Ini bukan saran motivator. Ini bukan stiker bemper motor. Ini ajakan untuk menjadi asli dan sejati. Tak lebih dan tak kurang.
Zaman tipuan
Kita hidup di jaman penuh tipuan. Politisi mengumbar janji palsu. Mereka janji memberikan kesejahteraan dan keadilan. Namun, justru mereka yang mencuri dan menindas rakyat.
Pemuka agama menjanjikan surga. Namun, mereka justru menghancurkan budaya, menindas wanita serta menganggu kenyamanan hidup bersama. Kemunafikan tercium kencang di udara. Jelaslah, ini bukan jalan untuk kita.
Kita dijanjikan kebahagiaan oleh berbagai media. Asal, kita membeli produk tertentu. Kita bahagia, asal kita punya tas mewah. Kita bahagia, asal kita punya gawai elektronik terbaru.
Para motivator dan guru-guru bisnis turut bersuara. Anda bahagia, jika Anda kaya. Anda bahagia, jika Anda membuat bangga keluarga dengan rekening raksasa di bank Anda. Anda bahagia, jika Anda bisa pamer kekayaan di media sosial.
Para penjual kosmetik dan desainer pun tak mau kalah. Anda bahagia, jika Anda putih. Anda bahagia, jika Anda langsing. Anda bahagia, jika Anda berbaju sesuai selera pasar, entah religius atau seksi.
Para pria pun juga jadi sasaran. Anda bahagia, jika Anda ganteng. Anda ganteng, jika Anda merokok. Anda ganteng, jika Anda berbaju modis, entah religius entah berdasi.
Media sosial terus merayu kita. Mereka adalah guru-guru kebahagiaan zaman now. Jika anda hidup seperti selebriti, maka Anda bahagia. Maka, mari kita berlomba menjadi selebriti, begitu kata mereka.
Iklan pun semakin cerdas. Mereka menyasar kita sesuai dengan riwayat selancar kita di dunia digital. Saya baru saja mencari kipas angin. Tiba-tiba, seluruh media sosial saya dipenuhi dengan iklan kipas angin.
Merekalah para penipu ulung dunia digital. Ajaran mereka palsu. Tawaran mereka menyesatkan. Buktinya, walaupun kita sudah mengikuti semua saran mereka, yakni menjadi kaya, ganteng, cantik ataupun terlihat religius, kita tetap tak bahagia.
Dunia memang tidak pernah memuaskan kita. Agama institusi yang penuh dengan aturan dan larangan juga tak akan membuat kita bahagia. Memang, sebentar, kita bisa merasa puas, karena kita dianggap sukses, cantik ataupun religius. Namun, rasa puas itu pun mereda, dan rasa hampa kembali berkunjung.
Kita pun mencari pelarian. Kita makan berlebihan. Kita berhubungan seks berlebihan. Kita belanja berlebihan, lalu berhutang. Ini semua untuk mengalihkan dari rasa hampa di hati.
Namun, semua hal itu tetap tak membuat puas. Kita merasa terasing dari orang lain. Kita pun merasa asing dengan diri kita sendiri. Depresi sudah mengetuk di depan pintu hati.
Keinginan untuk mengakhiri hidup pun datang. Lelah rasanya menjalani hidup dari hari ke hari. Apa pun yang dilakukan, mulai dari mengikuti saran pasar, saran pemuka agama, sampai dengan saran orang tua, tetap bermuara pada kehampaan batin. Hidup pun hanya berisi pengalihan yang satu ke pengalihan yang lain, dari belanja ke traveling, atau dari kubangan kemiskinan ke kubangan sakit mental.
Bagaimana keluar dari lingkaran ketidakpuasan ini? Bagaimana supaya kita lolos dari kehampaan yang seolah tak terhindarkan ini? Jawabannya sederhana, seperti tertera di judul tulisan ini. Jadilah dirimu yang sejati.
Berjumpa dengan diri sejati
Siapa diri kita? Mari kita lihat apa yang nyata. Diri kita yang sejati bukanlah pikiran maupun emosi. Keduanya sementara. Keduanya datang dan pergi, serta seringkali tak berbekas.
Anda bisa marah besar. Namun, beberapa saat kemudian, Anda tenang. Seolah tak terjadi apa-apa. Apa yang sementara pasti bukanlah yang sejati.
Diri sejati juga bukanlah identitas sosial. Agama bisa berganti. Kelamin bisa berganti. Selera dan kewarganegaran bisa diganti. Apa yang bisa dengan mudah diganti pastilah bukan yang sejati.
Dibalik apa yang bisa dengan mudah berubah dan berganti, apa yang tetap? Itulah yang sejati. Hanya satu yang tetap, yakni kesadaran yang mengamati itu semua.
Inilah Sang Pengamat yang sadar dan terbuka. Setiap orang memilikinya. Bahkan, semua makhluk memilikinya. Kehadiran Sang Pengamat di dalam diri, yang sifatnya sadar dan terbuka, tidak bisa dibantah.
Ia kosong dan terbuka penuh. Ia ada sebelum bahasa, konsep dan pikiran muncul. Ia adalah sumber dari semua pikiran maupun emosi yang ada. Namun, ia stabil, dan tak ikut berubah dengan berubahnya emosi ataupun pikiran.
Melatihnya
Ada dua hal yang mesti dilakukan. Pertama, kita perlu berkenalan dengan Sang Pengamat. Walaupun ada, jika kita tak kenal dengannya, maka kita akan terus hanyut dalam beragam emosi dan pikiran yang muncul. Kita tidak akan pernah puas, dan akan terus hampa.
Dua, kita perlu akrab dengannya. Kita perlu mengenali Sang Pengamat setiap saat. Kita perlu stabil di dalamnya. Hanya dengan begitu, kita bisa menemukan kedamaian sejati di dunia yang terus berubah ini.
Menjadi akrab berarti menjadi sadar penuh. Saat ke saat, sadarlah secara penuh tentang apa yang sedang dilakukan. Sadarlah dengan penuh pada apa yang sedang terjadi saat ini. Jika ngelamun, atau hanyut dalam pikiran dan emosi, kembalilah sadar.
Di tengah dunia yang semakin rumit, kita perlu kejernihan. Artinya, kita perlu untuk sungguh mampu berjarak dari semua bentuk pikiran dan emosi yang kita punya. Tak ada pikiran ataupun emosi yang baik. Semuanya akan bermuara pada ketidakpuasan.
Kejernihan muncul, jika kita akrab erat dengan Sang Pengamat di dalam diri kita. Kita perlu mengamati Sang Pengamat dari saat ke saat. Sebenarnya, Sang Pengamat inilah diri sejati kita. Di dalamnya, kita tidak lagi terbuai oleh tipuan dunia yang semakin canggih. Kita bisa bahagia, tanpa syarat apapun. Jangan ditunda lagi.***
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara