• Thursday, 24 August 2017
  • Victor A Liem
  • 0

Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati hari kemerdekaan negara tercinta Indonesia. Umumnya peringatan seperti ini selain untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang demi kemerdekaan juga sebagai refleksi bagi generasi muda untuk berjuang membangun negeri dengan lebih baik.

Dalam buku berjudul “De Indische Archipel”, terdapat tulisan mengenai asal-usul kata “merdeka”. Ternyata kata Merdeka adalah verbastering (perubahan) kata bahasa Belanda Mardijkers, artinya vrijgelaten slaaf (pembebasan dari perbudakan).

Mardijk adalah suatu tempat kecil dekat Duinkerken. Di abad ke-17 tempat ini sangat dihinakan oleh penduduk Negeri Belanda sebagai kawasan yang busuk, karena di sana bersarang atau tempat beristirahat bajak laut bangsa Spanyol yang amat merugikan armada pelayaran Belanda.

Orang-orang Mardijk yang membebaskan diri dari perbudakan bangsa Spanyol yang bajak laut itu, disebut Mardijkers. Demikian pula orang-orang Portugis yang ditawan Belanda di Malaka, kemudian dibawa ke Batavia lalu dibebaskan dan ditempatkan di Jalan Roa Malaka, disebut pula “Mardijkers”.

Bahasa Indonesia selain menyerap bahasa Belanda juga bahasa Sansekerta. Dalam sansekerta ada kata “Mahardika”. Kata inilah yang paling sering dianggap asal usul kata “merdeka”.

Dalam kitab Nitisastra IV:19 berbunyi:

“Lwirning mangdadi jana, surupa dhana kalakulina yowana. Lawan tan sura len kasuran, agawe wereh i manahikang sarat kabeh. Yan wanten sira sang dhaneswara, surupa guna dhanakulina. Yan tan wada, maharddhikeka pangaranya sira putusi sang pinandita”.

Artinya:
“Hal-hal yang menjadikan manusia itu mabuk adalah paras yang bagus, kekayaan, kebangsawanan dan keremajaan, dan minuman keras dan keberanian itu yang dapat membuat hati menjadi mabuk. Jika ada orang kaya, tampan wajahnya, pandai, banyak harta benda, bangsawan dan muda, tetapi tidak mabuk karenanya, ia itu adalah orang yang bijaksana, seseorang yang berbudi mahardika (telah bebas dari soal keduniaan)”.

Mahardika

Kata mahardika lebih menampilkan sikap atau cara hidup yang tidak tergoyahkan dengan keadaan. Kehidupan spiritual yang damai dan tidak lagi terusik oleh keadaan. Sikap seperti ini terwujud karena budi pekerti yang luhur.

Penyebutan kata Merdeka yang merujuk pada Mahardika nampaknya merupakan cara tokoh kemerdekaan bangsa kita dulu dalam menampilkan identitas kebangsaannya dengan memposisikan diri sebagai sikap non koperatif dengan penguasa Hindia Belanda.

Sedangkan kata Mahardika dalam sastra nusantara lebih cenderung dimaknai sebagai sikap yang transenden. Jelas berbeda dengan makna merdeka sebagai bebas dari perbudakan dan anti kolonialisme.

Kita tahu mengisi kemerdekaan bukanlah mudah apalagi jika tanpa didasari persiapan yang baik. Erich Fromm dalam buku “Escape from Freedom” menyinggung bahwa kebebasan juga akan menjadi hal yang merepotkan jika tidak tahu apa yang mesti dilakukan. “There can be no real freedom without the freedom to fail.”

Sudah 72 tahun Indonesia merdeka namun kemajuan masih belum banyak. Dalam birokrasi masih dominan perilaku yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Etika berpolitik masih diwarnai perilaku yang mengancam dan melanggar kemanusiaan bahkan ideologi bangsanya sendiri. Rakyat juga masih mudah di adu domba dan termakan isu-isu rasial yang jauh dari karakter nusantara yang ramah dan penuh toleran sebagaimana dahulu pernah terukir dalam “Bhinneka Tunggal Ika”.

Merdeka sebagai bebas menentukan pilihan sendiri mesti tahu bahwa diri sendiri adalah penentu. Sikap yang tidak baik dan keterampilan yang tidak memadahi jelas akan menentukan masa depan diri dan bangsa yang tidak baik.

Merdeka saja belum cukup. Harus ada Mahardika. Mahardika adalah kearifan dari dalam. Dalam bahasa umum, itu tidak lain adalah character building. Tanpa Mahardika, energi bangsa ini habis dalam kegelisahan, ketakutan, perselisihan dan yang pada akhirnya tidak mampu menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.
Jika setiap individu mau belajar menjadi Mahardika, apa yang dikatakan Erich Fromm tadi tidak perlu terlalu di khawatirkan.

Karena itu, mari kita menjadi pribadi yang Merdeka dan Mahardika!

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Victor A Liem

Penulis adalah pecinta kearifan Nusantara dan penulis buku "Using No Way as Way"
Tinggal di kota kretek, Kudus, Jawa Tengah. Memilih menjadi orang biasa, dan menjalankan laku kehidupan sehari-hari dengan penuh suka cita.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *