
“Anna, maukah kamu menjadi pacarku?”
From : Rico
Pesan itu masih terpampang di layar ponselku. Semua ini nyata bukan sekadar mimpi belaka. Aku sudah memulai sesuatu yang aku sendiri bingung untuk menjelaskannya, perlahan terseret dalam arus yang diciptakan sendiri. Aku tetap tak membalas pesan dari Pak Rico yang kini lebih enak dipanggil Rico saja.
“Happy birthday to you.. happy birthday to you…”
“Selamat ulang tahun Kak Anna.” Bella menyodorkan kue tart yang dihiasi oleh lilin-lilin kecil berwarna-warni. Sengaja tidak memakai lilin angka karena aku akan cemberut, sebab ulang tahun hanya mengingatkanku pada berkurangnya keberadaanku di bumi yang sekarang. Andi dan Doni menyusul dengan membawa kado dan bunga di tangan mereka.
“Surprise…!” seru mereka sambil tersenyum lebar.
“Aah! Thank you guys!” aku memeluk mereka semua.
Sahabat adalah keluarga kedua yang kita punya selain orang tua dan saudara-saudara sekandung. Suasana makin haru tatkala make a wish, tiup lilin dan potong kue usai, kami saling berbagi cerita mengingat masa-masa kebersamaan kita yang sudah terlewati.
Tawa tak henti-hentinya menghiasi wajah kami, waktu seolah hanya milik kita berempat. Dari saling memuji, mengejek dan berdebat. Lalu kami berfoto dengan ekspresi yang tidak biasa yang kemudian berlomba mengunggah di media sosial dan saling men-tag dengan nama akun dari masing-masing.
Kemudian saling memberi dan membalas komen. Seketika suasana menjadi hening, ponsel menjadi barang yang paling dekat dengan tangan, hati, dan jiwa kami. Semua fokus dengan ponsel. Suara tawa kadang terdengar dengan sendirinya.
“Komennya ngomong langsung aja deh…” kataku.
Lalu mata kami saling beradu pandang seolah mengerti bahwa buat apa bertemu dan bersama kalau masih sibuk dengan ponsel masing-masing.
“Iya bener juga sih, kita ngapain ya begini ha-ha-ha,” Bella menimpali.
“Hooh, mending kita bicara,” lanjut Andi.
“Minumnya apa dong?” Doni tidak mau kalah.
Tawa kami meledak kembali. Andi segera bangkit dan memesan minuman langganan kami, hanya cola dan kentang goreng. Bella hanya mencicipi sedikit kue tartnya, dia sangat ketakutan dengan bertambahnya berat badan yang akan mengganggu penampilannya.
Bahkan setiap hari Bella akan menimbang berat badannya, jangankan sekilo satu ons saja naik berat badan sudah membuat pikirannya stres.
“Lebay…” ledek Doni. Bella memicingkan matanya, menatap Doni dengan sinis tanda kalau dia kesal dengan Doni.
“Widih awas ada yang ngambek loh,” Doni cekikikan.
“Ih gak suka deh sama Doni, gak ngerti perasaan wanita ugh!” balas Bella kesal.
Aku hanya tertawa kecil. Begitulah kami, sebentar akan sangat manis, terlihat humoris, ramai namun seketika juga bisa berantem tak berkesudahan. Layaknya dalam hubungan keluarga sekesal-kesalnya amarah kami tetap satu keluarga.
“Sudah-sudah, kalian ini selalu saja…” Andi membawa empat gelas cola yang hampir saja tumpah disenggol Bella yang terlalu agresif bereaksi.
“Iya Bella, lupakan diet untuk hari ini ya, please!” pintaku sambil mengusapkan kue dihidungnya dengan jemariku.
“Oke-oke.. stop deh!” balas Bella.
Setelah meminum segelas cola yang dingin kami berubah menjadi serius. Membicarakan tentang masa depan kami, akan seperti apa dimasa depan, apakah kita akan masih bisa bersama seperti ini selamanya? Dengan segala perbedaan yang ada, usia, hobi, daerah asal, cita-cita, makanan favorit dan tentunya kriteria pasangan hidup.
Pasangan hidup?
Kami mulai membicarakan ini dengan sangat antusias karena kami sangat penasaran akan seperti apa kami di masa depan satu sama lain.
“Kalau Kak Anna mendapatkan pasangan yang berbeda keyakinan gimana?” Bella mengawali dengan pertanyaan yang berat. Doni dan Andi melongo mendengar pertanyaan Bella.
“Gak masalah kok, asal saling memahami saja. Kalau kamu gimana Bell?” tanyaku balik.
“Gak bisa, kalau aku harus satu keyakinan, apa pun yang terjadi!” jawab Bella dengan penuh keyakinan.
“Awas karma loh, jangan pede gitu non,” Andi menimpali.
“Wah Kak Anna emang is the best deh!” mata Doni penuh kekaguman yang luar biasa.
Yah setiap orang berhak menentukan kriteria dan pilihan dalam hidupnya, apa pun itu pilihan adalah konsekuensi jadi siap tidak siap harus siap dengan segala resikonya.
Aku tersenyum dengan rasa sesak di dada, memandang foto yang tidak sengaja terlihat di ponselku. Anna, Doni, Andi dan Bella. Dengan gaya luar biasa yang hanya bisa kami lakukan jika sedang bersama.
Apakah kita masih keluarga? Masih bisa bersama-sama seperti janji kami dulu? Keadaan membuat kami mengingkari janji-janji persahabatan yang telah kami sepakati.
Seperti baru kemarin sore saat aku ulang tahun dan tertawa bersama, kini peristiwa itu sudah terjadi tiga tahun lalu. Begitu cepat waktu berlalu dan tidak bisa diputar kembali. Seandainya bisa mungkin kami masih bisa tertawa bersama dan tidak ada rasa canggung, semua baik-baik saja. Sayang sekali keadaan tidak sesederhana menikmati jus jeruk di siang hari.
Aku menyebutnya sebagai pengkhianatan walau tidak ada yang bisa mengontrol perasaan masing-masing dan tidak ada yang bisa mencegah semua ini terjadi.
Layaknya air yang mengalir, selalu mengikuti arus kemana aliran itu mengalir. Apakah hubungan persahabatan menjadi cinta adalah sebuah dosa? Mungkin bukan. Ada satu prinsip di mana tidak semua orang bisa menghancurkan begitu saja.
Terlalu kaku atau terlalu keras terlihat dimata orang lain namun sebagian orang hanya mampu melihat dan berkomentar melalui apa yang dilihatnya dengan mata telanjang.
Drrrtttt…
Ponsel berdering berulang-ulang dan kubiarkan tanpa jawaban. Rico.. Rico.. dan Rico.. aku belum siap untuk memberi jawaban.
Terlalu singkat untuk memberi kepastian di saat dirinya belum meyakinkan diri dengan benar. Sebab ini hanya akan menjadi semacam pelarian. Setiap orang akan terbentuk oleh lingkungannya, kepribadian baik ataupun buruk adalah tergantung dimana ia tinggal, bergaul dan beradaptasi.
Berhubungan seperti lingkaran yang tidak bisa putus begitu saja, ada momen-momen di mana perpisahan dan pertemuan dihadirkan kembali.
Akhirnya dengan keberanian dan kemantapan aku memberi jawaban kepada Rico.
To Rico
Sebaiknya kamu balikan lagi sama pacar kamu. Ingat masa-masa indah waktu masih bersama, jangan mudah pindah ke lain hati.
Tak berapa lama kemudian, balasan muncul dari Rico.
From Rico
Okey, batas waktunya adalah tahun baru.
Haizz! Tahun baru? Bahkan aku lupa ini adalah akhir tahun yang sebentar lagi akan berganti tahun. Terlalu sibuk dengan urusan duniawi yang tak berkesudahan. Anna! Bangkitlah! Masih banyak hari-hari indah yang belum terlewati daripada meratapi rasa sakit yang sudah lewat.
*Sebuah Cerpen
Penulis cerpen, guru sekolah Minggu di sebuah vihara, menyukai dunia anak-anak.
Hobi membaca, jalan-jalan, dan makan.