• Tuesday, 6 February 2018
  • Ngasiran
  • 0

Kayane aduh yo dik, tapi nek diparani tor dilakoni jebule yo cedak (Kayaknya jauh ya dek, tapi kalau kita datangi ternyata ya dekat). Saya kira hidup juga begitu dek, kayaknya kalau dipikir-pikir ya berat, tapi nek dilakoni yo teko penak wae (tapi kalau dilakukan ya enak saja). Persis koyo kata ibuku mbiyen; mong lakonono (sama dengan yang dikatakan Ibu saya dulu; Hanya lakukan saja).”

Begitu kata yang terucap dari Mbak Maria Hartiningsing sebelum memasuki komplek Candi IV, Candi Gedong Songo, Sumowono, Kabupaten Semarang, Selasa (23/1).

Kagum pada kearifan leluhur

Di usianya yang sudah sepuh, mantan wartawan senior Kompas ini secara khusus mengunjungi Candi Gedong Songo. Saya mendapatkan kesempatan istimewa untuk menemani beliau menapaki jalur spiritual nenek moyang masyarakat Jawa.

“Saya membayangkan nenek moyang kita dulu pas membuat ini, berarti hebat ya. Dari pemilihan tempat membuat candi dan bagaimana cara membangun candi dengan posisi tempat yang seperti ini. Ini leluhur kita lho dek, leluhurnya orang Jawa. Sayang kayaknya kok penghargaan orang-orang kita terhadap tempat suci seperti ini kok kurang ya,” kembali Mbak Maria berucap.

Baca juga: Peninggalan Leluhur di Candisari yang Terserak

Kulo amit kagem sedoyo ingkang wonten mriki sembari menguncupkan telapak tangan dan memberi hormat selalu dilakukan Mbak Maria sebelum memasuki kompleks candi.

Bagi masyarakat Jawa tentu familiar dengan kata ini, meskipun begitu sudah jarang orang yang melakukan ajaran leluhur ini, terutama di kalangan generasi muda.

Hidup selaras dengan alam

“Aku ingat kalau dulu aku sakit, ibuku menaruh sesaji di bawah pohon beringin. Lalu beliau berucap, mbah meniko putunipun sampun sae, sampun sehat, nyuwun pangestunipun. Ini adalah kearifan orang Jawa, sebuah ajaran leluhur bagaimana memperlakukan alam.”

Kepercayaan ini menurut Mbak Maria hampir sama dengan suku Indian di Amerika Latin pada masa lalu ”Seperti suku Indian di Amerika Latin itu ya, seperti boleh mengambil ikan di bulan bulan tertentu. Jadi nggak bisa sembarangan, sebenarnya ‘kan sudah ada tata adat untuk memperlakukan alam.”

Mbak Maria Hartiningsih merupakan jurnalis harian Kompas yang memulai meniti karir pada 15 Juni 1984 sampai 12 November 2014 dan diperpanjang sampai 13 Desember 2015.

Selain menerima berbagai penghargaan jurnalistik, beliau adalah penerima Penghargaan Yap Thiam Hien untuk Hak Asasi Manusia  kategori pendidikan demokrasi. Relasi-relasi yang timpang, keragaman, kesetaraan dan toleransi, perdamaian dan spiritualitas, semuanya dalam perspektif kritis.

Ngasiran

Penikmat kopi, sehari-hari bekerja sebagai tukang ngarit, dan jurnalis BuddhaZine, tinggal di Temanggung, Jawa Tengah.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *