• Wednesday, 13 January 2021
  • Adica Wirawan
  • 0

Sewaktu sedang merapikan rak buku, tanpa sengaja, buku “Emotional Intelligence” yang terselip di dalamnya segera menarik perhatian saya. Sebetulnya ini buku lawas, yang saya beli bertahun-tahun yang lalu. Namun demikian, sewaktu membacanya kembali, saya merasa bahwa isinya ternyata tidak pernah “basi”.

Hal itu dapat dimaklumi, mengingat buku yang ditulis oleh Daniel Goleman ini cukup lengkap mengupas topik tentang persoalan emosi yang kerap melanda batin manusia, mulai dari amarah, bahagia, takut, jijik, hingga depresi.

Penjelasan tentang emosi tadi kemudian dihubungkan dengan situasi yang umumnya banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Makanya, jangan heran jika isi buku ini terasa begitu “membumi” dan mendapat sambutan yang hangat di masyarakat.

Setelah itu, buku yang dipublikasikan pada akhir tahun 90-an ini kemudian memberi Goleman sebuah “pijakan” untuk menyusun elemen-elemen kunci yang terdapat dalam kecerdasan emosi.

Tujuannya jelas. Lewat susunan elemen tadi, Goleman bisa mengenalkan sebuah “peta” untuk mengasah kecerdasan emosi kepada banyak orang. Alhasil, seseorang yang ingin mengembangkan atau memperbaiki kecerdasan emosinya bisa menemukan titik awal yang jelas, dan selanjutnya hanya perlu mengikuti “peta” yang ditunjukkan Goleman secara benar.

Nah, yang menarik, rute yang terdapat di “peta” itu ternyata berpangkal pada “kesadaran diri” (Self Awareness). Goleman sengaja mencantumkan “kesadaran diri” pada bagian awal karena elemen itulah yang paling vital dalam melatih kecerdasan emosi.

Goleman mendefiniskan “kesadaran diri” sebagai sebuah kepekaan seseorang dalam mengenali emosi-emosi yang muncul di dalam batinnya. Prosesnya terbilang cukup sederhana. Seseorang hanya perlu menyadari dan menamai setiap emosi yang timbul di hatinya.

Misal, ketika hati saya sedang “panas” karena ada orang lain yang bersikap atau berkata kasar kepada saya, maka saya cuma perlu mengetahui kemunculan emosi tersebut, dan kemudian membatin, “Amarah sedang timbul dalam diri saya.”

Cara ini tak hanya membuat saya tak terbawa perasaan marah tadi, tapi juga mampu memulihkan akal sehat saya dan menjinakkan kemarahan tadi dengan cepat.

Samma Sati

Sekilas, cara tersebut sangat mirip dengan Samma Sati yang merupakan salah satu unsur Jalan Mulia yang diajarkan Buddha. Keduanya sama-sama memfokuskan perhatian pada hal tertentu.

Meski begitu, ternyata ada perbedaan yang cukup kontras antara konsep “kesadaran diri” yang diuraikan Goleman dan Samma Sati yang dijelaskan Buddha. Jika Goleman lebih berfokus pada perasaan semata, maka Buddha mengajarkan fokus yang lingkupnya lebih luas, yang dikenal sebagai Empat Landasan Perhatian. Empat Landasan Perhatian ini meliputi sikap “eling” terhadap aktivitas tubuh, perasaan, faktor mental, dan fenomena.

Karena cakupannya cukup banyak, maka mempraktikkan Samma Sati tentu bukanlah hal yang mudah dilakukan. Agar berhasil dengan baik, maka Samma Sati mesti dilaksanakan dengan serius dan berkesinambungan. Latihan ini tentu saja membutuhkan waktu dan kesabaran yang banyak, dan belum tentu semua orang sanggup menjalaninya.

Saya pribadi belum bisa melaksanakan Samma Sati dengan baik, mengingat batin saya masih mudah teralihkan. Hal itu tentunya bisa dimaklumi, karena arus batin memang dapat berubah dengan begitu cepat, secepat satu jentikan jari.

Contoh nyatanya sederhana saja. Saat anda membaca artikel ini, apakah anda sedang sadar bahwa anda sedang membaca? Apakah anda menyetahui setiap perubahan pikiran yang terjadi sewaktu anda sampai meliput kalimat ini?

Lihatlah! Bukankah menjaga kesadaran itu ternyata cukup sulit dilakukan?

Meski begitu, bukan berarti “kesadaran diri” mustahil dilatih. Kesadaran ini masih bisa diasah dan dikembangkan. Walaupun pada mulanya mungkin lemah, namun kalau terus ditumbuhkan dengan tekun, maka suatu saat, kesadaran ini bakal semakin kuat, sehingga bisa membantu kita dalam mengelola emosi yang muncul.

Manfaat

Tentu saja latihan ini memberi banyak manfaat. Salah satunya ialah pengendalian emosi yang kuat. Orang yang terampil mengendalikan emosi bukan berarti berjuang keras menekan emosinya, melainkan hanya menyadari kemunculan emosi tersebut, dan membiarkannya berlalu.

Buddha adalah orang yang mempunyai keterampilan tersebut. Ada beberapa cerita yang memperlihatkan hal tersebut. Sebut saja peristiwa ketika Buddha dicaci-maki oleh seorang brahmana yang sewot karena sejumlah pengikutnya pindah belajar di bawah bimbingan Buddha.

Biarpun brahmana tadi terus mengeluarkan kata-kata kasar, yang mungkin membikin telinga orang awam sampai merah mendengarnya, namun Buddha tetap tenang dan diam.

Setelah emosi brahmana tadi reda, barulah Buddha angkat bicara. Tentu saja, Buddha tidak membalas brahmana tersebut dengan caci maki, tetapi Ia kemudian mengajukan sebuah pertanyaan: “Brahmana, apakah kamu pernah dikunjungi oleh keluargamu atau temanmu?”

“Tentu saja pernah Samana Gotama,” jawab si brahmana.

“Jika mereka datang berkunjung, apakah kamu memberi mereka suguhan berupa makanan atau minuman?”

“Sesekali, aku memberinya, Samana Gotama.”

“Apabila mereka enggan menerima suguhan yang kauberikan, lantas suguhan itu menjadi milik siapa?”

“Tentu saja itu menjadi milikku, Samana Gotama.”

“Demikian pula, brahmana, caci maki yang barusan kauberikan padaku enggan aku terima,” kata Buddha, “Maka, caci maki itu menjadi milikmu, brahmana.”

Cerita di atas menunjukkan betapa Buddha ialah orang yang mempunyai kecerdasan emosi yang baik. Ia memiliki “kesadaran diri” yang sangat bagus. Ia mampu mengenali setiap emosi yang muncul, dan kemudian melepasnya tanpa meninggalkan jejak emosi yang halus di batinnya.

Makanya, jangan heran, biarpun mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan demikian, batin Buddha tidak tergoyahkan!

Tentu saja kualitas batin tadi tidak muncul dalam sekejab. Buddha pastinya sudah melatih batinnya sedemikian lama, sehingga ia sanggup mengelola emosinya dengan baik. Oleh sebab itu, adalah wajar kalau batinnya serupa bunga teratai yang bersih tanpa noda, biarpun di sekelilingnya ada begitu banyak lumpur yang kotor.

Dari uraian sebelumnya bisa disimpulkan bahwa kecerdasan emosi merupakan hal yang cukup penting dimiliki dalam menjalani hidup.

Kecerdasan ini ibarat “soft skill” yang mampu membantu seseorang dalam mengedalikan emosinya sebaik mungkin. Alhasil, apabila cukup terampil mengelola emosi, maka kita tak hanya melindungi diri sendiri, tetapi juga orang-orang di sekitar kita.

Salam.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *