• Sunday, 29 April 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Kapan Nadine ke sini?” tanyaku. “Minggu depan Oma,” kata Nadine. “Oke, Oma tunggu minggu depan. Oma akan masak mi goreng seafood kesukaan Nadine,” kataku. “Sampai ketemu Minggu depan…” aku menutup pembicaraan telepon. “Bye bye Oma…” balas Nadine.

Nadine adalah cucuku dari putra pertama kami. Nadine berjanji akan berkunjung ke sini hari Minggu, minggu depan. Tentu saja Nadine akan datang bersama papa dan mamanya.

Waktu memang sangat cepat berlalu. Rasanya baru saja aku mengundurkan diri dari perusahaan tempatku bekerja. Mengundurkan diri karena kejenuhan yang luar biasa setelah 25 tahun bekerja, juga karena kondisi perusahaan yang mulai tidak sehat.

Aku ingin jadi ibu rumah tangga secara penuh. Mengurus kedua putraku, mengurus suamiku. Mulanya aku bisa menikmati status baruku sebagai ibu rumah tangga. Aku bisa santai menyaksikan televisi, sinetron, FTV, aneka acara gosip, mencoba memasak aneka menu, atau mencoba membuat aneka camilan.

Baru sekitar 2 minggu, aku sudah merasa jenuh. Bagi aku yang terbiasa bekerja, ada kesibukan dari pagi hingga sore dan bertemu dengan banyak teman, tampaknya resign bukanlah pilihan yang tepat, batinku.

Aku minta izin suamiku untuk kembali bekerja. Suamiku menyerahkan sepenuhnya keputusan padaku. Mau kerja lagi boleh, tetap jadi ibu rumah tangga pun oke. Aku mencoba memasukkan lamaran via situs lowongan kerja online.

Dengan pengalaman kerja 25 tahun dan aku melamar kerja untuk jabatan staf accounting, tidak butuh lama untuk mendapat panggilan. Aku dihubungi seorang wanita yang mengatakan ia mendapat nomorku dari lamaran yang aku masukkan. Wawancara singkat dilakukan via telepon, dan aku langsung diminta datang ke kantornya.

Aku diwawancara lagi. Ina, begitu nama wanita itu. Ibu Ina bertanya apa alasanku melamar kerja jadi staf padahal posisi terakhirku di sebuah perusahaan besar sudah asisten manajer accounting. Ia juga bertanya mengapa aku dulu berhenti kerja dari perusahaan sebelumnya.

Akhirnya Ina mengatakan ia merasa aku cocok untuk mengisi lowongan staf accounting di perusahaan itu. Iya, aku akhirnya terbiasa memanggil namanya saja karena usianya jauh di bawah usiaku.

Kata Ina, ia ragu untuk menyebutkan jumlah gajiku. Aku bilang sebut saja, akan aku pertimbangkan. Akhirnya aku terima pekerjaan itu meski gaji yang diberikan tak sampai 50% gajiku di tempat lama.

Gaji kecil, tapi kerja relatif santai, itu yang ada di benakku. Tidak dalam tekanan yang besar seperti di perusahaan sebelumnya. Yang penting, aku punya kesibukan dari pukul 08.00 hingga 17.00, Senin hingga Jumat.

“Ma, kok melamun…?” sapa suamiku. “Oh… tidak kok,” jawabku. “Mama sedang nonton sinetron,” aku berbohong. “Papa mau pergi ke rumah Pak Thomas sebentar,” kata suamiku. “Pak Thomas sedang sakit. Mama mau ikut?” tawar suamiku. “Nggak ah… sinetronnya belum selesai,” aku beralasan.

Suamiku pergi ke rumah Pak Thomas, teman ngobrolnya yang juga tinggal di kompleks perumahan ini.

Hmmm… sampai mana tadi lamunanku sebelum disapa suamiku. Aku mengalihkan perhatianku dari layar televisi. Memang aku tidak sedang menyaksikan sinetron yang ditayangkan. Mataku ke layar televisi, tapi pikiranku melayang ke masa lalu.

Ini gara-gara Nadine, cucuku yang menelepon. Nama Nadine mengingatkanku pada  nama teman sekelas anak sulungku saat SD dulu. Gara-gara nama cucuku ini, pikiranku mengembara ke masa lalu.

Pikiranku kembali memasuki lorong waktu. Kembali ke masa lalu, mengingat semua kenangan manis dan pahit yang pernah aku alami. Aku melanjutkan lamunanku…

Pengalaman bekerja sebagai staf accounting di PT Inti Niaga Berkarya itu adalah pengalaman yang sangat unik dan tak terlupakan. Bekerja di perusahaan besar dengan banyak anak perusahaan. Salah satu anak perusahaannya adalah hotel jaringan internasional, tapi manajemennya sangat di luar dugaan.

Pembukuannya masih dikerjakan secara manual, bukan dengan program akuntansi yang canggih seperti tempat kerjaku yang sebelumnya. Aku sebagai staf tapi ditugaskan Ina untuk mengurus pembukuan hotel, yang bukan background kerjaku sebelumnya, dan banyak sekali istilah dalam pembukuan hotel yang masih asing bagiku.

Aku ditugaskan melanjutkan pekerjaan Ina, sementara Ina menangani proyek baru. Saat aku bertanya ke Ina tentang hal yang belum kumengerti, jawabannya lucu, cari saja dengan bantuan Google, saya juga dulu seperti itu, katanya.

Kelucuannya bukan hanya sampai di situ. Ternyata gaji yang akan aku terima semuanya sudah all in. Tak ada uang makan, tidak ada fasilitas BPJS, tak ada uang lembur, juga tidak ada jatah cuti. What???

Intan, teman SMA-ku tak percaya saat aku cerita. “Kamu mengerjakan pembukuan hotel berbintang dengan fasilitas tak berbintang?” katanya tak percaya. “Bener. Kalau kamu lihat peralatan kerjaku, kamu pasti tertawa,” kataku pada Intan. “Emang seperti apa?” tanya Intan penasaran. “Meja kerjaku tanpa laci, kayak meja makan. Tempat pulpenku dibuatkan Ina dengan kardus bekas, dan mouse pad-ku juga buatan Ina. Mouse pad-ku terbuat dari karton bekas kemasan susu lalu dlapisi lakban,” jawabku sambil tertawa.

“Kok masih bekerja?” tanya Intan. “Tanggung, masa’ kerja hanya 3 hari? Rencanaku sampai satu bulan saja. Terima gaji, pamit deh,” jelasku pada Intan.

“Setiap hari, fakta-fakta mengejutkan ini terus bermunculan.  Aku berangkat kerja  diantar suami, tapi pulang terpaksa naik mobil ojek online. Untuk transport dan uang bensin saja, kurang lebih satu juta rupiah per bulan,” curhatku pada Intan.

Hidup ini memang serba tidak pasti, tapi kematian pasti. Kematian bisa datang kapan saja. Baru seminggu aku bekerja, suami kakak angkatku meninggal. Aku memutuskan menemaninya hingga ia dapat melewati masa berkabung. Lewat WA aku pamit ke Ina. Aku mengundurkan diri. Jika kerjaku selama seminggu diapresiasi, silakan transfer ke rekeningku yang sudah kuberikan pada hari kerja pertama.

WA-ku dibaca tapi sama sekali tak ada balasan. Ucapan duka cita pun tidak ada. Kejadian ini membuatku semakin mengenal sifat orang di dunia ini. Dalam laut dapat diduga, dalam hati tidak ada yang tau. Tak bisakah berbasa-basi menjawab WA dengan 2 huruf saja? Cukup balas: OK.

Jawab WA dengan 2 huruf pun tidak bisa, boro-boro berharap akan ada transfer uang ke rekeningku, minimal pengganti biaya mobil ojek online. Hmmm… sama dengan mengharap agar mantan pimpinanku dulu tidak memaki dan tidak mengeluarkan kata “Goblok…” saat menerima telepon dari bawahannya. Percuma.

Dhamma mengajari aku untuk selalu belajar memahami orang lain. Jangan mengubah orang lain, karena itu sulit dilakukan. Mengapa kita tidak ubah persepsi kita agar semua terlihat indah. Bersahabat dengan dunia di luar sana, begitu kalimat populernya.

Kita tidak bisa mengubah cuaca hujan menjadi tidak hujan, tapi kita tetap bisa beraktivitas di saat hujan dengan bantuan payung atau jas hujan. Kita tidak bisa mengubah arah angin, tapi kita bisa mengubah posisi layar agar perahu kita bisa bergerak ke arah yang kita tuju.

Aku tidak bisa mengubah Ina, yang di usia ke-5 pernikahannya belum juga dikaruniai buah hati itu untuk ramah dan berbasa-basi membalas WA-ku dengan kata OK, atau turut berduka cita, atau berterima kasih.

Aku harus bisa memahami sifatnya memang begitu. Ina sangat memelas saat memintaku untuk menerima pekerjaan itu meski gajinya kecil. “Terima ya Ci? Bantu saya ya? Kemampuan Cici sangat dibutuhkan,” katanya saat wawancara. Sangat manis saat membutuhkan tenagaku.

Jangan kaget, inilah dunia. Seribu satu macam karakter manusia ada di dunia ini.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *