• Sunday, 27 May 2018
  • Maharani K
  • 0

Aku tuh sedih, marah, dan kecewa banget, mamaku nggak perhatian ama aku, kakak aku pergi-pergi terus tiap malem, papaku lebih sayang ama kakakku daripada sama aku, pacarku juga sering nyuekin aku dan sibuk sendiri, terus temen-temenku juga selalu ngebully aku karena barang-barangku nggak branded. Oh my God, sial banget sih hidup aku…”

Pernah nggak Anda menemui orang-orang seperti ini dalam kehidupan sehari-hari?

‘Drama Queen’

Contoh pembicaraan seperti di atas bisa jadi masuk ke dalam golongan ‘Drama Queen’. Istilah Drama Queen biasanya digunakan untuk orang-orang yang suka dan sering sekali mendramatisir dirinya, kehidupannya, permasalahan hidupnya, emosinya secara meledak-ledak, dan ciri yang paling kentara adalah selalu memosisikan dirinya sebagai ‘korban’ dan orang sial di dunia ini.

Semua cerita-ceritanya selalu dramatis, sensasional, dan berlebihan, seperti saat kita menonton sinetron atau telenovela. Bahkan jika dituliskan mungkin bisa menjadi sebuah karya novel laris…hihihi. Orang zaman sekarang sering menyebutnya dengan istilah ’lebay’. Karena cerita sedikit saja bisa didramatisir bak sinetron ratusan episode panjangnya.

Sebetulnya gejala ‘Drama Queen’ ini termausk dalam jenis gangguan kepribadian dalam psikologi yang disebut histrionic personal disorder (HPD). Ciri utamanya adalah emosi yang seringkali meledak-ledak, sensitif, mudah tersinggung, mencari perhatian dengan berbagai cara yang dramatis, selalu ingin diperhatikan dan menjadi centre dengan segala keluh kesah serta permasalahan hidupnya.

Karena kebutuhan yang terakhir inilah, maka para drama queen sering menampilkan cerita-cerita kehidupannya yang begitu dramatis, bahkan menguras emosi pendengar, dan selalu memosisikan dirinya sebagai korban dari segala keadaan agar cerita tampak lebih menarik dan indah.

Korban

Terkadang sifat manusia memang begitu, ketika merasa kecewa atau tidak terima dengan keadaan, pasti langsung menyalahkan orang lain, atau menjelekkan pihak lain, kemudian ingin menunjukkan pada dunia betapa diri ini dirugikan atau disakiti. Betapa ini tidak adil? Betapa melas dan menderitanya hidup saya? Saya adalah korban.

Bercerita kesana kemari tentang betapa menyedihkannya kehidupannya, kemudian merasa bangga dan senang sesaat ketika ada orang yang memerhatikan atau mendengarkan ceritanya, atau malah ikut terhanyut dan sedih dengan cerita yang dibuatnya. Kemudian berganti lagi ke orang yang baru, dan akan selalu begitu seterusnya, dan selamanya.

Mengapa bisa begitu ya?

Karena pada dasarnya sifat dan karakter manusia selalu ingin didukung, diperhatikan dan ingin didengar oleh lingkungan sekitarnya. Nah dengan cara-cara yang normal dan wajar, terkadang dukungan kurang didapatkan. Entah itu dari pihak keluarga, teman, sahabat, pasangan, ataupun anak.

Biasanya cerita ‘diri sebagai korban’ ini lebih senang diutarakan pada orang-orang baru yang belum terlalu mengenalnya, karena biasanya orang-orang ini akan lebih bersimpati pada cerita si ’korban’ daripada orang-orang yang sudah mengenalnya lebih lama. Nah perhatian dan simpati ini akan digunakan sebagai senjata oleh si korban untuk mendapatkan dukungan dan pembelaan atas semua sikap, emosi, dan pemikirannya.

Ternyata banyak keuntungan yang bisa didapatkan ketika kita memosisikan diri sebagai korban, daripada sebagai ‘aktor’ atau ‘pelaku’. Ketika kita menjadi si korban, kita cenderung bisa mengeksploitasi orang lain, bahkan mencuci otak orang lain sesuai dengan drama atau cerita yang kita buat. Lama-kelamaan orang lain akan memercayai apa yang kita ceritakan secara terus-menerus, jika tidak jeli melihat situasi sebenarnya dan berusaha melihat dari berbagai sudut pandang.

Ada baiknya untuk melakukan kroscek pada beberapa pihak sebelum kita memercayai satu saja cerita dari si korban. Nah karena sudah terlatih bercerita sebagai korban, biasanya ceritanya pun akan lebih menarik dan lebih mudah untuk dipercaya ketimbang cerita-cerita orang biasa lainnya. Bahkan kadang kita rela menipu, melebih-lebihkan fakta yang ada, dan mempresentasikannya secara berlebihan agar cerita yang lebih indah.

‘Aktor atau pelaku’

Bagaimana jika posisinya dibalik?

Daripada menjadi korban keadaan terus-menerus dan bersikap seolah-olah tidak berdaya untuk mengubah situasi yang ada, marilah kita memosisikan diri sebagai ‘aktor’ atau ‘pelaku’.

Bukankah lebih asyik jadinya?

Menjadi seorang aktor atau pelaku utama itu berarti memiliki kontrol atas keadaan yang dialami, dan memiliki beberapa pilihan untuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Meskipun keadaan di ‘luar’ diri kita sulit untuk diubah, paling tidak kita bisa mengubah kondisi mental dan emosi kita dalam menyikapi kondisi yang kurang menguntungkan tersebut.

Manusia memiliki banyak sekali mekanisme pertahanan diri yang bisa dipilih, misalnya memilih untuk lari dari keadaan yang mengecewakan, atau berdiri tegap menghadapi kondisi tersebut dan menuntaskannya hingga akhir, atau hanya berdiam diri menunggu hingga kondisi reda dengan sendirinya? Tentunya pilihan akan sangat banyak dan tidak ada pilihan yang benar atau salah, semua kembali ke diri Anda masing-masing.

Paling tidak ketika kita sudah berani mengambil sebuah sikap tertentu, orang lain tidak akan menjadi korban manipulasi Anda dengan semua cerita-cerita tentang menjadi korban, dan fakta yang ada pun tidak perlu dinilai atau dilabel secara berlebihan. Biarkan persepsi masing-masing individu menilai situasi dan kondisi yang ada sesuai pemahaman mereka masing-masing.

Kewaspadaan penuh

Nah satu kunci jitu dalam menghadapi situasi-situasi yang kurang menguntungkan adalah dengan selalu mewaspadai gejolak emosi di dalam diri kita sendiri. Ketika gelombang kekecewaan mulai melanda, tingkatkanlah kewaspadaan diri Anda dengan selalu menyadari datangnya emosi-emosi tersebut. Bukannya mengusirnya pergi, atau juga mengabaikannya, namun cukup Anda sadari bahwa perasaan itu ada di sana, dan merupakan bagian dari diri Anda.

Dengan kewaspadaan dan penyadaran semacam ini, akan mengurangi sikap mudah menilai dan mudah mengasumsikan sesuatu secara berlebihan. Ketika kesadaran dan kewaspadaan muncul, ini akan membantu Anda dalam mengontrol ucapan, tindakan, dan pikiran yang tidak baik, serta merugikan. Selanjutnya Anda tinggal menentukan sikap dan langkah, mau mengambil jalan yang mana untuk menghadapi situasi tidak menyenangkan ini.

Semua pilihan kembali ke diri Anda masing-masing bukan? Jadi segera ambil keputusan dalam hidup Anda, mau selalu menjadi korban ataukah aktor yang menentukan respon yang diambil atas segala situasi?

Maharani K.,M.Psi

Psikolog keluarga, Hipnoterapis, dan Trainer

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *