• Tuesday, 3 March 2020
  • Reza Wattimena
  • 0

Lebih dari 13 tahun, saya mengajar filsafat di berbagai perguruan tinggi. Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu secara kritis, sampai ke akarnya. Tema seks pun kerap kali muncul, terutama dalam kuliah terkait manusia. Lucunya, setiap kali berbicara soal seks, banyak mahasiswa malu tersipu-sipu, atau merasa cemas.

Mengapa? Karena di masyarakat kita, seks adalah barang tabu untuk dibicarakan. Hampir semua agama berbicara soal melarang atau membatasi seks. Hukumannya pun kejam, yakni api neraka bagi yang melanggar. Karena mutu pendidikan kita yang rendah, sehingga pikiran kritis dan rasional itu dianggap berbahaya, maka orang pun patuh buta pada ajaran terbelakang semacam itu.

Padahal, kita semua lahir, karena orang tua kita berhubungan seks. Cinta bisa hadir, ataupun tidak. Namun, seks pasti hadir. Perjumpaan sperma dan sel telur melahirkan kehidupan baru. Ini tidak dapat disangkal.

Jika kita semua lahir dari seks, mengapa seks lalu ditabukan? Inilah kesalahan berpikir mendasar. Ajaran-ajaran lama membungkam akal sehat dan pikiran kritis. Bahkan, sumber kehidupan pun ditakuti, dan bahkan dipenjara atas nama moralitas dangkal.

Seks adalah bagian dari kehidupan. Ia tidak jelek. Ia tidak perlu ditabukan. Kita hanya perlu untuk melihat seks sebagaimana adanya.

Seks sebagaimana adanya

Pertama, seks adalah dorongan biologis. Tujuannya sederhana namun penting, yakni pelestarian spesies manusia. Tanpa seks, manusia akan punah. Hal ini berlaku tidak hanya untuk manusia, tetapi untuk semua mahluk hidup di muka bumi ini.

Dua, pada pria, dorongan seks terasa lebih kuat. Ini terjadi, karena tugas pria (pejantan) adalah mencari pasangan untuk melestarikan spesies. Dorongan ini juga ada pada perempuan, namun dalam tingkat yang lebih kecil. Tak heran, pria jauh lebih suka berbicara dan berwacana soal seks, daripada perempuan.

Bagi beberapa orang, pandangan ini dituduh meremehkan peran perempuan. Kata mereka, banyak perempuan memiliki dorongan seks yang sama besar, bahkan lebih, daripada pria. Pandangan ini kiranya bertentangan dengan pengalaman saya. Namun, kiranya, penelitian lebih lanjut diperlukan.

Tiga, di abad 21 ini, seks menjadi barang dagangan. Iklan mengumbar seks untuk menjual barang mereka. Lekukan tubuh perempuan digunakan untuk menjual alat elektronik, ataupun kondom. Garis keras tubuh pria digunakan untuk memikat perhatian, dan mengundang orang untuk berbelanja.

Empat, maka, kita mengalami paradoks seks di Indonesia. Seks ditabukan di muka umum, namun meledak di dalam ruang-ruang gelap. Tak heran, di masyarakat yang mengaku suci dan menabukan seks, Indonesia memiliki salah satu industri pelacuran gelap terbesar di dunia. Para penikmat pornografi pun menemukan rumah nyaman mereka di Indonesia. Paradoks yang bermuara pada kemunafikan.

Lima, pornografi adalah upaya untuk menjadikan seks sebagai barang dagangan pada dirinya sendiri. Tidak ada barang lain yang ingin dijual. Di abad 21 ini, industri pornografi meledak tanpa batas. Ini tentunya menciptakan kesalahpahaman berpikir soal seks itu sendiri, dan letaknya di dalam kehidupan manusia.

Seks sebagai Zen

Zen adalah meditasi. Zen adalah jalan spiritual universal untuk membawa orang lepas dari penderitaan hidup. Di dalam bahasa Jerman, meditasi kerap disebut sebagai Versenkung. Kata ini punya arti lain, yakni melebur. Di dalam seks, hal yang sama terjadi. Dua orang melebur menjadi satu. Tubuh bergesekan. Di dalam melebur, kenikmatan besar pun muncul.

Seks adalah dorongan untuk melebur dengan yang lain. Di dalam seks yang sejati, ego lenyap. Kecemasan, ketakutan dan kepentingan diri lenyap seketika. Pada titik itu, orang tidak hanya menyatu dengan pasangan seksnya, tetapi juga dengan seluruh alam semesta.

Orang lain pun tidak ada. Alam semesta pun tidak ada. Semua itu adalah bagian dari diriku. Inilah cinta yang sesungguhnya, ketika aku, orang lain dan seluruh alam semesta tidak lagi bisa dibedakan.

Kesedihan orang lain adalah kesedihanku. Gangguan di alam semesta pun dapat dirasakan, asal kita cukup memberikan perhatian. Inilah makna terdalam dari pembebasan, yakni orang terbebaskan dari ego yang menyiksa dirinya sendiri. Di dalam alam pikir India, keadaan batin semacam ini disebut sebagai Yoga.

Seks menjadi Zen, ketika ia dilakukan dengan arah yang tepat. Seks tidak diperjualbelikan. Seks pun tidak lagi hanya pemuasan nafsu dangkal semata. Seks lalu menjadi jalan spiritual untuk melebur dengan segala yang ada.

Baru-baru ini, Ajahn Brahm, master Buddhis asal Inggris, memberikan ceramah di Indonesia. Tema ceramahnya menarik, yakni Zero Ego. Ketika kita melepas ego, kita akan merasakan cinta dan kebahagiaan yang sejati. Saya rasa, pandangannya tepat, namun kurang.

Jika Ajahn Braham paham dan melakukan seks dengan arah yang serupa, maka ia pasti bisa melebur lebih dalam dengan segala hal. Ia bisa mencintai lebih dalam. Setuju?

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *