• Saturday, 22 December 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Bang, harganya berapa?” tanya penulis.

“Dua puluh ribu rupiah…” jawab pedagang.

“Bukannya sepuluh ribu? Biasa saya beli, harganya cuma sepuluh ribu Bang…”

“Modalnya saja sudah lebih dari sepuluh ribu. Tambahlah sedikit.”

Penulis beranjak pergi, akhirnya dipanggil oleh penjual dan penulis membeli barang tersebut dengan harga sepuluh ribu rupiah.

Anda sering mengalami hal seperti itu? Ada beberapa kalimat sejenis yang diucapkan pedagang agar kita menaikkan tawaran harga. Ada pedagang yang bilang, “Beli grosiran saja tidak dapat harga segitu” atau “Kalau dapat harga segitu, saya berani beli dari Bapak.”

Penulis tidak menaikkan harga karena jelas-jelas penulis tau harga modal barang itu karena di rumah, kami pun menjual produk yang sama. Harga itu sudah termasuk keuntungan yang cukup untuk si pedagang.

Mungkin terlintas di benak Anda, wajarlah pedagang berbohong. Kalau jujur, mana mungkin laku atau kalau jujur, mana bisa cari makan. Benarkah demikian?

Dalam Dhamma, kita tentu ingat sila keempat Pancasila Buddhis, Musavada veramani sikkhapadam samadiyami (aku bertekad akan melatih diri untuk menghindari ucapan yang tidak benar).

Apakah berbohong merupakan suatu keharusan agar barang kita laku terjual? Tentunya tidak. Ada banyak cara agar dagangan kita terjual tanpa kita berbohong. Harga memang salah satu penentu seseorang berbelanja di toko kita, tapi itu bukan satu-satunya alasan.

Kalimat yang lebih bijak

Sebuah kalimat bisa mempunyai makna yang sama, tapi kita bisa mengemukakan kalimat itu terdengar lebih baik, dan tentu saja tidak berbohong.

Penulis teringat kisah yang pernah penulis dengar. Ada kasus ada bayi kembar siam yang harus dipisahkan. Dalam kasus ini, hanya 1 bayi yang selamat karena ada organ dalamnya yang hanya satu dan operasi tetap harus dilakukan untuk menyelamatkan bayi. Intinya, bayi harus diselamatkan (jangan sampai keduanya meninggal).

Dalam kasus ini, ada dua sisi yang berseberangan. Kabar baiknya, dengan operasi ini seorang bayi akan selamat, tapi di sisi lain; seorang bayi akan meninggal.

Saat akan masuk kamar operasi, dokter ketua tim operasi bisa mengatakan “Ayo kita selamatkan seorang bayi” atau kalimat sadis, “Ayo kita bunuh satu bayi.” Sebenarnya kedua kalimat itu menyajikan fakta yang sama, selesai operasi kemungkinan hanya 1 bayi yang selamat. Tapi kalimat pertama tentu akan menimbulkan semangat tim dokter saat melangkahkan kaki memasuki kamar operasi. Kalimat kedua? Penulis yakin, kemungkinan dokter-dokter yang mendengarkan ucapan ketua tim operasi akan stres!

Pelayanan sebagai nilai lebih

Harga bukanlah satu-satu penentu kita memutuskan untuk membeli suatu barang. Pelayanan yang baik itu salah satu nilai lebih. Dalam beberapa kasus, penulis memutuskan tetap membeli barang di sebuah toko meski terkadang harga di toko itu sedikit lebih mahal. Mengapa? Pelayanannya lebih baik. Penjualnya tersenyum, saat bertanya dijawab dengan baik, produk yang dijualnya berkualitas baik, dan melayani dengan sepenuh hati.

Lantas bagaimana dengan kalimat yang mengandung kebohongan yang di awal tulisan tadi. Apakah ada kalimat lain? Tentu ada. Anda tidak perlu mengucapkan kalimat yang mengandung kebohongan. Saat pembeli menawar dan harganya dirasa masih rendah (untungnya masih sedikit), Anda bisa mengucapkan kalimat seperti ini: “Tambah sedikit lagi Pak, sekarang biaya hidup semakin tinggi” atau “Belum bisa Pak, jual barang seperti ini keuntungannya sedikit.”

Kita bisa mengucapkan kalimat lain yang meminta calon pembeli untuk menaikkan harga tanpa kita harus berbohong.

Penulis pernah jadi langganan pada sebuah toko karena kejujurannya. Hal ini berbanding terbalik dengan toko lain (tempat penulis biasa berbelanja). Kisahnya seperti ini.

Saat itu penulis akan membeli lem untuk merekatkan barang berbahan karet.

“Pak, ada lem A (penulis menyebut merek lem tersebut)?” tanya penulis kepada pemilik toko yang hari itu sedang cukup banyak pembeli.

“Oh… ada. Lem A memang lem yang kuat dan paling laku,” kata pemilik toko sambil berpromosi. “Mau berapa kaleng?” tanya pemilik toko.

“Satu kaleng saja,” jawab penulis.

Lalu ia berteriak kepada karyawannya, “Man, ambilkan lem A untuk Bapak ini.”

“Pak, lem A habis,” kata karyawannya.

“Aduh, maaf lem A habis,” kata pemilik toko. “Pakai lem B saja. Lem ini lebih murah, tapi kualitasnya lebih bagus daripada lem A. Cuma ini produk baru, jadi harganya lebih murah,” kali ini ia mempromosikan lem B karena lem A stoknya kosong.

Begitulah trik pedagang agar barang dagangannya laku (bila perlu dengan cara berbohong). Yang sering terjadi adalah bohong dalam timbangan. Anda beli barang satu kilogram, kalau sampai di rumah dan ditimbang lagi, beratnya kurang dari satu kilogram. Lucunya, meski sudah jadi rahasia umum jika pedagang “biasa” berbohong, kita masih saja iseng bertanya. “Pak, jeruknya manis?” Penulis yakin, meski jeruknya asem, ia pasti akan mengatakan jeruknya manis.

Baca juga: Silakan Berbohong…

Satu lagi. Saat barang yang Anda cari tidak ada di  toko itu. Pedagang akan bilang beberapa hari lagi kemungkinan barang tersebut baru datang lagi (sedang dalam proses pengiriman). Kita sering bertanya, “Harganya berapa Pak?” Maksud hati agar kita tau harga pasaran barang itu, jadi kalau beli ke toko lain, tidak kemahalan karena sudah ada harga patokan. Di sini pun pedagang sering berbohong. Ia akan memberitahu harga barang itu lebih murah daripada harga biasanya. Anda cek ke toko lain, terkesan harga barang di toko lain lebih mahal. Beberapa hari kemudian Anda ke toko itu lagi, barangnya sudah ada, dan ternyata harganya sama dengan toko lain. Alasannya? “Aduh maaf, sekarang harga modalnya sudah naik, jadi harganya segini.”

Pada kasus lain, penulis lebih suka belanja ke warung lain karena pemilik warung di dekat rumah suka sekali ngerumpi. Ia lebih mementingkan ngerumpi daripada pelanggan yang datang. Jika Anda datang dan akan belanja, sedangkan ia sedang asyik ngerumpi dengan ibu yang sedang belanja, ia akan lebih fokus ngerumpi daripada melayani Anda. Ia tidak maksimal melayani, lambat dan sering salah mengambil barang yang akan Anda beli. Hal ini dapat membuat calon pembeli beralih ke warung lain.

Ada lagi contoh pedagang yang menarik pembeli lewat pelayanan lebih. Linda, istri penulis, langganan pada seorang pedagang tempe. Harga yang ditawarkannya sama dengan harga tempe di pedagang lain, tapi ia punya pelayanan yang lebih. Pedagang akan bertanya mau dimasak apa? Kalau akan dibuat tempe mendoan, ia akan bantu memotong tempe tersebut menjadi irisan-irisan tipis atau memotong ukuran dadu kecil untuk dimasak kecap. Ada pelayanan lebih seperti ini, akankah Anda pindah ke pedagang lain?

Atau kisah masa kecil Linda yang tak terlupakan. Ia mengatakan Mamanya langganan belanja keperluan sehari-hari pada sebuah toko. Dan saat diajak ke pasar, ia sangat senang. Mengapa? Saat belanja di toko itu, ia sering mendapat bonus, misalnya permen atau wafer. Sekali lagi ini tentang pelayanan lebih.

Dalam sila keempat Pancasila Buddhis, kata musavada (berkata tidak benar, termasuk gosip, fitnah, dan pembicaraan yang tidak berguna). Jadi, meski tidak berbohong (misalnya soal harga modal barang atau timbangan), tapi seorang pedagang (Buddhis) yang suka bergosip atau mengeluarkan kata-kata kasar, sama saja melanggar sila keempat.

Jadi kesimpulannya, jadi pedagang, kita tidak harus berbohong agar barang dagangan kita laku. Kita bisa belajar lebih bijak dalam mengatakan sesuatu. Kita bisa “membujuk” pembeli agar membeli barang dagangan kita tanpa harus berbohong. Ramah melayani, jujur (misalnya soal berat barang yang dijual), memberi pelayanan yang lebih, dan jangan manyun jika orang tak jadi beli, hal ini akan membuat dagangan Anda laris tanpa perlu berbohong.

Hendry F. Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *