Saya bukanlah penulis terkenal. Namun, saya “dikenal” karena senang menulis. Bagi saya, tulis-menulis bukanlah “dunia” yang asing. Sebab, saya sudah mengakrabinya lebih dari sepuluh tahun yang lalu, tepatnya sewaktu saya masih duduk di bangku SMA.
Masih segar di ingatan saya bagaimana “euforia” yang saya rasakan saat tulisan saya berhasil “menembus” satu majalah sastra dan mendapat honor pertama saya sebagai penulis. Senangnya bukan main!
Sejak saat itulah, saya kemudian menjadikan menulis sebagai sebuah hobi. Hobi yang memberi saya banyak hal, seperti informasi, materi, dan pertemanan. Saking seringnya membuat tulisan, kadang ada juga kenalan yang bertanya: “Adica, apa sih motivasi lu dalam membuat tulisan?” Dengan nada sedikit guyon, saya sering menjawab: “Buat gue, menulis itu ‘terapi mental’, dan sarana untuk berbagi pengalaman.”
Motivasi yang terakhir disebut, yakni berbagi, itulah yang saya singgung sewaktu saya membagikan materi tentang seni menulis blog dalam acara Latihan Dasar Kepemimpinan 1 yang digagas oleh Hikmahbuddhi Jakarta Raya, Sabtu (30/6) di Jhana Manggala Meditasi Graha Centre. Pada forum itulah, saya menceritakan sedikit “karier kepenulisan” saya, dan membagikan momen-momen penting ketika menjalaninya.
Makanya, sejak awal, saya tidak mengharapkan bahwa begitu selesai acara, para peserta yang mayoritas masih pelajar dan mahasiswa langsung menjadi penulis yang hebat. Tidak demikian. Bagi saya, menulis itu butuh proses. Ia perlu kerja keras, passion, keterampilan, jejaring, dan tentunya semangat “membara” untuk terus belajar dalam setiap kegagalan.
Oleh karena merupakan pengenalan awal, saya bermaksud membangun “pondasi” yang tepat di pikiran para peserta bahwa “modal” menulis itu sebetulnya sederhana, yaitu pengalaman. Anda tak perlu piawai menyusun kata-kata. Anda juga tak butuh keterampilan editorial yang kuat. Asal punya pengalaman yang unik, Anda bisa menulis dengan lancar dan baik.
Baca juga: Karena Menulis adalah Keberanian dan Kepekaan
Pengalaman itu kemudian diwujudkan dalam bentuk cerita. Jadi, dalam pemaparan, saya sering menekankan aspek cerita. Sebab, setiap orang bisa bercerita dan senang mendengar cerita. Cerita itu tak hanya mengemas informasi dengan cara yang enak dicerna, tetapi juga mampu membangkitkan emosi tertentu. Jadi, kalau ingin menghasilkan tulisan yang “renyah” dibaca, berceritalah.
Pada akhir sesi, saya “menantang” para peserta untuk membikin sebuah cerita, yang diawali dengan kalimat: “Di antara sekian banyak panggilan telepon yang aku terima, aku sangat gugup menerima panggilan telepon yang satu ini.” Saya ingin melihat apakah para peserta bisa berimajinasi dan bercerita dengan lancar lewat kalimat pembuka tersebut.
Saya mengamati ekspresi 30 peserta yang sedang sibuk menyusun cerita. Ada yang mengerjakannya dengan wajah serius seolah tugas itu memaksanya “berpikir keras”. Ada juga yang menulis dengan santai, seolah ia sedang bertutur kepada temannya sendiri.
Apa pun ekspresi yang diperlihatkan, saya menghargai setiap upaya yang sudah dilakukan. Selang setengah jam kemudian, saya mengumpulkan karya peserta. Satu per satu peserta maju menyerahkan karyanya, dan dalam waktu singkat, di tangan saya telah terhimpun 30 karya.
Baca juga: Generasi Muda Buddhis Masih Melempem Menulis
Anehnya, setelah saya baca sekilas, tak ada satu pun cerita yang sama. Semuanya beda, dan dari situ sebetulnya kita bisa “takjub” pada kekuatan imajinasi bahwa dari sepotong kalimat pendek, telah “lahir” 30 kisah yang beragam. Luar biasa!
Saya kemudian memanggil tiga nama, yaitu Yuichen, Windy, dan Devyana, yang menurut saya tulisannya panjang, lebih dari satu halaman. Saya ingin mendengar ide di balik kisah yang sudah mereka tulis. Ketiga peserta itu kemudian membagi pengalamannya sewaktu menulis. Mereka bercerita bahwa sebetulnya menulis itu sudah sering dilakukan, dan mayoritas inspirasinya berasal dari dunia romantika remaja.
Demikianlah keseluruhan materi yang saya sampaikan. Dalam forum itu, saya juga belajar banyak hal, dan berterima kasih atas kesempatan berbagi yang diberikan kepada saya.
Sebagai penutup, izinkan saya mengutip satu quote dari Pramoedya Ananta Toer yang menggambarkan betapa pentingnya aktivitas tulis-menulis: “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Selamat menulis! Selamat menyampaikan cerita!
Salam.
Adica Wirawan
Seorang yang suka menulis
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara