2020 sudah menyentuh hidup kita semua. Sejatinya, tahun memang ilusi. Ia tak sungguh ada. Matahari, planet, bulan, dan bintang tak mengenal waktu, apalagi tahun.
Namun, bagi manusia, waktu sungguh nyata. Detik dan menit bisa menjadi beda antara hidup dan mati. Waktu adalah ilusi yang menjadi nyata, persis karena pikiran manusia. Di tahun 2020 ini, kita hidup di masa yang menarik.
Kita hidup di abad kemudahan. Semua hal menjadi mudah. Semua keperluan bisa dicapai dengan hanya melakukan klik di gawai ataupun komputer. Bahkan, mencari pasangan jiwa kini dilakukan dengan mengklik foto di layar telepon seluler.
Kita juga hidup di abad sensasi. Semua orang ingin mendapat kenikmatan setiap saat, tanpa jeda. Berbagai cara dilakukan, mulai dari makan enak, belanja, bergosip, seks sampai dengan narkoba. Bahkan, sensasi dan kenikmatan dicari kerap kali dengan mengorbankan keseimbangan hidup.
Sensasi adalah kenikmatan sesaat. Panca indra kita dimanjakan oleh berbagai hal. Ia kerap datang, dan pergi setelah beberapa saat. Yang tersisa adalah rasa hampa, dan kerinduan untuk kembali merasakannya.
Manusia pemburu sensasi
Pertama, kerinduan akan sensasi membuat diri kita tak sabar. Kita menjadi rakus akan kenikmatan berikutnya. Kita dipenjara oleh kenikmatan yang kita raih dengan susah payah. Inilah salah satu dilema manusia abad 21: kita dipenjara oleh diri kita sendiri.
Dua, abad sensasi dan abad kemudahan juga membuat kita manja. Daya tahan kita menjadi lemah terhadap penderitaan. Sedikit kesulitan hidup akan membuat kita patah tak berdaya. Tak heran, kita kini menjadi spesies tukang mengeluh dan tak pernah puas, walaupun sudah mendapatkan semuanya.
Tiga, gejala kecanduan juga dapat dilihat dari sudut pandang ini. Kerinduan akan sensasi, dibarengi dengan kemanjaan kolektif, mendorong orang masuk ke dalam dunia narkoba. Gesekan dengan penegak hukum pun tak terhindarkan. Walaupun seringkali, suap dianggap menjadi jalan keluar.
Empat, kenikmatan akan selalu bermuara pada penderitaan. Itulah hukum alam yang tak akan bisa digoyang. Sensasi nikmat yang muncul akan berlalu, dan yang tersisa hanya kehampaan. Jika tak dipahami, maka keadaan hampa ini akan memperpanjang dirinya sendiri, dan menciptakan depresi.
Inilah siklus kenikmatan di dunia. Maka, selama kita mencari kenikmatan, kita akan selalu terjebak pada kehampaan. Untuk mengisi kehampaan itu, kita lalu mencari kenikmatan lainnya. Kita dipenjara oleh kerinduan untuk merasakan kenikmatan. Kita pun menderita.
Kecanduan berpikir
Kerinduan akan sensasi juga terkait dengan kecenderungan orang untuk melekat pada pikirannya. Manusia modern memang suka terjebak di dalam berpikir, ataupun menganalisis sesuatu secara berlebihan. Pendek kata, mereka diperbudak oleh pikirannya. Padahal, pikiran itu alat yang amat berguna untuk menjalani kehidupan.
Namun, ketika ia berhenti menjadi alat, dan mulai berlagak sebagai penguasa, maka segala macam masalah pun akan muncul. Masalah yang sebenarnya bagaikan bayangan, karena muncul hanya ada di kepala kita. Dalam jangka panjang, jika keadaan tetap seperti ini, orang pun bisa terjebak pada beragam bentuk penyakit mental. Penderitaan yang dirasakan amatlah besar.
Di sinilah sensasi seolah menjadi jalan keluar. Kenikmatan dicari, supaya orang bisa berjarak dari pikirannya sendiri, dan keluar dari penderitaan di kepalanya. Sebenarnya, inilah fungsi dari beragam bentuk narkoba, yakni supaya orang keluar dari pikirannya sendiri, dan hidup sepenuhnya disini dan saat ini. Kerinduan akan sensasi adalah pelarian dari penjara pikiran.
Sensasi tanpa adiksi
Di titik ini, ada tiga hal yang kiranya perlu diperhatikan. Pertama, sensasi tak sama dengan kebahagiaan. Kenikmatan juga bukanlah kebahagiaan. Kenikmatan akan menciptakan rasa yang berwarna, namun selalu berakhir dengan rasa hampa dan kecewa.
Dua, kebahagiaan sesungguhnya terletak pada kedamaian yang berada di latar belakang semua pikiran dan perasaan. Ia menjadi panggung dari pengalaman kita di dalam hidup. Inilah Sabu-Zen, yakni keadaan yang memberi terang dan kenikmatan, tetapi tidak membuat kecanduan. Dampak yang dihasilkan serupa, yakni energi dan terang pikiran. Namun, ia tidak memenjara batin di dalam kecanduan dalam bentuk apapun, kecuali kehidupan itu sendiri.
Tiga, kecanduan akan kehidupan membuat kita menyentuh „api“ di dalam diri kita. Terkadang, kita menemukan kedamaian. Terkadang, kita menemukan gairah untuk bertindak. Dan kehidupan itu adalah energi. Ia abadi, hanya bentuk-bentuknya saja yang berubah.
Kerinduan akan sensasi tidak akan pernah bisa terpuaskan dengan kenikmatan belaka. Ia membutuhkan sesuatu yang bersifat abadi untuk sungguh memuaskannya. Kehidupan adalah sabu alami itu sendiri. Ia memberikan api, tetapi tidak memenjara orang di dalam kecanduan. Kehidupan itu sendiri adalah “sabu-zen“.
Kehidupan ini bisa sungguh disentuh, jika kita melihat ke dalam. Inilah jalan Zen, sekaligus inti dari semua ajaran pencerahan di dunia. Dunia luar selalu berubah, dan menjebak kita di dalam tipuan kenikmatan. Namun, jika kita melihat ke dalam, kita akan menyentuh inti dari kehidupan itu sendiri. Nama lainnya beragam. Salah satunya adalah Tuhan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara