Sejak tinggal di Pondok Pesantren di Pati, Jawa Tengah, saya sudah terbiasa minum kopi. Disela-sela ngaji dengan Kyai, atau selepas sekolah di Madrasah Aliah (setingkat SMA), saya sempatkan minum kopi. Salah satu warung kopi favorit saya saat itu adalah warung kopi Mbaos di sekitaran Trangkil. Kopinya enak dan harganya cocok untuk pelajar yang suka kekeringan uang.
Namun, 4 tahun terakhir saya memutuskan hanya minum kopi-kopi asli nusantara dan bukan kopi instan. Alasan saya sederhana, karena segala sesuatu yang instan akan ada efek negatifnya. Sama seperti mie instan. Selain itu, kandungan gula yang tinggi membuat saya tidak bisa menikmati cita rasa kopi yang beragam.
Saya suka semua kopi yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Keragaman yang ada di Indonesia termasuk keragaman varietas kopi adalah anugerah Tuhan yang sangat saya syukuri. Mungkin anda belum tahu, bahwa Indonesia adalah penghasil kopi terbesar keempat di dunia setelah Brazil, Vietnam, dan Kolombia.
Profesi saya sebagai fasilitator pelatihan 3 tahun belakangan ini membuat saya beruntung bisa jalan-jalan ke berbagai daerah di Indonesia. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan untuk menikmati kopi khas Nusantara. Banyak pelajaran berharga yang bisa saya dapatkan.
Kopi dapat menyelesaikan problem sosial
Bulan Juli 2018, saya mendapatkan tugas mengisi sebuah pelatihan guru di Pematangsiantar. Kotanya sejuk, warganya ramah, dan beragam latar belakang. Oleh beberapa guru, saya diajak untuk minum kopi di Kedai Kopi Kok Tong. Konon, ini kedai kopi legendaris yang usianya hampir 1 abad.
Sesampainya di kedai, saya merasakan suasana keakraban dari pemilik kedai dan pengunjung. Saya melihat pengunjung yang datang beragam latar belakang dan usianya. Ada pegawai PNS yang masih mengenakan seragam, beberapa saya melihat puluhan orang rombongan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dari Surakarta. Saya mendapatkan bisikan, sedang ada “studi banding”.
“Pematangsiantar merupakan salah satu kota paling toleran di Indonesia,” kata Friado Damanik, salah satu teman saya.
“Kenapa bisa menjadi kota paling toleran? Apa penyebabnya?” tanya saya sambil menyeruput kopi yang begitu nikmat.
“Coba Mas lihat, semua warga di sini menyelesaikan semua persoalan di warung kopi. Baik itu masalah keluarga, kerjaan, politik, dan persoalan pemerintahan,” jawabnya dengan penuh keyakinan.
“Tidak hanya itu Mas, di warung kopi juga tersedia puluhan koran lokal yang setiap hari bisa kami baca. Jadi selain ngopi, kami juga suka baca,” tukas salah seorang teman lain.
Sambil menghabiskan kopi, saya amati memang tersedia koran-koran lokal di pojokan ruangan. Kopi memang pahit, tapi menjadikan hidup semakin manis.
Kopi membuat saya menemukan kedamaian
Saya tinggal di Bogor, dan setiap hari bekerja di Jakarta. Setiap pagi harus bangun pagi untuk memandikan kedua anak saya dan mengantarkannya ke sekolah. Setelah itu saya harus mengejar kereta dan berdesakan dengan jutaan penumpang lainnya. Belum lagi polusi udara dan kemacetan Jakarta yang begitu menggila.
Kejadian-kejadian yang menjengkelkan pun sering saya alami karena tergesa-gesa. Misalnya, lupa menyopot helm saat masuk ke dalam stasiun, kunci sepeda motor yang hilang entah kemana, ketinggalan charger handphone, dan lain sebagainya. Awalnya saya merasa ini karena stres beban kerjaan, saya mencoba untuk ambil liburan. Tapi persoalan muncul kembali.
Suatu sore, saya membaca buku sambil menikmati kopi Temanggung. Saya masih ingat betul, dalam buku itu tertulis “mencuci piring hanya untuk mencuci piring” sebuah tulisan Thich Nhat Hanh. Mencuci piring bukanlah untuk mendapatkan kebersihan, tapi lakukanlah hanya untuk mencuci. Saya berhenti membaca dan mencoba mencermati. Saya baca lagi. Mencuci piring bukanlah untuk mendapatkan kebersihan, tapi lakukanlah hanya untuk mencuci. Jika terlalu fokus tujuan, maka kamu akan tergesa-gesa. Maka rileks lah. Lakukan dengan penuh kesadaran dan ketelitian.
Sore itu, seperti mendapatkan ilham. Saya kemudian menutup buku dan perlahan fokus untuk minum kopi. Saya pegang gagang gelas, perlahan saya angkat, lalu hirup aroma kopi Temanggung. Wanginya sungguh harum. Hmmm. Saya minum perlahan sambil menikmati udara sore. Beberapa burung berkicauan bersahutan dengan kendaraan bermotor beriringan. Saya betul-betul menikmati momen yang langka. Saya betul-betul menikmati pernapasan yang teratur dan pikiran yang tenang sore ini.
Sejak saat itu, kemampuan hidup berkesadaran terus saya asah. Tiap pagi saya minum kopi sambil meditasi. Menjalani hidup penuh dengan ketenangan, fokus terhadap apa yang terjadi sekarang adalah kunci kedamaian yang saya temui saat ini.
Selamat mencoba.
Muhammad Mukhlisin
Kepala Sekolah Guru Kebinekaan, Jakarta.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara