• Sunday, 3 June 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

Anda pernah ditawari produk tertentu oleh perempuan cantik, yang biasa disebut SPG (Sales Promotion Girl)? Hampir pasti pernah ‘kan? Biasanya SPG ini ada di pusat keramaian seperti di mal.

Tapi yang akan penulis bahas kali ini bukan tentang SPG produk buatan pabrik, tapi sales (nggak sebut SPG karena “sales” yang beberapa kali menawarkan produknya pada penulis justru laki-laki) dan yang ditawarkan adalah agama. Iya, mereka menawarkan agama kepada penulis.

Sales agama

Sekitar dua puluh tahun lalu, saat penulis sedang asyik melihat-lihat buku di sebuah toko buku, seorang laki-laki muda tak dikenal menghampiri penulis. “Selamat sore Om…” “Sore…” jawab penulis. “Om biasa kebaktian di mana?” Saat itu penulis baru pindah ke Bandung dan belum tahu di mana lokasi vihara. “Di sini belum pernah ikut kebaktian,” jawab penulis. “Ayo Minggu ini kebaktian di gereja kami,” kata pemuda itu sambil memberikan kartu nama. Ups… salah pengertian karena istilah “kebaktian” yang sama. “Oke. Terima kasih,” kata penulis sambil pergi menjauh.

Dalam beberapa kesempatan, penulis juga mengalami hal yang sama. Baru ketemu, perkenalkan diri, ngobrol basa-basi sebentar, lalu ajak ke tempat ibadahnya meski penulis jelas mengatakan beragama Buddha.

Yang terakhir di sekolah saat akan menjemput anak. Orang yang tak dikenal datang menghampiri, menyapa, memberikan buku secara gratis, lalu pergi. Tujuannya sama, menawarkan “produk” baru. Anehnya “sales” ini tidak melihat situasi, siapa pun ditawari “produknya”, padahal agama adalah hal yang sensitif. Tulisan ini tak bermaksud mendiskreditkan agama mana pun, itu hanya ulah oknum.

Penulis tidak akan bicara “sales” dari agama lain. Dari lingkungan Buddhis pun ada “sales” seperti ini. Meski tahu penulis juga seorang Buddhis, tetap saja “sales” ini menawarkan sekte/alirannya. “Boleh kok datang dulu ke tempat kami…”

Duh…  menurut penulis, seharusnya “sales agama” berpikir dulu beratus-ratus atau beribu-ribu kali sebelum menawarkan “produknya”. Agama adalah hal yang sensitif. Jangan ditawarkan seperti produk MLM atau para SPG yang menawarkan produk baru sebuah perusahaan.

Jika ada orang yang datang kepada Anda (tempat ibadah Anda atau datang kepada Anda secara pribadi) dan menyatakan tertarik dengan agama Anda atau ingin belajar agama Anda, barulah Anda menjelaskan. Atau teman lama Anda punya keyakinan sama dengan Anda, sekarang mulai jarang ikut ibadah, bolehlah Anda menyapa dan mengajak “Ayo kita ibadah…”

Tawarkan produk Anda hanya untuk kalangan intern (dulu rajin ibadah, sekarang jarang ibadah) atau kepada orang yang tertarik dengan agama Anda.

Di luar itu? Anda hanya akan menambah daftar panjang perselisihan karena SARA yang telah ada.

Agama bukanlah produk yang layak “diperdagangkan”

Misalkan Anda jadi sales biskuit A, mungkin tidak jadi masalah Anda mendatangi orang lalu menanyakan: biasanya Anda makan biskuit apa, apakah ingin coba biskuit baru produk kami? Itu boleh-boleh saja, sah-sah saja.

Tapi apakah pantas Anda mendatangi orang lalu menawarkan agama Anda? Penulis yakin, semua orang menganggap agamanya adalah agama yang paling baik (atau penulis sependapat dengan Bhante Uttamo yang mengatakan tidak ada agama yang baik dan agama lain buruk, agama yang satu benar dan agama yang lain salah, yang ada adalah agama yang paling cocok untuk orang itu). Yang itu cocok, bukan berarti yang lain salah.

Jika bukan agama yang paling cocok untuknya, mungkin sudah lama ia mencari agama lain yang menurutnya lebih cocok. Dan mungkin ia sudah pindah ke agama baru yang dianggapnya lebih cocok.

Setidaknya, sebelum Anda menawarkan agama kepadanya, ia yang akan datang kepada Anda dan mengatakan bahwa ia merasa agama yang dianutnya kurang cocok, bisakah Anda mempresentasikan agama Anda di depannya, siapa tau agama Anda lebih cocok untuknya.

Jadi, Anda tidak perlu susah payah ke sana kemari untuk mencari calon konsumen produk yang ingin Anda tawarkan. Calon konsumen akan datang pada Anda atau mungkin mereka akan cari tau sendiri melalui buku atau tulisan di dunia maya atau video yang banyak tersedia di YouTube.

Agama adalah hal yang sangat sensitif

Menawarkan sebuah produk (seperti biskuit dalam contoh tadi), Anda tentu akan memberikan info keunggulan biskuit yang Anda tawarkan. Mungkin harganya lebih murah, kandungan gizinya lebih baik, perusahaan pembuatnya lebih terpercaya, atau hal lainnya. Benar ‘kan? Kalau Anda menawarkan produk tapi tidak lebih unggul daripada yang biasa dikonsumsi orang yang Anda tawari, mungkinkah ada yang tertarik untuk membeli?

Anda menawarkan agama pun demikian. Anda tentu akan menjelaskan bahwa agama Anda lebih unggul daripada agama yang dianut orang itu (agar orang itu tertarik). Ini secara tidak langsung mengatakan agama yang dianut orang itu tidak demikian. Dan ini namanya memancing keributan.

Anda tau apa sebabnya? Pertama dan terutama karena agama itu adalah hal yang paling sensitif. Itu urusan pribadi yang bersangkutan (siapa pun tidak berhak memengaruhi keputusan orang itu untuk memilih agama).

Kedua, saat Anda menjelaskan keunggulan biskuit A (secara tidak langsung menunjukkan bahwa biskuit lain tidak sebagus biskuit A), orang yang Anda tawari biskuit A tidak akan marah karena ia bukanlah pemilik pabrik biskuit atau ia bukanlah karyawan di perusahaan biskuit A.

Anda menjelaskan keunggulan agama Anda (secara tidak langsung mengatakan bahwa agama yang dianut orang di depan Anda itu tidak sebagus agama Anda). Inilah bedanya, agama itu sudah dianutnya sejak lahir (agama itu miliknya), dan ia tidak pernah merasa ada yang salah dengan agamanya. Mengapa Anda datang menawarkan agama Anda???

Marilah bijak dalam hidup. Biarkanlah orang memilih agama, menjalankan ajaran agamanya (agama yang diakui di NKRI ini) secara bebas. Kita boleh bergaul dengan orang beragama apa saja di NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, janganlah mencampuri urusan agama orang lain. Itulah toleransi yang menjadikan kita dapat hidup bersama dalam keberagaman. Fokuslah beribadah menurut agama dan kepercayaan Anda, hormatilah agama orang lain, damailah Indonesiaku.

Bicara soal toleransi beragama, penulis teringat pada Pilar Asoka. Raja Asoka yang terinspirasi dari pandangan Sang Buddha membuat dekrit di batu cadas (yang hingga kini masih bisa dibaca) dan dikenal dengan sebutan Pilar Asoka.

Begini kutipannya, “… janganlah kita menghormat agama kita sendiri dengan mencela agama orang lain. Sebaliknya agama orang lain hendaknya dihormat atas dasar tertentu. Dengan berbuat begini kita membantu agama kita sendiri untuk berkembang, selain menguntungkan pula agama lain.

“Dengan berbuat sebaliknya, kita akan merugikan agama kita sendiri selain merugikan agama orang lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama lain – sematamata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya dengan berpikir ‘bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri maka dengan berbuat demikian ia malah amat merugikan agamanya sendiri...

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan. Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *