Kukeluarkan kunci dari saku celana. Kubuka kamar tidurku. Kamar ini masih seperti 10 tahun lalu. Tidak banyak yang berubah. Susunan meja, kursi, dan lemari pakaian, sama persis seperti saat kutinggalkan. Sprei yang menutupi kasur, masih sprei yang dulu pernah kupakai.
Mama memang telaten merawat kamar yang telah kutinggalkan. Kamar ini tidak tampak seperti ruang yang pernah ditinggalkan selama 10 tahun. Lantai masih bersih, sprei bersih, meja tidak berdebu. Pasti selalu dibersihkan.
“Ibu sedang ke pasar, lalu akan mampir ke rumah temannya,” kata Bi Yati, pembantu kami. “Biar saya telepon Ibu supaya segera pulang,” kata Bi Yati. “Tidak usah Bi. Hari ini saya akan menginap di sini beberapa hari. Ada banyak kesempatan ngobrol dengan Mama,” jawabku. “Biar saja Mama ngobrol dulu dengan temannya’” lanjutku. “Baik Den Kevin. Mau dibuatkan kopi?” tanya Bi Yati. “Tidak usah Bi, terima kasih,” kataku. “Sekarang saya mau beres-beres kamar saya,” jawabku. Bi Yati pamit untuk melanjutkan pekerjaannya.
Kali ini aku memang sengaja tidak memberitahu Mama tentang kedatanganku. Biasanya aku memberitahu Mama jika aku dapat tugas ke kota kelahiranku ini. Mama pasti akan masak makanan kesukaanku. Semua makanan kesukaanku pasti tersedia di meja.
Selama 10 tahun ini, tak sekali pun aku menginap di sini jika sedang dapat tugas kantor. Bukan aji mumpung, mumpung biaya hotel dibayar kantor. Aku tidak mau semua kenangan pahit masa lalu kembali menggoreskan luka.
Biasanya Mama dan Papa akan ke rumah adik Mama. Kami kumpul di sana. Atau kami sekeluarga seharian di luar rumah. Main ke mal atau ke tempat wisata. Rumah ortuku adalah rumah bersejarah, ortuku tidak mungkin menjualnya dan pindah ke tempat lain. Semua kenangan indah ada di rumah itu. Tapi, bagiku, rumah itu merupakan tempat yang memberikan kenangan buruk yang tak terlupakan.
Aku membuka lemari pakaianku. Satu persatu barang kukeluarkan. Barang yang menyimpan kenangan pahit masa lalu, akan kusumbangkan ke panti asuhan.
Saat melihat barang-barang yang ada hubungan dengan mantan kekasihku, semua kenangan masa lalu, kembali hadir dalam ingatanku. Sulit sekali aku melupakannya, walau sepuluh tahun sudah berlalu.
* * * * *
“Kevin, bagaimana akhir dari perjalanan cinta kita?” tanya Kanaya, yang biasa kusapa Aya.
“Aku juga belum tau,” jawabku. “Semua cara sudah kulakukan, tapi tidak ada hasil yang signifikan,” aku menerawang jauh. “Aya percaya Kevin ‘kan?” tanyaku. Aya mengangguk.
Tapi persoalan kami seolah tanpa solusi. Kami berbeda keyakinan. Orangtua kami sudah tau aku dan Aya berpacaran. Ortuku menyerahkan semuanya kepadaku. Ortu Aya hanya memberi pilihan: aku pindah keyakinan untuk menikahi Aya atau putus.
Kami berdua punya solusi, menikah tapi tetap jalankan keyakinan masing-masing. Kami siap menjalani semua konsekuensinya. Tidak mudah memang, tapi ini satu-satunya jalan agar kami bisa bersatu. Kami berdua adalah orang yang toleran. Tidak ada masalah aku mengantarkan Aya ke tempat ibadahnya, bantu menyiapkan perayaan hari besar agamanya, apa pun akan kulakukan. Aya pun demikian.
Tapi jalan buntunya dari pihak ortu Aya. Aku harus pindah keyakinan untuk menikahi Aya, jika tidak, putus!
Sore itu, aku berkemas untuk pindah. Aku diterima kerja di Kota Yogyakarta. Saat akan pindah, hubungan kami masih baik-baik saja. “Aya, aku janji akan memberi kepastian 6 bulan ke depan,” kataku pada Aya. “Semoga ada jalan keluarnya,” kataku pada Aya.
Aya bersikap biasa. Ceria dan masih sempat bercanda seperti biasanya. “Awas kalau Kevin kecantol cewek lain di Yogya. Ingat ya, Aya tetap menanti Kevin di sini… Semoga karier Kevin bagus,” kata Aya. Aya juga bantu membereskan barang-barang yang akan aku bawa. Ia menyiapkan pakaian yang akan kubawa, menatanya ke dalam koper. Aya juga mengantarku sampai ke stasiun kereta api.
Sebelum aku naik ke kereta, Aya memberiku sepucuk surat. “Baca kalau sudah sampai di Yogya ya?” pesan Aya. “Janji ya…?” kata Aya. “Iya…” jawabku. Saat itu terdengar pengumuman kereta api segera akan berangkat. Aku memeluk Aya, “Selamat tinggal sayang… Tunggu 6 bulan lagi. Kevin akan datang dan memberikan jawaban,” kataku. “Selamat jalan Kevin, sukses selalu…” kata Aya. Matanya berkaca-kaca. Saat kereta mulai berjalan, Aya melambaikan tangan, lalu memberikan kecupan jarak jauh…
Aku sama sekali tidak punya firasat buruk bahwa itu adalah pertemuan terakhirku dengan Aya. Setiba di Yogya, aku mendapat telepon dari Kak Rina, kakak perempuan Aya yang mengabarkan Aya meninggal dunia.
Aya bunuh diri, itu kata Kak Rina. Keluarganya mengikhlaskan kepergian Aya. Aya meninggalkan sepucuk surat ke Kak Rina. Intinya, Kevin tidak bersalah. Kepergian Aya adalah keputusan Aya sendiri. Aya merasa tidak akan kuat jika nanti Kevin memutuskan mereka harus berpisah. Aya tidak kuat ditinggalkan, maka Aya pilih untuk pergi meninggalkan Kevin. Aya minta maaf kepada semuanya.
Sepuluh tahun sudah berlalu. Kehidupan terus berjalan. Aku menemukan Keiko 2 tahun lalu, ia punya dua kesamaan dengan Aya. Aku sudah berpikir dan sampai pada kesimpulan, aku mencintai Keiko karena semua sifatnya. Memang mereka punya dua kesamaan, sama-sama sangat perhatian dan tidak suka dandan. Aku yakin, aku benar-benar mencintai Keiko, bukan pelarian.
Aku juga masih berhubungan dengan Kak Rina. Kak Rina selalu mendorongku untuk mencari pacar dan menikah. “Jangan terus larut dalam kesedihan. Aya sudah tenang di alam sana, Aya pun tidak ingin melihat Kevin terus-menerus bersedih.”
Hari ini aku dapat cuti. Aku ingin membereskan kamarku. Membuang semua kenangan masa lalu. Aya tetap ada di hatiku. Tapi aku pun tak ingin melukai hati Keiko bila menemukan surat, diari, foto, atau hal lain yang mengingatkanku pada Aya. Aya dan Keiko, kalian berdua adalah orang spesial di hatiku.
Catatan:
Cerita ini hanyalah kisah fiktif, jika ada kesamaan, itu kebetulan saja.
Buat yang mulai dekat dengan lawan jenis yang berbeda keyakinan, pikirkan masak-masak sebelum sampai Anda jatuh cinta padanya. Ada banyak sekali halangan di depan sana. Siapkah Anda dengan problema yang akan Anda hadapi? Jangan memberi harapan jika Anda tidak yakin dapat menepatinya.
Ilustrasi: Agung Wijaya
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara