• Wednesday, 25 April 2018
  • Udiarti
  • 0

Hari-hari ini, ketika warna busana menjadi simbol suatu kelompok. Kelompok dengan busana putih-putih, hitam-hitam, kuning-kuning, merah-merah juga biru-biru, belakangan ditambah pula dengan gambar logo kelompok mereka. Ya, memang benar, warna pun memiliki makna masing-masing.

Suatu kelompok akan memilih warna tertentu untuk mewakili semangat dan visi kelompoknya. Putih misalkan, kelompok A memilihnya karena putih cenderung membawa nuansa suci. Tidak salah memang, warna-warna tersebut juga bertujuan agar masing-masing anggota dapat mengenali kelompoknya, membedakan dari kelompok yang lain.

Nampaknya warna saja belum cukup untuk sekedar mewakili ciri khas suatu kelompok. Maka dibuatlah motif, kotak-kotak misalkan. Motif yang dipilih pun adalah motif yang ngetren dan selalu akan ngetren di kalangan masyarakat, anak muda khususnya. Tapi warna dan motif yang mereka pilih, rasa-rasanya terlalu naif. Hanya cara klise yang disematkan untuk menarik perhatian dan juga massa, jelas dengan tujuan tertentu.

Jika tidak masuk dalam kelompok warna putih atau motif kotak-kotak maka kamu dianggap sesat dan sebagainya. Bukankah hal ini justru memicu adanya pandangan untuk saling membedakan? Bukan lagi sebuah penyampaian ciri khas.

Sungguh, masih terdapat kebahagiaan meskipun hal semacam itu terjadi di Nusantara. Berbagai kain daerah di Nusantara memiliki ciri khas masing-masing yang tidak hanya disampaikan lewat warna dan motif. Ciri khas yang mereka sampaikan bukanlah simbol untuk mengajak yang lainnya agar menjadi pengikutnya.

Kita lebih akrab menyebutnya kain, salah satu ciri khas yang dimiliki Nusantara. Kain di Nusantara tak hanya memiliki warna dan motif yang cukup disebut satu kali, hitam atau putih, bulat atau kotak. Mereka lengkap, mereka cukup rumit namun indah dan membawa pada magnet kedamaian.

Kain, masa lalu dan masa kini.

Ragam kain dari Jawa, Bali, hingga Nusantara bagian Timur diciptakan dengan sudut estetika, nilai-nilai falsafah dan nilai sejarah. Melupakan kain-kain itu sudah cukup sempurna untuk melupakan bangsa kita sendiri. Lalu, bagaimana masyarakat Nusantara masa kini memaknai kain dari negerinya sendiri?

Jika barangkali di tahun 1950 Presiden Soekarno memiliki ide untuk membuat motif “Batik Indonesia” di atas kain mori, sebagai wujud kecintaannya pada persatuan bangsa Indonesia. Atau di zaman yang lebih tua lagi, barangkali 1840. Ada batik Belanda sebagai hasil asimilasi budaya—negara penjajah dan negara terjajah—dengan motif buketan atau bunga-bunga kesukaan para noni Belanda.

Baca juga: Sarung Umat Buddha Nusantara, Hohoho…

Pada masa kini, penggunaan kain di tubuh manusia masih dianggap tua, terlalu tradisi dan tidak mengikuti perkembangan zaman. Kain, baik yang berbentuk sarung maupun lembaran kain hanya muncul untuk kegiatan sembahyang, acara formal macam kondangan, pertunjukan tari, dan memasuki area percandian di Indonesia.

Beberapa orang masa kini yang menyadari nilai tinggi kain Nusantara, turut berburu ke berbagai wilayah di Nusantara, memburu Ulos, Songket, Tenun, Lurik, Poleng, Donggala, Jumputan, juga Batik. Menjadikannya sebagai koleksi sekaligus harta. Sebagian lagi tidak mau memakainya karena terdoktrin kata ribet saat mengenakannya.

Hanya di wilayah asal kain-kain itu saja yang masyarakatnya masih mau mengenakan tanpa pertimbangan yang terlalu bertele-tele. NTT misalkan dengan kain Timor-nya, perempuan-perempuan NTT memproduksi Timor untuk dikenakan sebagai sandang harian juga untuk acara formal. Setidaknya kain di masa kini masih memiliki tempat bagi tubuh manusia.

Kain dan perayaan

Barangkali butuh suatu percikan untuk mendorong kembali semangat memakai kain di Nusantara ini. Kita harus menerima kenyataan bahwa di era ini tak bisa kita sama ratakan agar penduduk Indonesia menggunakan kain untuk kehidupan sehari-harinya.

Memang benar, menjaga akar itu penting tapi memosisikan akar agar luwes pada zaman modern ini jauh lebih penting. Membayangkan sebuah perayaan besar dengan berbagai macam kain Nusantara dikenakan tubuh manusia adalah hal yang begitu damai.

Pada sebuah tempat orang-orang berkumpul, kain sebagai ciri khas bahwa mereka masih manusia Nusantara. Tidak ada warna khusus sebagai simbol individu dari kelompok tertentu. Indonesia pada abad ke-21 ini, orang-orang butuh digiring untuk mempertahankan akar-akarnya.

Motif-motif yang mencerminkan falsafah juga kisah-kisah dari Nusantara berkumpul menjadi satu buku yang tidak akan pernah bosan dibaca. Kain dengan kualitas terbaik dan terburuk sekali pun tak jadi kekawatiran ketika memakainya.

Maka tidak akan ada lagi omongan-omongan ini umat mana dan pimpinan siapa. Yang terlihat di sana adalah segerombol orang Indonesia dengan estetika kain di tubuhnya. Tak perlu kita terpaku pada satu warna atau satu motif tertentu agar tidak diabaikan oleh yang lainnya.

Udiarti

Penulis fiksi dan penari. Saat ini sedang menumpang hidup di Jakarta.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *