• Sunday, 23 December 2018
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Dalam kosmologi Buddhis kita mengenal istilah Asura dan Dewa. Keduanya adalah makhluk-makhluk yang menempati alamnya masing-masing. Menurut mitologi Buddhis, Asura berwujud raksasa yang tinggal di alam Kāmadhātu. Mereka digambarkan memiliki tiga kepala dan empat atau enam lengan. Meskipun termasuk salah satu dari 4 alam rendah (selain alam binatang, peta, dan neraka), Asura sendiri sebenarnya memiliki kekuatan yang lebih hebat daripada manusia.

Para Asura memiliki kemampuan mental layaknya manusia, tetapi sayangnya mereka dipenuhi oleh ego, kebengisan, dan kecemburuan terhadap makhluk-makhluk lainnya yang dianggap lebih tinggi. Oleh karena watak seperti itulah alam Asura tidak pernah damai dan selalu mencari pertempuran.

Dikatakan pula bahwa para Asura memiliki kehidupan yang lebih nikmat daripada manusia. Tetapi karena kecemburuan mereka terhadap para Dewa, mereka selalu merasa tidak puas dan ingin merebut alam surga dari tangan para Dewa.

Dikisahkan bahwa dulunya para Asura tinggal di surga Tavatimsa di puncak Sumeru bersama dengan para Dewa lainnya. Suatu ketika, Sakka menjadi Dewa penguasa di alam tersebut. Para Asura merayakannya dengan meminum banyak sekali anggur Gandapāna, sebuah minuman beralkohol yang sangat kuat hingga Sakka melarang semua Dewa untuk meminumnya. Karena mabuk oleh alkohol, para Asura ini tidak dapat melawan ketika Sakka mengusir mereka dari surga Tavatimsa ke bawah di kaki gunung Sumeru.

Sebuah pohon yang disebut Cittapātali tumbuh di sana. Ketika para Asura melihat pohon itu mekar, mereka menyadari bahwa pohon itu berbeda dari pohon Pāricchattaka yang tumbuh di tempat lama mereka. Sejak itu mereka sadar bahwa mereka telah diusir dari Tavatimsa.

Musuh

Pertarungan antara para Asura dan Dewa tidak terelakkan lagi. Para pemimpin Asura disebut Asurendra. Terdapat beberapa Asurendra karena Asura sendiri terbagi menjadi beberapa suku. Di antaranya adalah Vemacitrin, Rāhu, dan Pahārāda. Menariknya, Sakka jatuh cinta pada putri dari Vemacitrin bernama Sujā. Dalam sebuah pertemuan para Asura, Vemacitrin memberikan hak kepada putrinya untuk memilih pendamping hidup dan dia memilih Sakka, yang mengikuti pertemuan tersebut dalam rupa seorang Asura. Dengan demikian Vemacitrin adalah ayah mertua Sakka.

Demikianlah mitologi tentang Asura dan Dewa yang biasa kita kenal dalam agama Buddha. Secara umum dapat dikatakan bahwa Asura adalah representasi dari sifat buruk seperti kecemburuan dan kebengisan yang perlu kita waspadai dan atasi dengan mawas diri. Akan tetapi, tidak semua Asura itu jahat dan sebaliknya tidak semua Dewa itu baik. Beberapa Asura digambarkan sebagai penjaga kuil-kuil buddhis seperti Nio atau Kongorikishi yang menjaga kuil-kuil buddhis di Asia Timur, maupun dvarapala yang berada di candi-candi Indonesia.

Monotheis

Apabila dalam agama Buddha Asura merepresentasikan sesuatu yang negatif dan Dewa merepresentasikan sesuatu yang positif, dalam konteks Indo-Iranian hal ini berbanding terbalik. Terdapat beberapa paham keyakinan yang muncul di Iran (dulu Persia) seperti Zoroastrianisme.

Zoroastrianisme atau Mazdayasna adalah agama monotheisme yang disampaikan oleh Nabi Zoroaster (Zarathustra) pada abad 5 SM. Kitab terpenting dari Zoroastrianisme adalah Avesta yang terdiri dari tulisan-tulisan Zoroaster (disebut Gathas) dan naskah suci (Yasna). Dewa utama atau Tuhan dalam agama ini disebut Ahura (Sang Pencipta) dan Mazda (Maha Bijaksana). Ahura Mazda adalah sumber segala kebaikan dan Asha (Kebenaran) dan tidak ada kejahatan yang muncul darinya.

Baca juga: Kebaikan Tak Mengenal Batas Agama

Sedangkan Daeva dalam bahasa Avestan adalah istilah makhluk super dengan karakteristik yang jahat. Dalam Gathas, para Daeva dikatakan sebagai dewa-dewa jahat, tuhan palsu atau dewa yang patut ditolak. Mereka dianggap sebagai sumber kekacauan dan kejahatan.

Dari sini kita dapat melihat adanya kemiripan etimologi antara “deva dan daeva” serta “asura dan ahura” meskipun keduanya memiliki peranan yang bertolak belakang. Keterkaitan antara kedua istilah ini memunculkan isu kemungkinan adanya pertukaran budaya (termasuk perang) antara India dan Iran di masa lampau.

Isu tersebut diteliti oleh Peter von Bradke pada 1885. Hubungan antara Asura/Ahura dan Deva/Daeva pada masa Indo-Iranian didiskusikan secara panjang lebar oleh F.B.J. Kuiper (1983). Semua teori dan hipotesis yang sempat menjadi topik panas pada abad ke-20 sekarang telah dipertanyakan kembali karena kurangnya bukti-bukti arkeologi.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *