Zaman sekarang, kita dapat bertemu dengan banyak orang. Ini karena jumlah manusia di muka bumi ini berjumlah hingga 7,6 miliar jiwa.
Secara umum, saya dapat memperkirakan bahwa minimal kita akan bertemu dengan 20 orang untuk daerah yang memang sepi, dan hingga 300 orang untuk daerah yang ramai.
Khusus pada kota metropolitan, bisa jadi kita bertemu dengan hampir 1.000 orang setiap harinya.
Menjadi penting untuk disadari bahwa setiap orang itu unik. Tidak ada yang secara sempurna sama antara dua individu. Saya pernah membaca bahwa di muka bumi ini, setidaknya terdapat enam individu yang memiliki rupa yang sama dengan kita.
Itu hanya rupa, yang merupakan ekspresi dari gen orangtua kita masing-masing. Tentu saja pengalaman hidup tiap orang berbeda. Ditambah lagi dengan kehidupan kita ini yang dipenuhi oleh peluang yang tak berhingga. Saya dapat menegaskan kembali bahwa tidak ada satu pun individu di muka bumi ini yang sama.
Ketidaksamaan antarindividu ini tentu membangkitkan ego masing-masing. Di sini ego dapat kita definisikan mulai dari kebutuhan tiap individu seperti makan, berpakaian, dan bertempat tinggal, hingga kepentingan yang tidak jarang bernuansa finansial, politis, dan strategi. Tentu saja hal ini menimbulkan hal yang berbeda dan khas antarsatu individu dengan individu lainnya.
Izinkan saya untuk menyusun sebuah skenario umum. Bayangkan diri kita terbangun di suatu pagi, membuka smartphone kita yang umumnya terletak tidak jauh dari tempat tidur kita. Hal pertama yang kita lakukan adalah memeriksa inbox, baik dari SMS, email, dan media sosial.
Kemudian kita bangun dan mempersiapkan diri kita untuk berkontak dengan individu di luar sana. Kontak di sini tidak berarti bertemu dan berbicara, sekadar berpapasan di jalan saja sudah dapat dikatakan kontak.
Kita dapat lihat di sini bahwa kehidupan kita tidak dapat terlepas dari orang lain. Kita adalah makhluk sosial. Namun, dari aku, kamu, dan dia, kita adalah makhluk individu yang memiliki sifat egois. Dunia ini seakan-akan adalah sebuah kumpulan ego yang berkumpul membentuk komunitas sosial.
Karakter ego
Ego ini bersifat ingin unggul. Secara alami, seseorang pasti ingin memenuhi kebutuhan diri. Tidak sekedar memenuhi, kita juga tentu akan bergerak dan ingin mengarahkan dunia sesuai apa yang kita dambakan. Kita memiliki impian, harapan, dan skenario yang diinginkan oleh ego kita masing-masing.
Sayangnya, ego ini berbeda-beda, dan dapat saya katakan kalau tidak ada ego di dunia ini yang sama. Secara naluri, semua makhluk hidup ingin bahagia, dan pemenuhan kebahagiaan ini adalah dengan pemenuhan ego. Sekarang, dengan ego yang berbeda antarsatu dengan yang lainnya, kita berusaha memenuhi semua ego.
Salah satu contoh paling mudah adalah dalam kompetisi, selalu ada posisi peringkat satu. Setiap peserta lomba tentu mempersiapkan diri untuk menggapai peringkat satu tersebut. Dalam ego tiap peserta ada keinginan untuk menggapai peringkat satu.
Namun faktanya, peringkat satu ini hanya dapat diperoleh oleh satu individu saja, sehingga dari begitu banyaknya ego, hanya satu yang dapat memperoleh kebahagiaan ini. Sisanya akan gagal, dan akan merasa sedih.
Di sini, kita dapat melihat bahwa permasalahan yang kita hadapi, baik secara fisik maupun mental adalah fakta bahwa tidak semua hal yang kita harapkan akan menjadi kenyataan.
Selalu ada kondisi yang tidak menyenangkan, yakni tidak semua ego (keinginan) kita dapat tercapai. Selalu ada yang menang dan yang kalah. Dan yang kalah biasanya lebih banyak daripada yang menang.
Harus kita sadari bahwa ego ini adalah bukan sekedar keinginan untuk memenuhi kebutuhan, namun terdapat keinginan untuk memuaskan ego yang berlebihan. Kita harus kenali ego kita ini sehingga kita tidak dikendalikan oleh ego kita secara membuta.
Tidak hanya itu, kita juga harus melatih diri untuk menerima kenyataan yang di luar harapan kita. Kita juga belajar untuk saling mengerti, menghargai, dan mengalah pada ego sesama. Karena sejatinya, dengan sikap tersebut, diri kita akan lebih bahagia karena tidak dikendalikan oleh ego semata
“Kita harus bisa mengendalikan ego kita dan belajar memahami ego orang lain, sehingga dunia terasa lebih nyaman.”
*Ryan Kurnia, merupakan peserta workshop EWW! Eka-citta Writing Workshop (19/11). Diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Gadjah Mada (Kamadhis UGM) bekerja sama dengan BuddhaZine
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara