Hidup manusia memang dipenuhi bencana. Penderitaan kerap kali mengikuti, setelah bencana terjadi. Bencana yang menimpa Lombok dan Bali jelas merupakan hal menyedihkan yang menciptakan banyak penderitaan. Bagaimana kita memahami semua ini?
Pemikir asal Jerman, Viktor Frankl, berpendapat, bahwa segala bentuk penderitaan bisa dijalani, jika orang memiliki makna dalam hidupnya. Makna ini bisa berupa keluarga, nilai-nilai kehidupan atau Tuhan. Namun, bencana yang begitu menyakitkan kerap kali membunuh semua makna yang ada. Orang justru jatuh ke dalam rasa putus asa.
Dari kaca mata semesta, sebenarnya tidak ada bencana. Manusia yang menamai sebuah peristiwa sebagai “bencana’. Di mata semesta, yang ada hanyalah perubahan dari saat ke saat. Dengan memahami ini, kita sebenarnya sudah bisa mengurangi penderitaan yang ada, ketika bencana tiba.
Jantung hati Zen
Zen bergerak lebih jauh. Inti utama Zen adalah memahami jati diri kita yang asli. Jati diri ini terletak sebelum segala pikiran dan emosi. Ia adalah kesadaran diri (self-awareness) yang menjadi dasar bagi segala pikiran maupun emosi yang datang dan pergi.
Jalan paling cepat untuk sampai pada kesadaran diri ini adalah penyelidikan diri (self-enquiry), yakni dengan bertanya terus menerus “siapa saya?” (who am I?) Pertanyaan tersebut tidak dijawab dengan menggunakan pikiran, misalnya dengan mengacu pada nama atau beragam identitas sosial lainnya. Pertanyaan itu sendiri adalah jawabannya. Ia menunjuk langsung ke jati diri kita yang sebenarnya.
Baca juga: Menjadi Pemula: Keutamaan Zen Tertinggi
Jati diri kita yang sejati, sebenarnya, tidak mempunyai nama. Beberapa tradisi menyebutnya sebagai Buddha Nature. Beberapa tradisi menyebutnya sebagai Atman. Namun, sejatinya, ia tidak punya nama, karena ia berada sebelum pikiran dan konsep.
Zen dalam bencana
Ketika orang mengenali diri sejatinya, ia menjadi jernih. Ia lalu bisa melihat keadaan sebagaimana adanya (correct situation). Ketika kebahagiaan datang, ia sekedar bahagia. Ketika penderitaan dan bencana datang, ia pun sekedar menderita.
Kemampuan memahami keadaan juga bisa terus dikembangkan dengan hidup berkesadaran dari saat ke saat (mindful living). Ketika makan, arahkan perhatian sepenuhnya pada tindakan makan. Ketika berjalan, arahkan perhatian sepenuhnya ke tindak berjalan. Semua hal dilakukan dengan kepenuhan hati dari saat ke saat.
Namun, Zen tak berhenti disitu. Langkah kedua adalah melihat hubungan dengan keadaan yang terjadi (correct relation). Misalnya, dalam keadaan bencana, apa peran yang bisa kujalani? Apa yang bisa kulakukan pada detik ini, sehingga bisa mengurangi penderitaan yang ada?
Langkah ketiga adalah melakukan apa yang diperlukan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik. Inilah yang disebut sebagai fungsi yang tepat (correct function) di dalam Zen. Mungkin, kita tak bisa menghentikan atau mencegah bencana. Namun, kita selalu punya kekuatan untuk membuat keadaan menjadi lebih baik bagi mereka yang menderita, walaupun itu kecil. Tingkat pencerahan tertinggi di dalam tradisi Zen adalah kejernihan berpikir untuk menolong semua mahluk hidup dari saat ke saat.
Pada akhirnya, di dalam hidup, kita tidak bisa mengontrol semua hal. Sebagian besar peristiwa terjadi di luar kuasa kita, misalnya bencana alam. Namun, kita selalu punya kekuatan untuk menolong sekitar kita, sesuai dengan kemampuan yang kita punya. Tindak menolong ini didasarkan pada kejernihan pikiran, dan bukan ego yang suka pamer. Inilah yang perlu kita lakukan dari saat ke saat.
Reza A.A Wattimena
Pelaku Zen, tinggal di Jakarta
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara