Saat pertama saya menjalani latihan meditasi duduk, hal itu merupakan bencana. Punggung saya (dalam kondisi) lemah akibat duduk membungkuk selama bertahun-tahun menghadap komputer, dan kedua kaki saya tidak menghargai cara duduk bersilang kaki di atas bantal selama berjam-jam sekaligus.
Pada akhirnya, hal itu kurang menyerupai sebuah periode meditasi ketenangan yang diperluas dan sebaliknya, lebih menyerupai kumpulan penderitaan yang panjang, di mana saya menghitung waktu, menit demi menit, sampai saatnya saya kembali mencoba untuk menemukan posisi duduk yang nyaman.
Tetapi sesuatu berubah pada hari ketiga, saya membulatkan pikiran saya, bahwa tidak masalah, keadaan berubah menjadi seburuk apapun, saya tidak akan meninggalkan pelatihan sebelum waktunya. Saya juga menerima kenyataan, bahwa tidak ada yang dapat saya lakukan untuk membuat pengalaman ini menjadi dapat tertahankan.
Saya tidak dapat memperbaikinya, jadi saya semata-mata harus menanggungnya, hingga semuanya benar-benar berakhir. Singkatnya, saya menyerah untuk menjadikan situasinya lebih baik.
Saat saya membuat keputusan tersebut, seluruh dunia terbuka bagi saya. Kedua kaki saya masih sakit, tetapi saya kemudian melihat tupai-tupai yang berlarian di jendela-jendela vihara. Punggung saya terpelintir seperti simpul, tetapi saya menghargai makanan lezat yang kami makan. Dan pada penghujung periode (meditasi) duduk yang terakhir, saya mengalami kedamaian batin.
Saya membandingkan pengalaman ini dengan kegiatan menonton sebuah permainan sepak bola, dimana kita tidak peduli siapa yang menang. Kita bersungut-sungut saat ada yang bermain kasar di lapangan, dan kita bersuka cita sepanjang permainan yang menyenangkan, tetapi kita tidak peduli terhadap nilainya. Kita sekedar menikmati permainannya.
Saya makin terbiasa berpikir tentang momen tersebut, saat tahun ini berjalan. Saya mempunyai banyak rencana untuk musim panas saya. Saya menabung untuk bepergian, saya merencanakan sebuah paket perjalanan untuk mempromosikan buku yang saya tulis, saya menetapkan pikiran saya untuk mengundang tamu ke rumah saya dan mengizinkan mereka untuk tinggal cukup lama sampai malam – sebuah tugas yang luar biasa berani bagi seorang yang berkepribadian tertutup seperti saya.
Tetapi, karena pandemi dan kegelisahan sosial telah menyebar ke seluruh negeri, rencana saya luruh seperti daun musim gugur.
Saat ini musim panas telah berakhir dan semua harapan saya telah hilang. Bukannya bepergian keliling dunia, saya mengayuh sepeda saya berputar-putar mengelilingi lingkungan tempat tinggal saya. Bukannya berkeliling negeri untuk mempromosikan buku saya, saya membaca buku-buku karya guru-guru Buddhis lain, dan pesta makan malam yang saya harapkan, digantikan dengan panggilan Zoom dan pesan-pesan singkat.
Saya akan berdusta jika saya berkata bahwa tidak ada kesedihan dalam hati saya – sebuah kesedihan yang melumpuhkan, tentang apa yang terjadi. Tetapi memang ada kedamaian juga di sana, sebuah keheningan yang memberikan kesempatan untuk mendengarkan apa yang saya rasakan pada hari itu di vihara.
Saat saya meneliti perasaan ini, saya menemukan, bahwa ia datang bukan dari perasaan pencapaian, melainkan dari keterbatasan yang ada. Karena saya melakukan segalanya yang memang seharusnya saya lakukan. Saya mengenakan masker, saya menjaga jarak, saya menyimpan cadangan makanan dan menghormati protokol yang diterapkan di tempat tersebut. Tetapi hal itu tidak berjalan.
Kita telah delapan bulan dalam sebuah krisis yang seharusnya berakhir dalam dua minggu, dan tak seorang pun tahu kapan kita akan aman. Jadi, saya menyerah, saya berhenti berkeluh kesah tentang kesempatan saya yang hilang karenanya, saya tidak lagi membuat rencana tentang apa yang akan saya lakukan ketika larangan ditingkatkan, dan saya tidak lagi memeriksa apakah rumah makan favorit saya telah kembali buka.
Sebaliknya, saya bangun setiap pagi, bertekad untuk sekedar menerima dunia “sebagaimana adanya.” Melakukan hal ini mengingatkan saya, bahwa terlepas dari apapun yang telah terjadi, dan semua yang telah hilang, dunia ini masih tetap indah.
Sinar matahari masih membanjiri kamar tidur saya setiap pagi. Tanaman rumah saya masih tetap tumbuh lebih tinggi setiap harinya, dan kucing saya masih menyelinap ke dalam kamar mandi untuk menghancurkan kertas toilet saya.
Dengan cara yang sama, sebagaimana yang telah saya lakukan, untuk menghentikan upaya memperbaiki pengalaman pelatihan saya demi memperoleh pelajaran dari (pengalaman) tersebut, saya juga harus berhenti mencoba, untuk membetulkan pandemi ini demi bertahan hidup melaluinya.
Dengan melalui latihan kepasrahan inilah, tindakan untuk berpasrah diri tentang bagaimana seharusnya dunia ini, maka (barulah) saya dapat melihat keindahan tentang apa sesungguhnya ini semua.
Saat pertama kalinya saya duduk pada sesi pelatihan meditasi, saya belajar, bahwa kadangkala penderitaan kita berada di luar kendali kita. Kadangkala melarikan diri tidak dimungkinkan, dan kita harus menetapkan hati kita untuk menanggungnya. Tetapi jika kita mau melakukannya, kedamaian batin merupakan hadiah kita. Dan kita dapat mengalami sukacita ditengah kesukaran.
Saat pandemi berlanjut, kita juga terus-menerus menemukan diri kita sendiri terperangkap dalam dunia penderitaan. Tetapi hal itu sama sekali bukan berarti bahwa kita harus menderita. Terlepas dari segala sesuatu yang tengah terjadi, kedamaian batin tetap dimungkinkan. Kita sekedar harus melepaskan hal-hal yang tak dapat kita kendalikan, dan menyadari, bahwa kita dapat merasakan sukacita di tengah kesakitan.
Terjemahan dari: Sensei Alex Kakuyo; Buddhistdoor Global
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara