• Sunday, 28 March 2021
  • Reza Wattimena
  • 0

Satu lagi teman dekat saya mendapatkan diagnosis positif COVID-19. Ini adalah satu berita di antara berbagai berita serupa yang kerap mendatangi saya beberapa bulan belakangan. Tak ada gejala yang membahayakan. Hanya badan terasa lemas, dan nafsu makan menurun.

Memang, sakit adalah bagian dari kehidupan. Orang hidup pasti akan mengalami sakit. Dapatlah dikatakan, bahwa sakit justru merupakan saatnya beristirahat. Orang diputus dari kegiatannya sehari, dan beristirahat untuk memulihkan diri.

Sejak 2015, Kementerian Kesehatan sudah melihat kecenderungan perkembangan penyakit di Indonesia. Empat penyakit penyebab kematian tertinggi adalah stroke, penyakit jantung, kanker dan diabetes mellitus (Putri, 2020). Jumlah kematian dari penyakit tak menular ini menyentuh 60 persen dari total jumlah kematian di Indonesia.

Stroke menyentuh 21,1 persen, jantung koroner menyentuh 12,9 persen, diabetes mellitus dengan komplikasinya menyentuh 6,7 persen, tuberkolosis menyentuh 5,7 persen dan hipertensi dengan komplikasinya menyentuh 5,3 persen. Sebagian besar penyakit tersebut menggunakan fasilitas BPJS kesehatan. Total dana yang digunakan menyentuh angka Rp 20 triliun, terutama untuk pengobatan penyakit jantung, kanker, stroke dan gagal ginjal.

Penyakit tak menular berkembang, karena gaya hidup yang tak sehat. Data Riset Kesehatan Dasar pada 2018 menunjukkan perkembangan yang memprihatinkan. 95,5 persen orang Indonesia kurang menjadikan sayur dan buah sebagai menu makanan mereka. Sekitar 33,5 persen kurang olahraga. 29,3 persen masyarakat usia produktif menjadi perokok aktif setiap harinya. 31 persen mengalami kegemukan yang bermuara pada beragam penyakit lainnya (Ariane, 2020).

Penyakit menular yang paling ditakuti sekarang ini adalah COVID-19. Di Indonesia, jumlah total pengidap penyakit ini menyentuh 1,3 juta orang dengan kematian mencapai sekitar 36.000 orang (covid19.go.id, 2021). Secara global, jumlah pengidap penyakit ini mencapai 113 juta orang. Yang meninggal menyentuh angka 2,5 juta orang pada 25 Februari 2021.

Keseimbangan yang perlu untuk dirawat

Sakit berakar pada ketidakseimbangan. Ketika tubuh mengalami ketidakseimbangan, daya tahannya menurun. Virus dan bakteri dari luar bisa mudah masuk. Dalam jangka panjang, gejala akan terasa, dan sakit pun tiba.

Keseimbangan hidup berakar dalam pada pola hidup. Ini mencakup pola makan, pola tidur dan kecenderungan berpikir. Ini juga mencakup proporsi kegiatan. Jika kurang atau lebih dalam berkegiatan, ketidakseimbangan akan tercipta, dan penyakit pun berkunjung.

Ketidakseimbangan hidup bisa juga merusak organ. Fungsi orang pun tidak lagi sebagaimana mestinya. Penyakit kronis, seperti jantung dan diabetes, adalah penyakit yang muncul dari organ yang tak berfungsi dengan baik. Seperti data yang dikutip sebelumnya, penyakit tak menular semacam ini kini menjadi pembunuh nomor satu di Indonesia.

Maka, yang diperlukan adalah menciptakan keseimbangan dalam hidup. Dalam arti ini, keseimbangan hidup adalah inti dari kesehatan itu sendiri. Ini dimulai pertama dan terutama dari pikiran. Sudah begitu banyak penelitian yang menemukan hubungan kuat antara keseimbangan pikiran dengan kesehatan tubuh.

Di sinilah kebijaksanaan menjadi penting. Dalam arti ini, kebijaksanaan adalah pemahaman tentang tubuh dan pikiran manusia sebagaimana adanya. Ia tidak terjebak pada teori ataupun filsafat yang rumit. Ia berakar pada pemahaman nyata yang berpijak pada pola-pola yang sudah ada.

Tubuh adalah kumpulan dari apa yang sudah dimakan. Dari kecil hingga dewasa, pola makan membentuk tubuh yang kemudian digunakan. Pikiran pun juga serupa. Ia adalah kumpulan informasi yang diterima dari hubungan sosial dengan orang lain, mulai dari keluarga, sekolah sampai dengan masyarakat luas.

Kebijaksanaan yang menyembuhkan

Jika tubuh dan pikiran adalah hasil kumpulan semata, maka apa jati diri manusia yang sesungguhnya? Disinilah letak kebijaksanaan sesungguhnya tercipta. Jawaban sederhana atas pertanyaan itu adalah kesadaran. Di dalam teori-teori neurosains, kesadaran masih menjadi tema yang penuh misteri sekaligus amat penting untuk dikaji lebih jauh (Wattimena, 2021).

Di dalam tradisi filsafat Asia, kesadaran adalah kunci pembebasan. Ia juga adalah kunci dari keseimbangan hidup. Kesadaran adalah jati diri manusia yang sebenarnya. Ia berada sebelum segala bentuk konsep dan teori muncul.

Jika orang hidup sebagai kesadaran, dan tidak terjebak pada perubahan tubuh maupun pikiran, ia akan menemukan keseimbangan. Penderitaan akan berjarak, dan bahkan akan berakhir pada satu titik. Dengan batin yang seimbang, kesehatan juga akan bisa diperoleh. Tubuh bisa memperoleh kesempatan untuk memulihkan dirinya sendiri.

Jika orang tak terjebak pada pikirannya, ia bisa menemukan kedamaian. Dengan kedamaian yang ada, tubuh punya kesempatan untuk melepaskan ketegangan. Keseimbangan pun tercipta. Ini memberikan kesempatan bagi proses penyembuhan yang sesungguhnya. Inilah hidup yang berpijak pada kebijaksanaan yang menyembuhkan.

Kebijakan dan Kebiasaan

Gaya hidup bersih juga amat menentukan. Ini termasuk memilih apa yang dimakan. Dalam sehari, sebaiknya sekitar 12 jam, perut dikosongkan dari segala jenis makanan, dan hanya diiisi dengan air putih. Ini merupakan bagian dari kebiasaaan yang dibangun di atas kebijaksanaan yang menyembuhkan.

Secara luas, kebijakan pemerintah juga perlu mendapat perhatian. Jangan sampai kebijakan-kebijakan yang keluar membuat rakyat jatuh ke dalam ketidakadilan dan kemiskinan lebih jauh. Di negara yang miskin pemikiran kritis, seperti Indonesia, masyarakat mudah sekali digiring ke dalam panik dan rasa takut, karena penyebaran berita-berita yang palsu serta berat sebelah. Tugas pemerintah membuat kebijakan yang memberi rasa aman, sekaligus mengelola informasi yang tersebar.

Kebijaksanaan yang menyembuhkan, sejatinya, dimiliki semua orang. Namun, karena mutu pendidikan yang rendah, ia terlupakan. Orang sibuk tenggelam pada pikiran dan kebutuhan tubuhnya semata. Di Indonesia, agama seolah membuat orang memperoleh pembenaran untuk hidup tidak dengan akal sehat, dan bertindak tidak adil (Wattimena, 2020). Ini jelas tidak bijaksana.

Hidup bijak berarti hidup dengan kesadaran. Ini berarti juga orang memahami kehidupan sebagaimana adanya, dan tidak dengan rumusan-rumusan palsu yang berpijak pada kebodohan. Ia bisa menemukan keseimbangan di tengah berbagai perubahan dan ketidakpastian. Jika sudah waktunya tiba, ia bisa meninggalkan tubuhnya, dan melanjutkan kehidupan di ranah berikutnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *