sekitar 300 tahun.
Cerita tersebut tersebar di Timur Tengah bersama dengan kedatangan para pemikir Buddhis dan Vedanta kesana. Pengaruhnya paling jelas di kaum Essenes di kalangan agama Yahudi.
Ada kemiripan yang besar antara kisah Krishna dengan kisah Kristus, yang merupakan perwujudan Ilahi dari Yesus. Krishna, di dalam tradisi India, dianggap sebagai titisan dari Wisnu, salah satu Mahadewa.
Ibu Krishna juga mengandungnya, ketika ia perawan. Ini mirip dengan ide, bahwa Maria, Ibu Yesus, juga mengandung, ketika masih perawan. Ada beberapa kemiripan lainnya.
Krishna dan Yesus lahir di masa pemerintahan totaliter yang menindas. Kedua tiran tersebut memerintahkan pembunuhan anak-anak kecil. Mereka adalah Herodes di Israel dan Kansa di India.
Cerita tentang kelahiran Yesus juga amat mirip dengan cerita kelahiran Krishna. Keduanya lahir pada tengah malam. Dan ketika keduanya meninggal, menurut cerita, banyak hal terjadi di langit.
Kata Messias sendiri, yang banyak ditempel pada Yesus, berakar pada kata Maitreya di dalam bahasa Sanskrit. Artinya adalah orang yang diramalkan akan menjadi penyelamat manusia. Di dalam tradisi Yahudi, Messias adalah orang yang akan datang, dan menyelamatkan bangsa Yahudi.
Sementara, di India, terutama di dalam tradisi Buddhis, Maitreya adalah Buddha yang akan menyelamatkan manusia dari Samsara, yakni berulangnya proses kehidupan yang menggiring manusia pada penderitaan. Cerita mitologi seputar kelahiran dan kehidupan Yesus menempel erat pada tradisi India, terutama kehidupan sang Buddha Gautama.
Sebutan untuk mereka berdua juga cenderung sama, yakni sang penyelamat, yang tercerahkan, yang terberkati dan bahkan raja. Yesus disebut sebagai Raja dari Kerajaan Surga.
Sementara, Buddha memang adalah seorang raja yang kini hidup dan mengajar untuk menyelamatkan seluruh manusia dari penderitaan. Kesamaan semakin terlihat di dalam tradisi ritual ajaran Kristen maupun Buddha. Susunan organisasi keagamannnya pun tak jauh berbeda.
Bagaimana semua kemiripan ini dijelaskan? Salah pandangan yang cukup umum disebut sebagai pandangan universalis. Inti pandangannya adalah, bahwa dasar keberadaan manusia memiliki kesamaan, lepas dari perbedaan budaya maupun agama.
Semua manusia mencari jalan untuk keluar dari penderitaan hidupnya, baik itu murid Yesus, Buddha, ataupun semuanya. Semua manusia juga merindukan adanya sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Pandangan ini muncul di dalam pemikiran para filsuf-psikolog besar, seperti Sigmund Freud dan Carl Jung. Mereka melihat, bahwa pola dasar pengalaman manusia itu bersifat universal. Pengaruh sosial budaya ada, namun tak mengubah kesamaan pengalaman dasar manusiawi yang ada.
Inilah sebabnya, mengapa Yesus dan Buddha sampai pada kesimpulan yang sama, walaupun mereka hidup di masa yang berbeda. Inilah juga sebabnya, mengapa hampir semua agama memiliki nilai dan pola yang sama.
Memang, jika diperhatikan dengan seksama, ajaran Yesus dan Buddha amat sangat mirip. Seolah mereka menyampaikan satu pesan yang sama dengan bungkus yang berbeda.
Kesamaan tidak hanya di tingkat bahasa, tetapi juga di tingkat struktur argumen, dan isi. Menyadari ini, di abad 20 dan 21, kerja sama kedua agama memang semakin erat. Thomas Merton dari sisi Kristianitas, dan Dalai Lama dari sisi agama Buddha.
Hal ini bisa dilihat dari dua sudut pandang. Pertama, semua kesamaan ini hanya kebetulan belaka. Namun, jika ditelaah lebih dalam, pandangan ini tidak cukup kuat.
Kedua, seperti sudah disinggung sebelumnya, manusia memiliki keadaan alamiah yang sama. Yesus dan Buddha akan sampai pada kesimpulan yang sama, walaupun ajaran mereka tak pernah sungguh berjumpa.
Ada hukum semesta yang membimbing manusia ke arah kebahagiaan yang sesungguhnya. Hukum semesta ini bisa diterapkan dengan dua hal, yakni melatih batin dan bersikap bijak di dalam keseharian.
Yesus dan Buddha menemukan hukum ini, walaupun ajaran mereka, mungkin, tak berjumpa langsung. Namun, ini tak menjelaskan mitos yang ada di sekitar Yesus dan Buddha. Keduanya sama persis dengan mitos di dalam tradisi India.
Namun, pandangan ini sebenarnya tidak cukup kuat. Setiap budaya memiliki nilai-nilainya sendiri. Seringkali, nilai-nilai tersebut bertolak belakang.
Tidak hanya itu, orang dari agama dan budaya yang sama saja kerap memiliki tata nilai yang berbeda. Ini terjadi juga di dalam berbagai agama, termasuk Kristen dan Buddha.
Pandangan universalis tampak mengabaikan hal ini. Namun, jika sungguh diperhatikan, ajaran Yesus dan Buddha tidak hanya mirip. Mereka sama dalam semua hal.
Ini adalah hal yang unik di dalam sejarah perbandingan agama. Ini mengarah pada kesimpulan, bahwa ajaran yang satu (ajaran Buddha) mempengaruhi ajaran yang lain (ajaran Yesus).
Tentang hidup Yesus, banyak hal yang tak terjelaskan di dalam keempat Injil yang diakui Kristianitas. Ada sekitar 17 tahun dalam hidup Yesus yang tak bisa terjelaskan. Ini terjadi, antara usia Yesus yang ke 12 sampai ke 29.
Inilah yang disebut tahun-tahun yang hilang (the Lost Years) di dalam kesenyapan Kitab Suci (Biblical Silence). Bahkan dapat dikatakan, bahwa ajaran Yesus hanya bisa dipahami dari tiga tahun terakhir hidupnya.
Mengapa para murid Yesus, dan jutaan pengikut Yesus lainnya, tidak pernah berbicara soal tahun-tahun yang hilang ini? Jawabannya tidak. Sebaliknya, begitu banyak cerita tentang Yesus tersebar di berbagai penjuru Timur Tengah dan Mediterania.
Bentuknya pun beragam, baik doa, kotbah dan surat-surat. Pada abad kedua setelah Masehi, Gereja Katolik menghancurkan semua cerita tentang Yesus yang berbeda dengan tafsiran mereka.
Semua itu dicap sebagai kitab-kitab terlarang. Proses brutal ini bahkan terjadi sampai abad 20 lalu. Gereja mengirimkan berbagai utusan untuk menghancurkan data yang bertentangan dengan iman mereka. Banyak data di Asia Tengah dihancurkan.
Ini memang masih di masa, dimana kekuasaan agama dan politik dunia tak bisa dipisahkan. Ancaman terhadap agama dilihat sebagai ancaman terhadap kekuasaan politik tertentu, sehingga diserang dengan kejam.
Para penguasa Gereja ingin memastikan satu hal, bahwa Yesus adalah anak Tuhan yang menyebarkan agama baru di Israel. Semua pandangan yang berbeda, ataupun mempertanyakan, dari pandangan itu dianggap terlarang.
Karya-karya tertulis yang ada pun kemudian dihancurkan, atau ditulis ulang. Keempat Injil yang diakui pun bukan lagi sesuai dengan karya aslinya. Berbagai perubahan dibuat untuk menjaga kepentingan para penguasa Gereja.
Di masa-masa Gereja perdana, pelestarian citra Yesus sebagai anak Tuhan di kalangan Yahudi amatlah penting. Keselamatan bangsa Yahudi bergantung padanya. Citra ini penting untuk memperkuat perjuangan politik Yahudi melawan Kekaisaran Romawi.
Sebagai anak Tuhan dan orang Yahudi, citra Yesus penting untuk menyatukan orang-orang Yahudi dari kelompok yang berbeda. Maka dari itu, semua sejarah Yesus terkait dengan pemikiran Asia haruslah sedapat mungkin dihilangkan.
Apakah Yesus, lalu, adalah seorang Buddhis? Jawabannya adalah ya, sekaligus tidak. Yang jelas, pengaruh ajaran Buddha, dan filsafat Asia pada umumnya, amat terasa di dalam ajaran-ajaran Yesus.
Bukti-bukti sejarah, geografis dan tekstual kiranya mendukung pandangan ini. Bahkan, sebelum Yesus lahir, ajaran Buddha sudah tersebar luas di Timur Tengah, termasuk Yerusalem.
Ada beberapa pemikir yang menolak hal ini. Alasan mereka jelas, yakni supaya Kristianitas menjadi milik peradaban Eropa, dan tidak ada pengaruh dari peradaban lainnya. Ini adalah pandangan yang didasarkan pada rasisme terhadap suku bangsa lain.
Data sejarah kiranya berkata berbeda. Selama lebih dari 4000 tahun, Eropa dan Asia sudah berjumpa satu sama lain, baik dalam bentuk perdagangan, perang maupun pertukaran budaya oleh kerajaan-kerajaan besar di masa lalu.
Dari sisi Barat, Raja Alexander menyebarkan pandangan hidup Yunani Kuno ke Timur Tengah, Asia Tengah sampai India Utara. Ia menyebarkan pandangan ini melalui perang dan penaklukan yang berdarah. Dari sisi Timur, Raja Ashoka menyebarkan ajaran Buddhis ke Timur Tengah dan Asia Timur.
Ia memberikan dukungan bagi banyak pemikir Buddhis untuk menyebarkan ajaran mereka. Perjumpaan antara Eropa dan Asia juga terjadi secara intensif di Jalur Sutra yang menghubungkan Eropa dan Dinasti Han Cina sekitar seratus tahun, sebelum Yesus lahir.
Lalu, apakah Yesus pernah ke India? Sulit untuk memberikan jawaban yang pasti. Tahun-tahun yang hilang terus menjadi misteri bagi banyak teolog dan ahli Tafsir Kitab Suci. Yang pasti, Yesus tidak menetap di Israel.
Ia tidak bekerja sebagai tukang kayu, mengikuti ayahnya. Ia berkeliling ke berbagai tempat, berjumpa dengan filsafat Asia, dan mendalaminya, terutama ajaran Buddha.
Di India dan bahkan Cina, catatan tentang Yesus banyak tersebar. Memang sulit untuk menentukan keaslian dari catatan-catatan ini. Ketertarikan pada Yesus juga besar di Asia, bahkan sebelum Misionaris Kristen dari Eropa datang kesana. Kisah hidup dan ajaran Buddha dan Yesus sangatlah mirip. Kebetulan bukanlah penjelasan yang memadai atas fakta ini.
Tidak semua peradaban memiliki nilai yang sama dengan Buddha maupun Yesus. Kesamaan diantara keduanya terlalu khas dan amat spesifik. Ketika para Misionaris Kristen dari Eropa berjumpa dengan ajaran Buddha, mereka menyebut ajaran Buddha sebagai agama Kristen dari Timur.
Sebutan itu kiranya kurang tepat. Ajaran Buddha berkembang 500 tahun, sebelum Yesus lahir. Hanson merumuskan sebutan yang lebih tepat. Agama Kristen adalah ajaran Buddha dari Barat.
Beberapa refleksi
Ada beberapa refleksi dari pemaparan sebelumnya. Pertama, keunikan ajaran Buddha dan ajaran Yesus terletak dalam keterkaitannya dengan kekayaan tradisi yang sudah ada. Persilangan tradisi dan ajaran menghasilkan agama-agama besar yang membentuk peradaban manusia.
Setiap ajaran memiliki ciri unik yang lahir dari dialog dengan ajaran-ajaran lainnya. Orang pun bisa beragama dengan hikmat, sambil menghargai kekayaan ajaran-ajaran agama lainnya.
Dua, pemahaman di atas penting untuk dialog antar agama. Di abad 21 ini, walaupun melemah, peran agama tetap besar di banyak masyarakat. Perdamaian dunia pun hanya menjadi mungkin, jika ada perdamaian antar agama.
Dialog antar agama memainkan peranan penting dalam hal ini. Dialog yang sejati hanya mungkin, jika ada pemahaman antar agama yang lahir dari kajian perbandingan agama semacam ini.
Tiga, pemahaman sejarah dan hubungan antar agama akan melahirkan kesadaran kosmopolit. Ini adalah kesadaran manusia sebagai mahluk semesta. Kesadaran ini melampaui segala batas identitas sosial buatan manusia yang bersifat sementara.
Di abad 21 yang amat kompleks ini, kesadaran kosmopolit penting untuk mewujudkan keseimbangan batin manusia, sekaligus dalam hubungannya dengan manusia lain. Ia juga amat penting untuk mewujudkan hidup beragama yang seimbang dan beradab.
Empat, dialog antar agama haruslah menjadi bagian dari pola pendidikan yang resmi. Agama tidak bisa diajarkan secara sepihak. Ini akan jatuh pada radikalisme dan narsisisme agama yang memperkeruh kehidupan bersama.
Agama harus diajarkan dalam dialog dengan agama-agama lainnya. Kaitan antara ajaran Buddha dan Yesus kiranya bisa menjadi bahan ajaran resmi yang memperkaya semua umat beragama.
Kesimpulan
Yesus mendalami ajaran Buddha, dan menyebarkannya di Israel. Inilah fakta sejarah yang didukung oleh data geografis, sejarah maupun tekstual. Isi dan metode pengajaran Buddha dan Yesus tidak hanya mirip, tetapi sama persis.
Memang, setiap agama berdiri dan berkembang dalam dialog dengan agama dan peradaban lainnya. Kita hidup dalam dunia yang saling terkait satu sama lain, tanpa terpisahkan.
Keadaan ini yang membuat hubungan antara agama, terutama Buddha dan Kristen, tidak hanya penuh kedamaian dan pemahaman, tetapi memperkaya peradaban manusia yang lebih luas dengan kebijaksanaan lintas generasi. Hal ini perlu untuk dipahami dan ditekankan di dalam setiap pendidikan agama yang ada.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara