Wabah virus corona atau Covid-19 yang baru dimulai Desember 2019 lalu masih menjadi berita hangat di media massa. Tak hanya itu, meski baru berlangsung kurang lebih tiga bulan, wabah ini juga mulai mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat sehari-hari.
Lihat saja anjuran menyapa orang lain yang biasa kita lakukan dengan cara bersalaman. Kini cara sapaan yang dianjurkan adalah tanpa sentuhan fisik langsung, misalnya dengan sikap anjali sebagaimana yang umat Buddha sering lakukan atau membungkukkan badan seperti yang orang Jepang lakukan. Jabat tangan, cipika-cipiki mulai ditinggalkan terutama di negara-negara dengan tingkat penyebaran virus corona yang massif.
Contoh lain seperti memencet tombol lift atau membuka pintu. Pada barang-barang publik yang sering disentuh dan digunakan, mulai sering dibersihkan dengan disinfektan bahkan tiap sejam sekali. Selain itu perubahan transaksi juga kelihatannya bergeser ke arah digital.
Uang sering kali dianggap sebagai barang yang kotor dan bisa mengantar virus dari satu orang ke orang lainnya. Apalagi setelah memegang uang, orang sehat menyeka wajahnya dengan uang terkena virus Corona. Maka itu, transaksi online dan penggunaan uang digital kelihatannya menjadi semakin banyak dilakukan.
Ibadah
Perubahan perilaku juga sepertinya perlu dipertimbangkan terkait ritual dan ibadah umat Buddha. Sebagaimana yang biasa kita lakukan, umat Buddha akan pergi beribadah ke wihara-wihara seminggu sekali dan tidak menutup kemungkinan di tempat yang ramai tersebut ada satu-dua orang yang ternyata membawa virus Corona.
Berkaca dari kejadian jemaat Gereja Yesus Shincheonji di Korsel, sepertinya wihara perlu mulai berbenah diri. Bahkan kejadian Gereja Yesus Shincheonji ini dianggap sebagai sumber penyebaran masif virus Corona di Korsel sehingga pemimpin gereja meminta maaf secara publik lima hari yang lalu.
Bila jemaat gereja yang sudah diregistrasi pun bisa kecolongan, apalagi dengan umat Buddha yang hampir tidak memiliki data umat per wihara atau per wilayah. Salah satu kekhawatiran dari pemerintah Hong Kong sebagaimana dilaporkan berbagai media, adalah penyebaran antarumat di wihara dan kuil di Hong Kong.
Kesulitan pendataan dan tindak lanjut ini akibat tidak adanya registrasi/daftar umat yang datang ke wihara maupun kuil di Hong Kong sehingga ketika seorang umat wihara dinyatakan positif Corona, pemerintah kesulitan mengidentifikasi peta penyebaran umat lain yang datang dan melakukan kontak dengan si umat.
Problem
Ini bukan hanya masalah umat wihara, tapi juga umat-umat di tempat ibadah lainnya. Hampir semua agama besar di dunia menganjurkan umatnya untuk beribadah di tempat ibadah masing-masing secara bersama-sama, baik setiap minggu atau setiap ada perayaan besar keagamaan. Registrasi umat bisa menjadi salah satu upaya pencegahan maupun identifikasi manakala sebuah wabah sedang terjadi.
Saran lainnya adalah dengan mengadakan ibadah virtual sehingga umat tidak lagi diwajibkan datang ke tempat ibadah/pusat keramaian. Contoh anjuran umat untuk beribadah di rumah masing-masing telah dilakukan oleh beberapa pemerintah dan pemimpin agama seperti di Korsel dan Iran.
Karena itu, ibadah virtual dapat menjadi sebuah saran yang membantu umat untuk terus beribadah meski tidak dilakukan di wihara. Hal ini dapat dilakukan misalnya dengan sebuah aplikasi yang mana semua umat dapat mengetahui jadwal pujabhakti virtual, tersambung langsung dengan aula pujabhakti, mendengarkan ceramah bhante, melakukan tanya jawab, hingga berdana secara virtual.
Dengan demikian, setidaknya umat tidak beribadah sendiri-sendiri di rumah, tapi difasilitasi dengan aplikasi untuk melakukan ibadah virtual bersama-sama.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara