• Sunday, 20 December 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Aloha!

Pernah dengar istilah ho’oponopono? Ini adalah sebuah praktik yang menitikberatkan pada rekonsiliasi dan pengampunan. Praktik ini kerap ditemui di negara-negara kepulauan seperti Hawai, Samoa, Tahiti, dan Selandia Baru.

Pada banyak budaya Polinesia, para penduduk percaya bahwa perbuatan buruk seseorang menyebabkan penyakit. Dalam berbagai kasus, ritual tertentu diselenggarakan untuk mengakui kesalahan seseorang dan dengan demikian diharapkan dapat menyembuhkan penyakit mereka.

Demikian pula bagi penduduk di pulau-pulau Vanuatu, mereka percaya penyakit biasanya disebabkan oleh penyimpangan seksual atau kemarahan. Terapi yang dilakukan biasanya melibatkan pengakuan. Orang-orang Vanuatu percaya bahwa menyimpan rahasia atas perbuatan buruk merupakan kekuatan bagi penyakit.

Ketika perbuatan buruk itu diakui, maka tidak lagi kekuatan bagi penyakit tersebut untuk berdiam pada seseorang. Di Pukapuka, sudah menjadi kebiasaan untuk mengadakan semacam ritual pengakuan pasien untuk menentukan tindakan penyembuhan yang tepat bagi mereka. Tradisi serupa ditemukan pula di Samoa, Tahiti, dan Selandia Baru.

Merawat diri dan alam
Pada hakikatnya, ho’oponopono merupakan sebuah praktik untuk membenarkan, memulihkan dan memelihara hubungan baik antara anggota keluarga dan dengan Tuhan atau Dewa yang dipercaya menyebabkan penderitaan.

Ritual ini dimulai dengan doa, kemudian sebuah pernyataan tentang permasalahan yang dihadapi disampaikan, pelanggaran yang terjadi dibahas. Anggota keluarga diharapkan mengatasi masalah dan bekerjasama, alih-alih menunjuk kesalahan.

Perasaan setiap orang yang hadir diakui dan didengarkan. Kemudian pengakuan, pertobatan dan pengampunan diberikan. Setiap orang melepaskan (kala) satu sama lain, tidak berpegang padanya. Mereka memutus yang telah lalu (‘oki) dan bersama-sama mereka mengakhiri acara dengan sebuah jamuan seremonial (pani).

Disini terlihat bagaimana praktek ho’oponopono bersifat netral dan tidak berpegang pada sisi positif maupun negatif dari sesuatu yang telah terjadi. Praktek ini berfokus pada penyembuhan dengan penerimaan, pengakuan dan pengampunan, tanpa perlu bersikap menghakimi.

Menariknya, menurut Dr. Hew Len, tujuan dari praktik ho’oponopono adalah menuju keadaan ‘nol’ atau kosong. Di sini, ‘nol’ adalah keadaan yang bebas dari pola-pola persepsi yang terkondisi. Ini merupakan sebuah keadaan harmonis dengan realitas sebagaimana adanya.

Menurut Dr. Hew Len, kita dapat kembali pada keadaan nol dengan mempraktekkan ho’oponopono. Pada keadaan nol, pemikiran, kondisi-kondisi, dan ingatan-ingatan tidak lagi membelenggu kita. Faktor-faktor pembentuk dan batasan-batasan konseptual tidak lagi menggenggam pengalaman kita.

Sebaliknya, kita menjadi sadar dengan kedamaian sejati dan cinta universal tanpa kemelekatan, yang secara bertahap akan menggantikan kehidupan penuh penderitaan yang kita alami sebelumnya.

Dalam konteks ini, ho’oponopono dapat dilihat sebagai sebuah praktik transformative yang berguna bagi kita untuk mengubah perilaku, cara pandang, dan kebiasaan kita. Praktik ini dipercaya dapat menyembuhkan batin seseorang. Langkah mudah yang dapat dilakukan adalah dengan mempraktikkan empat frasa berikut:

Saya minta maaf.
Tolong maafkan saya.
Terima kasih.
Dan saya mencintaimu.

[youtube url=”https://www.youtube.com/watch?v=0KOmMteRYFs&ab_channel=Ph%C6%B0%C6%A1ngB%C3%ACnhAn” width=”560″ height=”315″]

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *