
“Iya Pak, kami bersedia. Kami bersedia tanda tangan tanda terima uang 2 miliar, meski dana yang kami terima hanya 1 miliar,” kata ketua panitia. “Tapi ini aman ‘kan Pak?” kata ketua panitia dengan suara agak ragu.
“Aman Pak, itu adalah hal biasa. Tapi jika Bapak ragu, kami tidak akan memaksa. Kami akan berdana ke pihak lain yang sudah biasa menerima dana dari kami,” jawab Pak Steven.
“Pak… jangan tanda tangan Pak!!!” aku berteriak. “Nanti Bapak bisa dipenjara…” teriakku.
“Mas… Mas Puji, bangun…” seseorang menepuk bahuku. “Masih sore kok sudah tidur, sampai ngigau lagi…”
Aku mengucek mata, hmmm… ternyata cuma mimpi. Aku memandang Ko Gunawan yang masih memandangku dengan tatapan aneh. “Aduh maaf, saya ketiduran. Ada apa Ko Gunawan?” tanyaku.
“Itu, ada anak-anak mahasiswa yang mau pinjam kunci sekretariat. Ada rapat persiapan Waisak,” kata Ko Gunawan.
Aku segera masuk ke kamarku dan mengambil kunci sekretariat.
* * * * *
Aku duduk termenung di kamarku, sebuah kamar yang kecil di bagian belakang vihara. Aku tinggal di sini sudah 1 tahun, sejak aku datang dari desa dan bekerja sebagai penjaga vihara. Aku berharap, kelak bisa dapat kerja lain yang penghasilannya lebih besar dan bisa mengirim uang ke orang tuaku di desa.
Beberapa hari ini aku jadi tidak fokus dalam bekerja. Sejak aku tak sengaja mendengar percakapan panitia pembangunan vihara dengan seorang utusan dari pengusaha, Pak Steven namanya. Saat itu aku akan mengantarkan minuman ke ruang rapat. Saat akan masuk, aku mendengar pembicaraan mereka. Intinya, utusan pengusaha itu akan memberikan dana sebesar 1 miliar, tapi panitia diminta menandatangani tanda terima 2 miliar.
Aku merasakan ada hal yang tidak beres, tapi entah apa istilah untuk hal ini. Menurut perasaanku, ada pelanggaran sila di sini. Setidaknya berbohong, sila keempat. Masa’ terima uang 1 miliar tapi diminta tanda tangan tanda terima senilai 2 miliar? Ah… tapi tidak mungkin panitia mau menandatangani. Ini proyek pembangunan vihara, lagi pula penandatanganan ini dilakukan di vihara. Aku tak yakin umat Buddha yang aktif di kegiatan vihara mau melakukan itu.
Ternyata dugaan agak meleset. Seminggu lalu, secara tidak sengaja, aku mendengar percakapan dua orang panitia. Saat itu sudah malam, aku sudah tidur. Tapi rasa ingin buang air kecil membangunkanku. Aku ingin keluar dari kamar, tapi aku tahan setelah mendengar percakapan serius dua orang panitia. Salah satunya adalah ketua panitia.
“Saya rasa, sebaiknya kita terima saja dana pengusaha itu. Nggak apa kita terima 1 milir tapi tanda tangan tanda terima 2 miliar. Itu adalah hal biasa kata utusan pengusaha itu. Ini hal yang lumrah.”
“Aku keberatan. Ini pelanggaran sila. Kita membantu pengusaha itu melakukan money laundring, pencucian uang. Ia mengeluarkan dana CSR senilai 1 miliar untuk pembangunan vihara, ia menggelapkan 1 miliar untuk dirinya sendiri.”
“Kamu pikir kita mudah mencari dana. Kalau harapkan dana dari umat, paling satu orang kasih Rp 50.000, Rp 100.000, paling gede juga 1 juta rupiah. Berapa lama kita baru dapat 1 miliar?”
“Kalau hal ini ketahuan, kita bisa dipenjara. Pokoknya aku tidak setuju. Kalau tetap ingin terima dana itu, aku keluar dari kepanitiaan. Kamu ‘kan ketua panitia? Silakan kamu putuskan, mau terima atau tidak.”
“Aku juga akan tanyakan hal ini kepada bhante. Kalau bhante setuju, kita ikut saja. Kamu jangan sok idealis. Ini demi Buddhadhamma, demi pembangunan vihara, bukan untuk kantong pribadi saya. Realistis sajalah…”
“Aku berusaha realistis, tapi untuk hal prinsip semacam ini, aku tidak mau kompromi. Kalau mau dana, dana saja, jangan ada udang di balik batu. Aku juga tidak suka dengan salah satu umat kaya di vihara ini. Beliau memang rajin berdana untuk vihara. Ada bhante yang datang, beliau sediakan mobil untuk menjemput bhante, beliau dana makanan. Aku ingat saat bhante akan pergi ke Medan, aku dimintai bantuan untuk menyetir mobil beliau dan mengantar bhante ke bandara. Istrinya juga ikut mengantar. Dalam perjalanan, sang istri bilang, bhante, durian dari Medan itu enak banget. Nanti pulang dari sana, bawa durian ya… Bhante hanya tersenyum, tidak menjawab. Tapi pas pulang dari Medan, bhante bawa banyak durian. Aku tidak tau, durian itu pemberian umat di sana atau bhante yang minta umat di sana belikan durian agar bhante bisa membawa durian yang dipesan istri umat yang kaya tadi.” Hening sejenak…
Lalu ia melanjutkan. “Kita sebagai umat seharusnya menciptakan suasana yang nyaman bagi bhante untuk menjalankan vinaya, bukan membawa beliau ke dalam situasi dilematis seperti ini. Aku tidak setuju dengan tawaran pengusaha itu. Aku juga tidak suka dengan sikap istri umat kaya tadi. Sekarang zaman sudah canggih. Tinggal pesan secara online, semua ada kok. Atau bisa pesan pada teman di Medan untuk belikan durian. Tinggal telepon, transfer uang, kasih alamat lengkap, beres. Bhante bukan pesuruh umat, yang bisa dimintai ini itu yang tak ada hubungannya dengan Dhamma. Begini saja, kalau kamu bersikeras mau terima dana itu, aku mengundurkan diri dari kepanitiaan. Keputusanku sudah final. Selamat malam…” Lalu terdengar langkah jalan menjauh. Hening sejenak.
Aku terpaksa menahan keinginan untuk buang air kecil karena ketua panitia masih ada di dekat kamarku. Nanti ia malah curiga aku menguping pembicaraan mereka. Di luar hanya terdengar helaan napas. Selang 5 menit kemudian, barulah ia melangkah pergi.
* * * * *
Aku terbaring di atas kasur di dalam kamar. Sudah pukul 23.30, aku belum tidur. Aku tak bisa tidur, mataku sama sekali tidak merasa ngantuk. Tadi siang, aku melihat Pak Steven keluar dari ruang rapat bersama dengan ketua panitia. “Sampai jumpa Pak…” kata Pak Steven sambil tersenyum. “Anumodana Pak Steven,” jawab ketua panitia, yang kulihat memegang sebuah amplop.
Mungkinkah itu selembar cek? Apakah mereka berdua sudah menandatangani tanda terima 2 miliar dengan cek senilai 1 miliar? Aku hanya penjaga vihara. Apa hak-ku melarang ketua panitia membatalkan dana 1 miliar tersebut? Apakah benar ketua panitia sudah minta persetujuan dari bhante untuk menerima dana itu? Atau mau minta persetujuan bhante hanya bualan ketua panitia agar rekannya percaya dan mau mendukungnya untuk menerima dana itu? Apakah aku harus bertanya kepada bhante mengenai hal ini? Atau semua ini hanya prasangka burukku?
“Eh… siapa elu. Ngaca dong… Cuma jadi penjaga vihara saja belagu. Nggak usah ngurusin urusan orang lain,” kata suara hatiku.
“Biar hanya penjaga vihara, kamu juga umat Buddha. Kalau melihat sesuatu yang tidak benar, kamu punya kewajiban untuk mengingatkan,” kata suara hatiku yang lain.
Begitu terus sisi baik dan buruk dalam diriku terus berperang. Aku tak bisa menemukan jawaban apa yang harus aku lakukan. Aku hanya terus menatap langit-langit kamar, tanpa tau harus berbuat apa.
Catatan:
Kisah ini hanyalah fiktif belaka, cuma imajinasi liar penulis. Jika ada kesamaan, itu hanya kebetulan.
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.