• Tuesday, 2 June 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Serial Drama Korea The World of the Married (부부의 세계) sukses memecahkan rekor menjadi drama terlaris dalam sejarah pertelevisian Korea. Drakor ini tayang sejak 27 Maret hingga 16 Mei dengan total 16 episode.

Tak hanya di Korea Selatan, drakor ini juga menyabet kesuksesan di mancanegara berkat plotnya yang menarik dan akting para pemerannya yang tak main-main. Drama ini juga berhasil menyuguhkan alternatif cerita yang dinilai lebih real ketimbang sekedar drama percintaan saja.

Drama ini fokus pada kehidupan dr. Ji Sun Woo yang bekerja di RS Cinta Keluarga di kota Gosan. Dia memiliki seorang suami bernama Lee Tae Oh dan putra remaja bernama Lee Joon Young. Semua tampak sempurna sampai akhirnya Sun Woo menemukan bukti-bukti perselingkuhan suaminya dengan gadis muda.

Intrik dan konflik terjadi sepanjang serial yang mungkin memainkan emosi para penontonnya. Selain itu, terdapat pula beberapa pelajaran hidup yang bisa kita petik dari serial drakor ini.

1. “Semua yang kudekap erat tidak berharga. Saat aku menyadarinya, semua sudah terlambat.” – dr. Sun Woo

Kutipan ini terjadi pada episode terakhir dari drakor ini. Itu adalah saat terakhir Sun Woo melihat putranya yang kemudian kabur meninggalkan kedua orang tuanya. Kata-kata Sun Woo menyiratkan rasa penyesalan mendalam atas apa yang sudah dilakukannya.

Selama ini dia selalu berusaha keras untuk dapat menjaga keutuhan rumah tangganya, menjaga harga dirinya, menjaga apa yang dia anggap berharga. Tetapi semuanya sia-sia. Demikian pula dari sudut pandang Ajaran Buddha.

Kita selama ini cenderung menganggap harta, harga diri, maupun orang-orang terdekat sebagai hal yang paling berharga dalam kehidupan kita. Kita menjaga hal-hal tersebut dengan sangat erat dan cenderung tak mampu melepaskannya.

Untuk itu, Buddha mengajarkan kita tentang ketidakmelekatan (nekkhamma). Dalam ajaran Buddha, kemelekatan adalah akar penderitaan. Sebab pada kenyataannya kita tidak memiliki kendali atas apapun di luar kita. Hanya dengan berlatih melepaslah baru kita akan menemukan kedamaian batin.

Kita berhenti dikendalikan oleh nafsu keinginan maupun emosi kita. Kita tidak menuntut banyak hal dan justru lebih merasa puas dengan keadaan yang ada. Dan kita juga mampu merelakan kehilangan apabila memang sudah waktunya.

2. “Penampilan tidak menunjukkan keseluruhan ceritanya, tapi aku memang sempat lebih baik. Tapi aku sadar aku tidak bisa sendiri hanya karena aku sudah berusaha keras. Saat bersantai hidupku malah mendatangkan masalah. Hidup adalah kegelisahan terus-menerus, bukankah begitu dokter?” – Pasien Ha

Ucapan pasien Ha kepada dr. Sun Woo ini mengingatkan kita pada salah satu inti dari Ajaran Buddha – bahwa hidup itu sendiri adalah penderitaan (dukkha). Kebenaran ini bahkan menjadi kebenaran pertama dari Empat Kebenaran Mulia yang menjadi trademark Ajaran Buddha.

Tak ada yang dapat mengelak pernyataan kebenaran ini. Hidup memang pada dasarnya adalah kegelisahan terus-menerus. Kita tidak benar-benar bisa memastikan keinginan kita terus terpenuhi, terus bahagia. Oleh karena segalanya bersifat tidak kekal, selalu berubah (anicca), kita menjadi menderita.

Menyadari kebenaran ini membantu kita untuk mengetahui penyebab penderitaan (samudaya), akhir penderitaan (nirodha), dan cara untuk mengakhiri penderitaan (magga) sebagaimana yang diajarkan oleh Buddha.

3. “Kamu tidak bisa berharap dia mengerti setelah kamu melukainya.” – dr. Ma

Ini berkaitan erat dengan prinsip buddhis untuk tidak melukai makhluk lain apalagi sesama manusia (ahimsa). Untuk itu, ajaran Buddha menekankan pentingnya praktek mengembangkan cinta kasih (metta) baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

Apabila kita melukai seseorang, kita akan menerima buah karma darinya. Entah dalam bentuk penolakan orang yang telah kita lukai itu terhadap kita atau dalam bentuk lainnya.

4. “Itu kehidupan singkat yang kamu jalani untuk dirimu sendiri. Orang-orang tidak tertarik pada penderitaan orang lain.” – Pasien Ha

Hidup itu singkat dan tidak pasti. Yang pasti adalah kematian. Oleh karena itu kita diharapkan dapat melaluinya dengan bijaksana. Pada kenyataannya, banyak orang yang tidak memedulikan kehidupan orang lain, penderitaan seperti apa yang mereka alami.

Ajaran Buddha menganjurkan kita untuk menumbuhkan simpati dan kasih sayang kepada mereka yang sedang menderita (karuna). Menjadikannya sebagai lahan untuk berbuat kebaikan.

5. “Tetap saja, bukankah lebih baik tidak berbuat apapun dan membiarkan segalanya mengalir dengan sendirinya? Apapun hubungan itu, orang-orang akan terluka jika mereka terlalu memaksa. Kuharap itu tidak ada lagi. Aku yakin kamu sudah cukup merasakannya.” – Ny. Mago

Ini adalah ucapan istri Chairman Choi kepada dr. Sun Woo saat dia berhasil kembali dan memenangkan pertempuran berdarah-darah. Disini kita belajar bagaimana seseorang bisa menjadi begitu bernafsu untuk memenuhi ambisinya sendiri sehingga justru menyebabkan banyak penderitaan sebagaimana yang dialami Sun Woo.

Ajaran Buddha menjelaskan penderitaan muncul bila seseorang dipenuhi oleh lobha (keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (delusi) yang membawa pada perbuatan-perbuatan buruk (akusala). Sayangnya ketiga akar ini sering muncul dalam hubungan antar sesama manusia, apalagi antara para pasangan yang selalu bertemu satu sama lain setiap harinya.

Dibutuhkan pengembangan upekkha (sikap tenang seimbang) sehingga kita dapat memberikan pertimbangan yang lurus dan tepat tanpa perlu memaksa dalam sebuah hubungan.

6. “Hidup tidak bisa selalu manis. Tergantung bagaimana kamu bisa bertahan, itu saja. Maka kamu akan menemukan beberapa hari yang cerah. Begitulah waktu berlalu.” – dr. Ma

Memang benar hidup itu penderitaan. Hidup itu tidak selalu manis dan selalu diluar kendali kita. Untuk itu, ajaran Buddha menganjurkan kita untuk melalui kehidupan ini dengan sebaik-baiknya.

Kita dapat melakukan banyak perbuatan baik dan menumbuhkan kesadaran tentang kebenaran sejati. Kita dapat bertahan dengan berjalan di Jalan Mulia Berunsur 8. Mempraktekkan sila dan samadhi serta mengembangkan panna menjadi cara kita untuk mengatasi munculnya penderitaan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *