• Saturday, 15 May 2021
  • Yulia
  • 0

Baru-baru ini saya baru saja memenuhi impian hidup saya yaitu membeli sebuah tanah yang saya harapkan bisa berubah menjadi rumah impian. Tidak mewah, sebuah rumah kecil di pedesaan dengan tanah lapang di belakangnya, namun sempurna dengan apa yang ingin kulakukan: untuk berlatih Ajaran Buddha dan menanam sayuran untuk saya makan sendiri.

Setiap pagi, setelah saya merapikan tempat tidur dan memberi makan peliharaan, saya akan menikmati secangkir teh di teras belakang rumah saya. Saya melihat matahari terbit, saya menikmati kicauan burung, dan saya merasa geli dengan dua ekor ayam Jago milik tetangga saya yang suka berlomba berkokok.

Maka saya berjalan menuju tanaman yang sudah saya tanam untuk melihat pertumbuhannya. Saya menanam Lettuce, kol, swiss chard, bit, bawang putih dan kentang. Beberapa tanaman saya bertumbuh di bedeng kebun yang sudah saya bangun dari bahan yang ditinggalkan oleh pemilik sebelumnya dan lainnya di tanam di polybag dan pot dari plastik.

Gaya bercocok tanam seperti ini memakan biaya lebih besar dari penanaman gaya tradisional yang langsung di tanam di tanah yang sudah dibajak. Saya berharap dengan gaya yang saya pilih bisa mengurangi gulma dan problem dengan hama. Bagaimanapun saya merasa bangga dengan tanaman asuhan saya ini, setiap saya melihat tanaman berkecambah dan terus tumbuh lebih besar dari hari yang sebelumnya.

Ada kalanya, saya berharap bedeng sayuran dan pot sayuran saya menghasilkan 50-70 persen dari makanan yang disantap keluarga saya. Saya membayangkan nanti makanan saya penuh akan salad sayuran dan sayuran umbi yang saya cabut sendiri dari bumi, di tambah dengan buah yang dihasilkan dari ladang dan semak buah beri sendiri.

Namun mimpi yang besar memerlukan sebuah kedisiplinan yang tinggi, dan saya mengisi hari-hari saya dengan menyeret tanah kesana kemari, menanam tanaman, dan bergelut dengan menjalankan tugas-tugas pekerjaan saya.

Saya akan dibilang berbohong jika saya tidak mengakui ada kalanya saya terkapar capai di ranjang pada malam hari dan berkata : “Apakah saya sudah membuat keputusan yang tepat?” Namun saya mendapatkan sebuah kepuasan mendalam dari hasil kerja saya hingga tubuh saya beradaptasi dengan cara hidup yang baru yang mengundang saya banyak bergerak, terasa lebih mudah setiap harinya.

Walaupun begitu, sebegitu sukanya saya akan gaya hidup baru ini, tetap ada tantangannya. Bulan pertama saya pindah ke rumah baru, mesin penghangat rusak dan membutuhkan perbaikannya yang mahal.

Sekarang saya terlibat dengan pertempuran tiada akhir dengan tupai yang ingin menggerogoti kol saya, dan baru-baru ini saya harus membatalkan kelas meditasi dan sutra yang saya ajar karena internet saya bermasalah sewaktu kelas berlangsung – sebuah hal yang tidak pernah terjadi di perkotaan.

Bahkan di sini di rumah impian Buddhis yang saya coba bangun, tetap ada penderitaan. Saya merenung dan hal ini mengingat kan saya akan Ajaran Buddha akan kebenaran mulia yang pertama yang berisi “Hidup adalah penderitaan. ”

Orang barat tidak suka akan kebenaran mulia yang pertama ini. Karena membuat kami tidak nyaman. Kami di didik dalam budaya yang mengajarkan kalau penderitaan itu buruk, dan jika kita menderita dalam bentuk apapun, kita sedang dihukum atau memang pantas mendapatkannya.

Hasilnya kita melalui hidup dengan rasa amarah kepada orang yang sudah mencelakai kita atau rasa bersalah atas bahaya yang kita ciptakan sendiri.

Juga dikatakan, ketika kita bersedia untuk berhenti dan memahami kata-kata “Hidup adalah penderitaan, ” Tanpa adanya orang yang berkompeten atau pandangan yang sudah diajarkan di awal, dua hal akan terjadi.

Pertama, kita bisa melihat dasar latihan Ajaran Buddha dan cara pengorbanan yang dilakukan. Lagipula, bagaimana kita bisa menghadapi penderitaan sendiri jika kita tidak mengakui keberadaannya.

Kedua, kita bisa mendapatkan pemahaman akan hidup, yang mengingatkan kita ada saatnya di dalam hidup ketika penderitaan tidak terhindarkan. Dan dari pada kita mencoba lari dari rasa sakit, lebih baik kita menghadapinya dengan terampil.

Saya tidak akan bisa menghindari hama dan hewan yang ingin menikmati tanaman saya. Saya tidak bisa membeli rumah tanpa memperbaikinya. Dan saya tidak mungkin pindah ke tempat antah berantah yang memiliki sambungan internet yang prima.

Bagaimana pun, kebenaran mulia pertama ini mengingatkan saya akan momen penderitaan di kebun, rumah, dan gaya hidup pedesaan yang saya nikmati. Itu adalah nilai tukar yang memberikan saya suara jangkrik pada malam hari dan harumnya potongan rumput.

Hidup dan bekerja untuk rumah impian setiap hari sudah menunjukkan kepada saya akan bagaimana rasa bahagia terikat dengan penderitaan. Dan hanya ketika saya berlatih menerima kepada masa kini maka saya bisa sepenuhnya menghargai masa lalu.

Terjemahan dari: Sensei Alex Kakuyo/Buddhistdoor Global

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *