• Wednesday, 29 July 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Pengorbanan (dalam konteks ini yaitu kurban) adalah sebuah tindakan penyembelihan hewan atau obyek lainnya sebagai persembahan dan bentuk ketaatan dari umat manusia kepada makhluk Adi Kuasa.

Praktik ini telah berlangsung sejak lama dan hampir semua agama di dunia mengenal ritual pengorbanan ini (di India dikenal yajna, di Yunani dikenal thusia, di Jerman disebut blōtan, di Arab/Semit disebut qurban, dll).

Selain dilakukan untuk menunjukkan ketaatan kepada Yang Kuasa, praktek ini juga memiliki manfaat sosial dengan cara membagikan hasil kurban kepada orang lain yang membutuhkan untuk dikonsumsi. Bahkan obyek pengorbanan ini tidak saja hewan tetapi juga manusia.

Menurut agama-agama Abrahamik/Samawi, asal usul praktik pengorbanan ini berawal dari kisah perintah Yang Kuasa kepada Abraham untuk mengorbankan putra kandung semata wayangnya sendiri sebagai bentuk ketaaatan atas perintahnya.

Sebelum Abraham benar-benar mengorbankan putranya – Ishak, Tuhan menyediakan seekor domba sebagai pengganti korban. Untuk memperingati kejadian ini, umat Islam di seluruh dunia melaksanakan ritual pengorbanan dengan hewan setiap tahun yang dikenal sebagai Iduladha.

Di Hindu, praktek pengorbanan sering disamakan dengan yajna – sebuah ritual yang menggambarkan persembahan ghee, padi-padian, bumbu-bumbu, dan kayu ke dalam api sembari melantunkan mantra suci. Api melambangkan medium yang mengantarkan persembahan kepada para Dewa.

Meskipun sudah jarang, praktek pengorbanan hewan dapat ditemukan seperti pada ritual Gadhimai di Nepal yang diadakan setiap 5 tahun sekali. Pengorbanan hewan ini ditujukan kepada Dewi Gadhimai – Dewi Kekuatan yang dipercaya akan mengakhiri kejahatan dan membawa kesejahteraan.

Praktik pengorbanan menurut ajaran Buddha

Menurut tradisi agama-agama Dharma seperti agama Buddha, Jain, dan beberapa sekte Hindu yang mendukung ajaran ahimsa (tanpa kekerasan), praktek pengorbanan hewan maupun manusia tidak didukung.

Pada kasus agama Buddha, umat rohaniawan yaitu para bhikkhu dan bhikkhuni tidak diperkenankan untuk mengambil bentuk kehidupan apapun sebagai bagian dari aturan disiplin monastik mereka, sedangkan bagi umat awam, sikap tanpa kekerasan dan penghargaan kehidupan didorong dengan penerapan Pancasila Buddhis dimana sila pertama adalah menghindari pembunuhan makhluk hidup.

Persembahan berdarah apa pun (seperti daging hewan) sangat tidak dianjurkan disajikan pada altar-altar Buddhis karena melanggar prinsip dasar ajaran Buddha yang menekankan pada metta dan karuna.

Agama Buddha dikenal kritis terhadap pengorbanan makhluk hidup. Buddha sendiri bersikap vokal terhadap praktik pengorbanan hewan yang lazim ditemukan di India kuno pada masa kehidupan Buddha.

Sebuah sutta di Digha Nikaya, yaitu Sutta Kutadanta menceritakan tentang seorang Brahmana bernama Kutadanta yang memohon petunjuk pelaksanaan upacara pengorbanan hewan yang akan dilaksanakannya.

Buddha menjelaskan tentang upacara pengorbanan yang tidak melibatkan pembunuhan hewan seperti sapi, kambing, unggas, babi atau makhluk hidup lainnya – tidak ada tangisan maupun ancaman.

Selanjutnya Buddha menjelaskan bentuk upacara korban yang lebih mulia yaitu (1) dana yang diberikan secara tetap kepada para pertapa yang memiliki sila yang baik, (2) mendirikan vihara atas nama Sangha pada empat arah, (3) memiliki keyakinan dan berlindung pada Tiratana, (4) memiliki keyakinan melaksanakan Pancasila, dan (5) memuliakan seorang Tathagata.

Dengan demikian, konsep pengorbanan ini bukannya sama sekali tidak dikenal dalam ajaran Buddha. Alih-alih mengorbankan kehidupan makhluk lain untuk Yang Kuasa, dalam narasi buddhis terdapat beberapa cerita pengorbanan diri (self sacrifice/immolation) dimana peran ganda sebagai si pengorban dan korban dilakukan oleh satu orang yang sama.

Jataka

Sebagai contoh cerita Jataka tentang Pangeran Sattva yang ketika melihat seekor macan betina kelaparan yang hendak memangsa anaknya sendiri, dengan penuh cinta kasih rela mengorbankan dirinya sebagai pengganti anak macan.

Di cerita lain dari Jataka, terdapat kisah Raja Sibi yang terkenal dengan kedermawanannya, diuji oleh Dewa Sakka dan Vishvakarman yang menjelma menjadi seekor elang dan merpati.

Si merpati yang hendak dimangsa oleh elang mencari perlindungan ke Raja Sibi. Alih-alih menyerahkan merpati kepada elang, Raja Sibi menawarkan dagingnya sendiri seberat merpati kepada si elang.

Demikianlah praktik pengorbanan diri dianggap sebagai salah satu bentuk dana yang harus disempurnakan oleh seorang bodhisattwa. Praktik pengorbanan diri ini, meski jarang terjadi, dapat kita temukan pada beberapa elemen agama Buddha Mahayana. Di sini, konsep pengorbanan ditekankan pada melayani dan menyelamatkan makhluk lain.

Contoh praktik pengorbanan diri ini juga dapat ditemukan pada agama Kristen dimana Yesus dikenal sebagai anak domba Allah karena Ia memberikan dirinya sendiri sebagai korban penebusan bagi dosa-dosa dunia. Dalam injil Yohanes disebutkan bahwa Yesus disalib tepat pada festival domba kurban Paskah (Yahudi) disembelih.

Meskipun maksudnya berbeda dengan ajaran Buddha, pengorbanan Yesus yang digambarkan sebagai bentuk ketaatan Yesus kepada Allah Bapa, “Sebab Aku telah turun dari sorga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku” (Yoh 6:38) sepertihalnya seekor anak domba yang dengan sukarela pergi ke tempat pembantaiannya sendiri.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *