Je moet om te doovoelen dat bet leven een is.
Ti Alles is in dat Ene. En dat leaven is juist in joy ontboud dat.
Alles is in Joy. En jij, je bent in alles.
Engkau harus belajar untuk merasakan bahwa kehidupan adalah satu. Semua berada dalam yang satu ini dan kehidupan itu adalah justru terdapat dalam dirimu. Ingatlah itu. Segala-galanya adalah dalam dirimu. Dan kau berada dalam segala-galanya.
Mendengar nama Victor Alexander Liem, saya langsung tahu, ada unsur Tionghoanya. Saat itu tahun 2015, saya diminta berkenalan dengannya. Menurut sahabat saya, Ko Victor itu mendalami budaya Jawa. Sekali lagi, menurut versi sahabat saya, katanya saya bakalan nyambung jika bisa berkomunikasi. Lantas, saya lihat facebook-nya Ko Victor, hmmm, boleh juga. Selesai sampai di situ, saya tidak punya akun dan malas bikin akun sosmed.
Dunia itu sesempit daun kelor, itu peribahasa saya sendiri. Ternyata tahun 2016, saya “terpaksa” menghubungi Ko Victor karena kala itu di BuddhaZine sedang membutuhkan tulisan tentang Patung Kwan Kong yang sedang geger di Jawa Timur, nah tulisannya yang ada di fb, saya mohon izin untuk kami naikkan di web.
Eh, taunya itu bukan tulisannya Ko Victor, kemudian, saya direkomendasikan untuk menghubungi penulis aslinya. Lantas dengan Ko Victor beberapa kali bertukar pendapat mengenai masalah budaya khususnya budaya Jawa.
Dari pembicaraan tersebut, kami membuat semacam perkumpulan, dengan nama Kerajaan Ubur-ubur, tetapi karena ada firasat kurang baik, maka nama tersebut kami urungkan dan perkumpulan kami ubah ke nama Aksara, apa saja yang dibahas? Budaya.
Dari waktu ke waktu, perkumpulan ini memunculkan penulis-penulis baru dengan penguasaan bidang yang berbeda-beda. Banyak diskusi tentang perkembangan masyarakat terkini, kemudian dituangkan dalam tulisan yang komprehensip. Eh, kadang mbahas tentang betapa pedihnya jadi jomblo juga sih.
Kembali ke soal Ko Victor. Ya, bagi saya orang Solo, Ko Victor ini agak unik. Kok bisa? Lha iya, misalkan nih, misalkan, saya disuruh menjelaskan tentang apa makna sesaji sedulur papat limo pancer, apa maknanya? Itu sudah cukup bikin saya kelabakan menjelaskannya.
Falsafah luhur
Nah, Ko Victor, ini bisa menjelaskannya dengan gamblang, cetho welo-welo. Pertanyaan selanjutnya, Lha Ko Victor ini orang Tionghoa, kok saya sendiri yang orang Jawa, mbhelgedes malah ndak ngerti apa-apa tentang falsafah budaya Jawa ini bagaimana? Padahal falsafah-falsafah Jawa itu amat sangat banyak yang bersesuaian dengan agama Buddha.
Tulisan Ko Victor, banyak mengisi di BuddhaZine tentang budaya, sesuatu yang menurut saya masih sangat jarang, apalagi di kancah umat Buddha. Umat Buddha itu kekurangan penulis, apalagi penulis budaya. Bisa disimpulkan, Ko Victor adalah sebuah, emmm… manusia langka. Ya, langka, ia salah satu mutiara Dharma.
Tulisannya sederhana, ringkas, namun kaya dengan falsafah adi luhung, plus… ini yang paling penting, bisa diterapkan dalam keseharian, jadi istilahnya konkret! Nyata.
Suatu saat, saya pernah tanya. Dulu cita-citanya jadi apa to Ko? Jawabnya, jadi dosen Mas. Tapi cita-cita itu sudah tak terkejar. Lantas, saya menyela, lha memang kalau menulis itu tidak bisa mengajar? Berapa banyak dosen yang ndak bisa nulis? Njenengan sudah melampaui dosen. Berbagi ilmu pada masyarakat dengan menulis.
Kamis, 30 Agustus ini, izinkan saya mewakili kerabat kerja BuddhaZine mengucapkan, selamat bertumbuh dalam keindahan, teruslah berbagi falsafah-falsafah leluhur di tanah ini untuk hati yang senantiasa mekar.
“Memayu ayuning urip, Memayu ayuning awon” ~ RMP Sosrokartono.
Penggemar dangdut, seorang Vianisty tapi bukan pembenci Nella Lovers.
Mengurusi band yang sama sekali tidak ndangdut. Motto hidup, “Opo kowe kuat dadi aku?”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara