• Thursday, 28 May 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Sering kali kita merasa stress untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu kita hiraukan. Bagi seorang pelajar misalnya, merasa stress karena khawatir mendapat nilai ujian yang jelek. Atau bagi seorang pekerja yang terkini merasa stress karena mendapat pemotongan gaji akibat WFH dampak dari Covid-19.

Semua kekhawatiran dan stress ini terus memupuk dan menumpuk hingga pada akhirnya mempengaruhi tidak saja kesehatan jasmani kita, tetapi juga kesehatan mental kita.

Makanya tak jarang lagi kita mendengar berita pelajar yang bunuh diri karena menganggap dirinya gagal. Bahkan ada berita yang menyampaikan kabar pembunuhan oleh seorang pelajar kepada orang tuanya karena tertekan.

Pun berita bahwa banyak orang yang akhirnya terjerumus melakukan perbuatan jahat karena kepepet tak dapat penghasilan. Semua ini sudah menjadi berita yang saban hari semakin sering kita dengar.

Rasa-rasanya, akar dari semua rasa stress itu tak lain dan tak bukan adalah nafsu keinginan kita. Kita cenderung ingin sukses, ingin maju, ingin ini dan ingin itu.

Banyak sekali! Tetapi kita tidak sadar bahwa keinginan-keinginan itulah bentuk dari nafsu keinginan yang setiap hari kita pupuk dan latih sehingga menebal. Akibatnya, kita menjadi menderita bila keinginan kita tidak tercapai.

Kembali ke contoh tadi. Pelajar itu merasa stress karena dia ingin dapat nilai terbaik pada ujiannya. Pekerja itu merasa stress karena dia ingin dapat penghasilan lebih meski dunia sedang dalam kondisi sulit. Ini adalah keinginan-keinginan kita yang sayangnya sering dikondisikan dengan hal-hal diluar kendali kita.

Siapa yang tahu bentuk soal ujiannya? Siapa pula yang tahu bahwa wabah Covid-19 akan merebak? Ada banyak sekali faktor-faktor diluar kendali manusia yang menghambat terwujudnya keinginan kita. Akhirnya kita menderita.

Tapi untungnya kita mengenal ajaran Buddha. Ajaran ini menitikberatkan kita untuk mengenali akar penderitaan kita dan berlatih untuk mengurangi atau bahkan melenyapkan akar tersebut – nafsu keinginan atau tanha.

Lagian, bukankah yang bisa benar-benar kita latih dan kendalikan adalah nafsu keinginan kita sendiri. Itulah tugas kita – berlatih mengendalikan dan melenyapkan nafsu keinginan kita sendiri.

Sama halnya dengan contoh di atas. Tugas pelajar adalah mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan belajar. Tugas pekerja adalah bekerja dengan sungguh-sungguh. Tak perlu menghiraukan hal lain yang bukan menjadi tugas kita.

Saya teringat pada salah satu perumpamaan yang disampaikan oleh Ajahn Chah – guru meditasi Thailand yang terkenal. Beliau berkata, “Tugas Anda adalah untuk menanam pohon, menyiraminya, dan memberinya pupuk, itu saja. Apakah pohon itu akan tumbuh cepat atau tumbuh lambat, itu bukan tugas Anda. Itu adalah tugas dari pohon itu.

Anda dapat berdiri mengeluh tentang itu sampai pada hari kematian Anda, tetapi masih pohon itu tidak sampai pada apa yang Anda inginkan. Kemana kah pikiran kita pergi? “Mungkin tanah disini tidak subur.” Sehingga Anda mencabut pohon itu, lagi dan lagi, sampai pada akhirnya mati.

Kenapa Anda menginginkan pohon itu tumbuh cepat? Keinginan agar pohon itu tumbuh cepat adalah nafsu keinginan. Keinginan agar pohon itu tumbuh lambat adalah nafsu keinginan.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *