• Saturday, 12 January 2019
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Belasan rumah ibadah dibakar,” itu headline sebuah koran yang baru saja diletakkan Brandon ke meja Wilson. “Bagaimana menurutmu?” tanya Brandon. Wilson menyeruput kopinya, lalu duduk. “Begitulah faktanya. Masih banyak yang tidak dapat menahan emosi. Sedikit saja percikan api, timbullah kebakaran besar,” jawab Wilson.

“Masalah agama emang masalah yang sangat sensitif. Kita harus jadi lebih dewasa menyikapinya. Jangan menulis status atau menulis komentar yang menyinggung penganut agama lain di medsos,” kata Wilson. “Kita berusaha jadi penyejuk di tengah suasana yang panas,” lanjut Wilson.

Adem banget denger ucapan kamu. Coba saja banyak yang berpikiran sama dengan kamu, negara atau bahkan dunia akan jadi damai,” ucap Brandon.

* * *

Sorry, aku nggak bisa. Swear, bukan hanya permintaan kamu yang aku tolak, sudah banyak yang minta, semua aku tolak. Kalau minta bantuan lain, akan aku usahakan,” jawab Wilson. “Aku harap kamu bisa mengerti. Oke, terima kasih…” Wilson mengakhiri pembicaraan teleponnya.

“Wilson, apa yang diminta Boss, sudah kamu kerjakan?” tanya Brandon.

“Tenang saja, semua sudah beres kok,” jawab Wilson. “Yuk, kita makan siang,” ajak Wilson.

“Oke. Kamu ikut mobilku saja, ada tempat makan baru yang asyik. Eh… sorry nih, bukan nguping. Tadi aku nggak sengaja mendengar percakapanmu di telepon. Emang temanmu minta bantuan apa. Kok kamu tolak? Aku hanya tanya, kalau rahasia dan nggak ingin jawab juga nggak masalah,” kata Brandon serius saat mereka sedang dalam perjalanan.

“Oh…itu tadi. Teman minta aku sharing,” Wilson menjawab singkat.

Emang jadwalnya bentrok dengan acara lain?” Brandon penasaran.

“Bukan soal jadwalnya, tapi isi sharing-nya,” terang Wilson.

Sharing tentang apa?” Brandon makin penasaran.

Sharing tentang apa lagi kalau bukan keputusanku jadi Buddhis,” jawab Wilson tanpa ekspresi.

“Lho… apa salahnya?” Bukankah itu bagus dan membuat umat Buddha lain semakin kuat keyakinannya,” Brandon berargumen.

“Aku nggak mau. Sharing ini biasanya akan menyerempet agamaku terdahulu. Orang yang mendengar bisa salah persepsi. Mungkin orang akan berpandangan bahwa agamaku yang dulu tidak bagus, agama Buddha lebih bagus. Padahal tidak seperti itu. Sekali lagi, ini hanya soal kecocokan, bukan soal benar dan salah. Tapi kita tidak bisa mencegah orang berpikiran seperti itu. Buddha pun membabarkan Dhamma hanya untuk mengajarkan jalan untuk mengakhiri dukkha, bukan untuk mencari umat sebanyak mungkin. Aku pindah keyakinan karena kecocokan, dan hubunganku dengan teman-teman di keyakinan lama baik-baik saja. Hubungan dengan orangtuaku juga sejauh ini baik-baik saja. Aku tidak mau sharing-ku nanti melukai hati teman-teman atau orangtuaku,” Wilson menjelaskan alasannya.

Baca juga: Agama Buddha Bukanlah Agama yang Paling Baik?

“Salut Bro! Aku salut pada sikapmu. Aku dapat menangkap maksudmu dan aku sependapat. Seharusnya banyak yang bersikap seperti kamu. Bukan malah jadi artis dadakan dan manggung di berbagai tempat,” kata Brandon.

“Pindah agama, tidak mengubah segalanya. Teman jadi musuh, orangtua seolah jadi orang lain. Bukan demikian. Dalam diriku, tetap mengalir darah kedua orangtuaku. Tidak ada yang berubah. Aku tetap hadir dan ikut membantu perayaan hari besar agama orangtuaku, mengantar orangtuaku ke mana mereka pergi, dan hal yang lain yang wajib dilakukan anak untuk orangtuanya. Tidak ada yang berubah. Buddha pun menganjurkan pengikutnya tetap menghormati guru mereka yang terdahulu dan tetap berdana makanan kepada guru mereka,” lanjut Wilson.

Mata Brandon terlihat berkaca-kaca. “Bro, aku harus belajar banyak dari kamu. Semoga banyak orang berpikiran seperti kamu. Aku yakin, dunia akan menjadi tempat yang indah, semua dapat hidup rukun meski berbeda suku, bangsa, agama, dan budaya,” ucap Brandon.

Brandon menatap jalanan di depannya. Bukan masalah jalanan macet karena bertepatan dengan jam makan siang yang ada di benaknya. Ada sesuatu yang ingin ia ungkapkan, namun ia agak ragu untu mengucapkannya.

* * *

“Bro, apa kabar?” sapa Brandon, yang malam itu main ke rumah Wilson.

Tumben nih, ada angin apa yang membawamu ke sini?” tanya Wilson.

“Dari siang aku pengen ngomong, tapi kok rasanya butuh waktu khusus untuk mengatakannya. Lagi pula, sudah lama aku tidak main ke sini,” kata Brandon. “Begini Bro, sebentar lagi Natal. Di gereja kami, tiap tahun Christopher yang main piano. Kemarin ia kecelakaan motor dan akan dirawat lama. Kamu pernah cerita bahwa Wina ngajar les piano. Mungkin Wina punya murid les atau teman yang jago main piano untuk menggantikan Chistopher?” kata Brandon.

“Oh… itu, aku pikir ada masalah serius apa,” Wilson geleng-geleng kepala. “Kalau urusan itu tenang saja, pasti aku bisa bantu. Jika tak ada yang bisa, Wina pasti mau bantu. Sejak TK sampai SMA ia sekolah di sekolah Katolik, Wina hafal kok lagu-lagu gereja,” janji Wilson.

“Ah… yang bener Bro?” Brandon tak percaya.

Swear… Urusan beginian sih soal kecil,” Wilson menjentikkan jarinya.

Emang nggak masalah Wina main piano lagu-lagu rohani di gereja?” Brandon masih tak percaya.

No problem… Kalau bisa bantu, mengapa tidak?” ucap Wilson.

Brandon langsung memeluk Wilson, “Terima kasih banyak Bro!”

“Hmmm… jangan peluk lama-lama nih. Nanti ada yang curiga,” canda Wilson.

Spontan Brandon melepaskan pelukan. Kemudian keduanya tertawa lepas.

Hendry F. Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *