• Thursday, 7 May 2020
  • Adica Wirawan
  • 0

Jelang Waisak, sejumlah wihara biasanya mengadakan Pekan Penghayatan Dhamma. Dalam kegiatan ini, Umat Buddha bisa mempelajari dan membahas Dhamma yang disampaikan oleh para bhikkhu atau pandita. Dengan demikian, Dhamma yang belum diketahui atau terlupa dapat diresapi kembali, sehingga hal itu akan memperkuat keyakinan terhadap Tiratana.

Meski begitu, sayangnya, paparan Dhamma yang disampaikan umumnya masih berbentuk ceramah. Hanya ada sedikit bhikkhu atau pandita yang menerangkan Dhamma berdasarkan sutta. Padahal, pembahasan Dhamma berbasis sutta dinilai cukup penting karena hal ini lebih objektif dan jelas.

Metode tersebut dinilai bisa “meminimalkan” munculnya pandangan subjektif, yang mungkin “terbawa” saat seseorang mengajar Dhamma. Dengan demikian, umat yang menyimak tidak salah persepsi, sekaligus terhindar dari perdebatan soal keaslian ajaran yang dipaparkan.

Sutta-sutta pilihan yang digunakan untuk mengajarkan Dhamma bisa ditemukan di sejumlah kitab, seperti Anguttara Nikaya, Majjima Nikaya, dan Digha Nikaya. Isinya tentu beragam, bergantung pada latar cerita dan panjang narasi yang ditunjukkan.

Sutta-sutta tadi umumnya memuat dialog antara Buddha dan para siswa-Nya. Oleh karena Buddha mengajar dalam banyak kesempatan, maka, jangan heran kalau sutta-sutta yang terdapat di Tipitaka jumlahnya sangat banyak, lebih dari judul.

Sutta-sutta tadi tak hanya memuat ceramah-ceramah Buddha untuk para bhikkhu, tetapi juga mengangkat persoalan yang dihadapi oleh para umat awam.

Beberapa di antaranya ialah Siha Senapati Sutta, Sigalovada Sutta, Cula Kamma Vibhanga Sutta, dan Kalama Sutta. Dalam sutta-sutta tadi, Buddha menawarkan sebuah “resep” untuk mengatasi masalah yang dialami oleh para perumah tangga.

Setelah Buddha wafat, sutta-sutta tadi kemudian dikumpulkan, dirumuskan, dan diwariskan dari turun-temurun. Dulunya, sutta-sutta tersebut diingat, disampaikan, dan diulang secara lisan, tetapi belakangan dalam Konsili Agung Buddhis ke 4, sutta-sutta tadi kemudian ditulis. Hal ini dilakukan untuk mempermudah pelestarian ajaran Buddha.

Sejak saat itu, sutta-sutta yang disampaikan Buddha sering dikutip untuk membabarkan Dhamma. Terkadang hanya satu larik yang diambil, tetapi tidak sedikit yang membahas sutta secara keseluruhan.

Di sejumlah wihara, pembahasan Dhamma berbasis sutta cukup sering dilakukan. Di Myanmar, misalnya, metode ini menjadi standar baku untuk menyampaikan ajaran Buddha.

Para Sayadaw di sana biasanya mengupas ajaran Buddha dari sutta-sutta tertentu, dan membahasnya lengkap dengan disertai penjelasan dari kitab komentar. Alhasil, metode ini membuat penyampaian ajaran Buddha lebih terstruktur dan mudah diterima.

Metode ini kemudian dipakai oleh beberapa bhikkhu di Indonesia untuk menjelaskan Dhamma. Sebut saja Bhante Kheminda. Sejak memutuskan menyiarkan ajaran Buddha di Indonesia beberapa tahun lalu, beliau menetapkan pembahasan sutta sebagai “tulang punggung” dari ceramah-ceramah yang disampaikannya.

Maka, jangan heran, kalau mendengar ceramah beliau di Dhammavihari Buddhist Studies atau via youtube, maka, kita akan lebih banyak mendapat informasi dari sutta-sutta yang dikupas beliau.

Lewat rincian yang disampaikan Bhante Kheminda, ternyata ada begitu banyak “mutiara” di dalam sutta yang belum banyak terungkap. “Mutiara” ini hanya bisa diketahui kalau kita “membedah” sebuah sutta dengan disertai kitab komentar, sehingga esensi yang terkandung di dalamnya lebih mudah “ditangkap” dan “diresapi”.

Tanpa pembahasan yang menyeluruh demikian, bisa muncul bias-bias tertentu saat kita membaca sebuah sutta. Sebagai contoh, di wihara-wihara, umat Buddha mungkin sering mengulang Manggala Sutta.

Sutta ini memang menjadi favorit di kalangan umat Buddha. Sebab, selain isinya membahas tentang berkah, sutta ini juga termasuk paritta, yang sifatnya bisa memberi perlindungan dari marabahaya.

Meski begitu, ternyata tidak banyak umat Buddha yang tahu sejarah munculnya sutta ini. Padahal, hal itu penting diketahui karena kalau mengerti konteksnya, maka kita bisa memahami isinya dengan lebih baik. Tanpa mengetahui latar ceritanya dengan jelas dikhawatirkan bisa muncul salah tafsir dalam meresapi isi sutta tersebut.

Makanya, mempelajari sutta dan kitab komentarnya bisa menjadi sebuah “terobosan” dalam memahami ajaran Buddha dengan tepat. Sebab, hal itu akan memberi kita informasi tambahan tentang sutta yang sedang dipelajari, mulai dari sejarahnya, penyampaiannya, hingga poin-poin penting yang terdapat di dalamnya.

Oleh karena itu, alangkah baiknya kalau dalam kegiatan Pekan Penghayatan Dhamma disisipkan kelas yang secara khusus membahas sutta. Sutta-sutta yang dibahas tentu bisa disesuaikan dengan kondisi terkini, agar umat yang menyimak bisa merasakan relevansinya, serta memahami poin-poin penting yang terdapat di dalamnya.

Oleh karena sedang terjadi Pandemi Corona, maka kelas sutta pun bisa dilangsungkan secara virtual. Sekarang sudah ada teknologi yang memungkinkan setiap orang bertemu dan belajar tanpa harus hadir secara langsung. Biarpun agak berbeda, namun, hal ini tentu tidak mengurangi esensi dari pembahasan sutta yang dilakukan.

Dengan adanya pembahasan sutta, wawasan umat diharapkan semakin bertambah, sehingga umat tak hanya terampil membacakan sutta, tetapi juga memahami esensi di dalamnya. Dengan demikian, pemahaman umat terhadap ajaran Buddha bisa lebih mendalam.

Salam.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *