Kata Buddha dan politik agak jarang ditemui berpautan. Apabila kata Buddha membuat kita merasa damai, kata politik terkadang cukup membuat kita menjadi tegang. Ya, apalagi bagi kaum minoritas seperti umat Buddha yang tidak sampai 1% jumlahnya di negeri tercinta ini. Hal ini kemudian lebih dipersempit lagi dengan klasifikasi berdasarkan ras atau suku.
Terjun ke politik menjadi sebuah batu karang besar yang kelihatannya tidak mungkin ditaklukkan. Jangankan ikut jadi anggota partai, membayangkannya saja sudah bikin cenat-cenut. Ada banyak sekali tantangan untuk terjun berpolitik.
Keluarga mungkin berkata, “Sudahlah. Jadi pengusaha saja. Jangan macam-macam,” atau kalimat sejenis lainnya. Mungkin hanya beberapa orang saja yang berani menghadapi tantangan seperti itu.
Tapi tentu saja hal di atas tidaklah tepat. Pada hakikatnya, berpolitik adalah hak asasi semua warga negara. Politik dapat menjadi cara untuk mengeluarkan aspirasi. Hal yang disayangkan adalah apabila politik dilakukan dengan tidak tepat atau dimotivasi oleh hal yang tidak bijak.
Dengan demikian, politik menjadi tindakan yang bersifat menghancurkan. Ketimbang berkompetisi dengan jujur melalui adu visi-misi-program, politikus akan memainkan peran jahat dengan berusaha menjatuhkan reputasi dan mematikan karir lawannya.
Media massa digunakan untuk memberitakan hal-hal yang tidak pasti. Pemilih menjadi bimbang. Politik hanya dijadikan alat untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pihak tertentu saja, bukan bagi kebaikan orang banyak. Politik semacam ini menyebabkan penderitaan.
Padahal, pengertian politik sendiri adalah (1) segala urusan dan tindakan mengenai pemerintahan atau (2) cara bertindak; kebijaksanaan (KBBI). Di sini, artinya politik berkaitan dengan kepentingan umum suatu negara. Mereka yang berpolitik akan memiliki kewajiban untuk membuat keputusan terbaik bagi masyarakat umum dengan memerhatikan hak-hak bagi kaum marjinal dan minoritas. Pada akhirnya, politik menjadi penting dalam kehidupan sehari-hari (pengertian 2) dan bernegara (pengertian 1). Lantas bagaimana kita menyikapi politik dari sudut pandang agama Buddha?
Ternyata agama Buddha memandang politik sebagai suatu cara bertindak yang sudah ada sejak dulu. Pandangan ini bersifat netral, tetapi sebaiknya politik dilakukan dengan tujuan memberikan kebaikan bagi masyarakat dan memajukan peradaban.
Baca juga: Kain dan Manusia, Identitas Politik dan Agama
Dengan kata lain, politik haruslah progresif. Bahkan, agama Buddha sendiri adalah sebuah pergerakan spiritual-politis yang dilakukan oleh Buddha Gotama ketika melihat suatu sistem yang dianggap perlu untuk diperbaiki. Dengan kebijaksanaannya, Beliau kemudian memberikan pengajaran-pengajaran penting yang membuka wawasan dan pandangan bagi banyak orang pada saat itu.
Pengajaran-pengajaran ini kemudian berkembang dan diterima sebagai sebuah agama baru yang memberikan solusi tidak hanya bagi anggota Sangha dan umat awam, tetapi juga peradaban. Ajaran-ajaran Beliau pun mulai menjadi landasan moralitas bagi umat Buddha.
Menurut Bhante K. Sri Dhammananda (What Buddhists Believe), apabila landasan agama adalah moralitas, kesucian, dan keyakinan; landasan politik adalah kekuatan atau kekuasaan.
Sepanjang sejarah, agama justru sering sekali digunakan oleh mereka yang berkuasa sebagai alat politik untuk melegitimasi tindakan politik mereka. Agama dijadikan alasan untuk berperang, mengadu domba, memberontak, persekusi, maupun penolakan dan penghancuran.
Di sisi lain, agama juga sering kali menggunakan politik sebagai tunggangan untuk memastikan posisinya dalam masyarakat, entah itu dalam mempertahankan dominasinya atau dalam rangka menunjukkan tajinya. Padahal ketika agama bersedia dijadikan sebagai alat politik, maka agama telah kehilangan idealisme moral dan peranannya dalam membimbing masyarakat. Jadi yang benar seharusnya adalah politik dilakukan berlandaskan prinsip-prinsip moral agama.
Bagaimana politik Buddhis seharusnya?
Agama Buddha tidak hanya menekankan pada teori atau Dhamma saja, tetapi juga praktik. Keduanya haruslah seimbang dan saling melengkapi. Ajaran dan praktik Buddhis sendiri merupakan perpaduan unik antara cinta kasih, kebijaksanaan, kesabaran, idealisme, pragmatisme, dan keterbukaan.
Demikian pula ketika kita bersinggungan dengan politik, maka politik harus dilakukan dengan dilandasi prinsip-prinsip di atas. Menurut Buddhadhamma, tidak ada kebenaran atau kebijaksanaan tanpa cinta kasih terhadap semua makhluk. Menurut Dhammapada syair 258:
Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana
Hanya karena ia banyak bicara.
Tetapi orang yang damai, tanpa rasa benci, dan rasa takut
Dapat disebut orang bijaksana.
Demikian pula dalam Dhammapada syair 84:
Seseorang yang bijaksana tidak berbuat jahat demi kepentingannya sendiri ataupun orang lain,
Demikian pula ia tidak menginginkan keturunan, kekayaan, pangkat, atau keberhasilan dengan cara yang tidak benar.
Orang seperti itulah yang sebenarnya luhur, bijaksana, dan berbudi.
Dengan demikian, dalam berpolitik haruslah dilandasi dengan cinta kasih. Cinta kasih ini harus dikembangkan oleh masing-masing individu dalam sebuah kelompok masyarakat. Hal ini penting karena sebaik apa pun suatu sistem politik, semua bergantung pada moralitas individu yang membentuk komunitas. Ini menjadi semacam hubungan saling bergantungan antara individu dan komunitas dalam sebuah sistem politik.
Karena bergantung pada individu, maka penting pula untuk memahami tiga akar kejahatan yang sering disebut dalam ajaran Buddha: kebencian (dosa), keserakahan (lobha), dan kegelapan batin (moha). Tiga akar kejahatan ini harus dikikis dengan praktik cinta kasih, kemurahan hati, dan kebijaksanaan.
Apabila politik masyarakat didominasi oleh tiga akar kejahatan, maka bencana tidak dapat dihindari. Sebaliknya, apabila politik yang ada dalam kehidupan bermasyarakat didominasi oleh cinta kasih, kemurahan hati, dan kebijaksanaan, maka kedamaian dan kemajuan dapat diharapkan terjadi.
Apabila seorang Buddhis ingin terlibat aktif dalam politik, dia tidak boleh menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuasaan politik, maupun menganjurkan mereka yang telah meninggalkan kehidupan duniawi demi menjalankan hidup suci untuk terlibat aktif dalam politik (Bhante Sri Dhammananda).
Sebagai orang yang turut terlibat aktif dalam politik, tentu akan dihadapkan pada kondisi-kondisi saat keputusan harus diambil. Menyikapi hal ini, maka penting dipahami syair Dhammapada 256 sebagai berikut:
Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa,
tidak dapat dikatakan sebagai orang adil.
Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti,
mana yang benar dan mana yang salah.
Selain itu di dalam cerita Jataka, Buddha juga telah memberikan sepuluh aturan menjalankan pemerintahan dengan benar yang disebut Dasa Raja Dharma. Sepuluh aturan ini menjadi ciri bagi seorang pemimpin atau raja yang mengharapkan kedamaian dan perkembangan bagi negaranya. Kesepuluh aturan/syarat ini sebagai berikut:
Dana, memiliki kemurahan hati.
Sila, memiliki moralitas.
Paricagga, memiliki sikap rela berkorban.
Ajjava, memiliki ketulusan hati dan kejujuran.
Maddava, memiliki keramahan dan kelembutan/sopan santun.
Tapa, memiliki kesederhanaan.
Akkodha, bebas dari niat jahat, kebencian.
Avihimsa, mempraktikkan jalan tanpa kekerasan.
Khanti, mempraktikkan kesabaran dan kerendahan hati.
Avirodhana, menghargai pendapat orang lain, tidak mencari pertentangan.
Demikianlah agama Buddha telah memenuhi peranannya dalam memberikan panduan, tidak saja bagi anggota Sangha, tetapi juga bagi umat awam baik itu pemimpin maupun masyarakat umum.
Upasaka Sasanasena Seng Hansen
Sedang menempuh studi di Australia.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara