• Saturday, 24 March 2018
  • Lani Lan
  • 0

Don’t worry, be happy. Life is too short to be in a bad mood – Desi Anwar

Selamat pagi semuanya.

Minggu pagi ini cuaca Bandung cerah. Cocok untuk menghabiskan waktu dengan keluarga, pacar ataupun sahabat. Waktu berlalu sangat cepat, burung-burung terbang tanpa beban mondar-mandir sambil berkicau. Kita sudah memasuki pertengahan bulan Maret. Semuanya telah berubah.

Kenapa semua berubah? Karena hidup tidak ada yang pasti dan hidup adalah anicca (ketidakkekalan) itulah yang kupelajari selama ini, meski kadang menerima perubahan itu berat.

Menjalani hati untuk ikhlas itu sangat sulit, berulang-ulang mencoba tetap saja rasa sakit itu menyayat begitu dalam. Semakin ingin melepas semakin rasa sakit menggelayuti. Kehilangan apa yang kita sukai dan menginginkan keabadian dengan kebahagiaan yang kita miliki. Bagaimana mungkin? Hidup terus bergerak mengikuti pikiran-pikiran yang tak mau diam.

Bangunan itu namanya vihara. Tempat di mana tiap hari minggu menjadi rumah kedua bagi ratusan umat Buddha. Dan di sinilah aku berada sekarang. Apa yang aku cari selama ini? Bahagia. Ah, bahagia? Sebuah kata yang mahal eksistensinya di tengah kerumitan hidup yang terjadi.

Entah apa yang orang-orang cari di sini juga, setiap orang punya niat yang berbeda walau alasan utamanya sama yaitu belajar Dhamma. Seperti sekarang ini, vihara penuh umat, semua antusias berlomba-lomba duduk paling depan. Aku justru terbalik ingin duduk paling belakang.

Alasan mereka berebut tempat duduk adalah vihara kedatangan penceramah keren yang mereka kagumi. Rico Manggala. Semua orang dari semua sudut membicarakannya. Ketampanannya, suara lemah lembutnya, kesopanannya dan tentunya ilmu Dhammanya. Yah, harus kuakui teorinya memang keren bahkan aku yang dari kecil menganut agama Buddha saja belum terlalu banyak tahu.

“Selamat pagi, Nammo Buddhaya…” suara Rico memecah keheningan ratusan umat yang hadir. Semua orang terpukau begitu juga dengan diriku yang menatapnya dari jauh. Tetap saja aku menganggap Rico orang yang tidak bahagia dari sorot matanya. Ah! Aku tidak boleh lepas kendali. Semua orang tersenyum dan tertawa dengan sapaan Rico, aku mengangkat alisku dan melihat sekeliling.

Seseorang menepuk pundakku melewati tempat dudukku. Mataku terbelalak, senyum Filan menyeringai. Filan tobat! Biasanya Filan anti untuk duduk manis mendengarkan ceramah gaya seperti ini. Filan menganggkat tangannya dan melambai ke arahku. Aku beranjali sambil tersenyum, hatiku merasa lega setidaknya ada Filan yang mampu membuatku tersenyum di antara semua kesemuanya yang tercipta.

Tiba saatnya sesi tanya jawab, entah kenapa tiba-tiba tangan ini spontan terangkat dan dalam beberapa detik aku terdiam. Kemudian suara Rico menyadarkanku dengan pertanyaan, “silakan perkenalkan namanya dulu,!” Shit! Begitu cepat dia lupa dengan namaku, oke! Aku menahan diri sebagai orang yang pura-pura tidak mengenalnya. Aku menerima mic dari petugas dan segera memulai pertanyaanku.

“Namaku Anna Pricilia. Apakah Anda takut karma?” semua orang menoleh ke arahku, termasuk Filan. Aku seperti berada dalam peradilan, padahal akulah yang mencetuskan pertanyaan itu, kenapa semua orang malah ingin menghakimiku seolah berkata pertanyaan ini adalah pertanyaan remeh temeh yang semua orang pasti sudah tahu jawabannya.

Entah kenapa aku ingin menanyakan itu, aku terbawa suasana dengan pikiran-pikiranku terhadap Rico. Dan well, aku masih belum ikhlas menerima ini semua.

“Hmm, oke. Anna, kalau saya sih takut karma kalau sudah berbuat buruk. Untuk menjelaskan karma lebih lanjut boleh nanti setelah sesi ini saudari Anna kita bisa berbincang ya,” semua orang tertawa bahkan ada yang berbisik sambil menoleh ke arahku. Para petugas juga meledekku.

Coba saja setelah ini apa mereka masih berani meledekku. Haiz! Bodoh sekali aku ini. Rico tersenyum ke arahku, senyuman yang membuatku ingin memakinya. Filan melirikku dan mengajak keluar ruangan.

Filan menyentuh dahiku.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Filan.

“Maksudmu?” aku mengernyitkan kening.

“Kamu aneh! Tapi ya sudahlah, kamu memang aneh. Dua hari lagi aku mau balik ke Jepang,” kata Filan.

“Terserah deh, pergi saja. Siapa juga yang peduli,” aku menjulurkan lidah.

“Jahat sekali temanku ini, apa kamu mau ikut?”

“Boleh kalo aku jadi istrimu, aku akan ikut ke mana pun kamu pergi,” jawabku asal.

“Seriusan mau jadi istriku?” Filan menatapku.

“Ehem..” suara dari belakang menyusup dalam pembicaraan kami. Itu Rico. Aku jadi salah tingkah, bahwa aku sudah berjanji untuk tidak mengenalnya sama sekali dan tidak akan menganggapnya ada.

“Anna boleh bicara sebentar?” Rico bertanya. Aku hanya mengangguk dan Filan mengerti, menjauh beberapa saat.

“Kenapa?” tanyaku.

“Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih, aku terlalu egois dan membuatmu kecewa,” Rico menunduk.

“Sudahlah, meski kecewa semua tidak bisa diubah. Jalanilah hidupmu sesuai keinginanmu, selamat juga atas rencana pernikahanmu semoga bahagia selalu,” aku mengulurkan tangan dan Rico meraih tanganku menggenggamnya sangat erat. Kedua bola matanya menatapku dalam dan sendu. Tangannya hangat, dari kesenduan itu muncul binar yang tiba-tiba hangat pada tatapan itu.

“Aku batal nikah,” ucap Rico.

What? Aku ternganga. Kemudian suara tante Rina memanggil Rico dan segera Rico melepaskan genggaman tangannya dan pergi meninggalkanku.

“Kenapa dengan pamanku itu?” Filan muncul tiba-tiba.

“Batal menikah katanya,” jawabku bingung.

“Eh, kok kalian aneh ya hari ini. Ih orang-orang aneh,” Filan mencubit pipiku.

“Jadi beneran kamu mau jadi istriku, Ann?” lanjut Filan.

“Ih, gak sopan! Aku sudah gak cinta sama kamu,” jawabku sambil berlalu.

“Tapi masih suka kan?” Filan mengikutiku.

Vihara masih ramai, dan apa yang aku cari dalam hidup? Entahlah. Belum kutemukan juga akhir, semua kembali ke awal. Dimulai lagi dan selalu begitu, ingin selalu mengulang hidup yang lebih baik. Kini adalah saat yang paling tepat, tak sebatas musim dan jarak menuntun langkah aku datang atas sadarku. (TAMAT)

Nb: Terima kasih untuk Rico, Filan, Doni, Andi, dan Bella yang sudah menemaniku selama tiga bulan dalam merangkai kalimat demi kalimat dan diwujudkan oleh tim BuddhaZine. Sampai jumpa dikisah yang lainnya.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Lani Lan

Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.

Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *