
Kecerdasan, motivasi, percintaan, pendidikan, dan aspek-aspek sejenisnya sejujurnya bergantung terhadap pemikiran masing-masing manusia yang memikirkannya, begitu pula dengan saya.
Kecerdasan terbaik tentang seseorang adalah kecerdasan dalam melihat suatu hal atau permasalahan, tidak hanya dalam satu ranah saja, melainkan melihat permasalahan dari berbagai sudut pandang. Hal ini juga berkaitan dengan pendidikan.
Sistem pendidikan tinggi di Indonesia masih kurang sesuai dengan seharusnya. Ketika kita masuk ke dalam sistem pendidikan tinggi ini, pemikiran yang ditanamkan adalah mempelajari suatu skill tertentu kemudian menggunakan skill tersebut untuk mendatangkan pundi-pundi uang.
Contoh sederhananya adalah mahasiswa yang memilih jurusan teknik hanya berkutat dengan mata kuliah yang berkaitan dengan jurusan tersebut saja. Ilmu hampir semuanya berkaitan, pendidikan tinggi sebaiknya mempersiapkan peserta didiknya dengan skill-set berupa pola pikir yang melihat suatu permasalahan dari berbagai ‘kacamata’ ilmu pengetahuan, tidak hanya melihat permasalahan tersebut dengan menggunakan satu sudut pandang ilmu pengetahuan saja.
Sistem
Liberal art system mungkin saja bisa menjadi solusi permasalahan ini. Contoh dari penerapan sistem ini misalnya kami yang berkuliah di bidang teknik diberikan 20-25% mata kuliah yang tidak berkaitan dengan perkuliahan teknik. 20-25% mata kuliah itu adalah mata kuliah yang bisa dipelajari secara umum yang mencakup psikologi, ekonomi, geografi, dan sebagainya.
Dari sistem ini, mindset yang terbentuk, memaksa kita untuk tidak melihat sesuatu hanya dari satu aspek aja, melainkan melihat suatu permasalahan dari berbagai aspek yang kemudian dipadukan untuk mengambil keputusan terbaik, untuk hasil yang terbaik pula.
Mengenai motivasi, menurut saya motivasi terkuat itu hadir disebabkan adanya 2 aspek, yaitu fear dan love. Fear adalah kita takut pengalaman-pengalaman buruk itu terulang kembali, takut tidak bisa sukses di masa depan, tidak bisa membahagiakan orangtua, dan sebagainya.
Sedangkan untuk aspek love adalah kita sangat sayang terhadap sesuatu, baik itu kepada orangtua kita, teman kita, ataupun lingkungan-lingkungan positif di sekitar kita. Pada umumnya aspek fear memiliki peranan yang lebih kuat dibandingkan aspek love.
Kemudian kita akan membahas tentang percintaan. Saya pernah membaca suatu kutipan yang di like oleh teman saya di platform Line yang berisi seperti ini ‘Orang terpintar sekalipun akan menjadi bodoh kalau berususan dengan urusan percintaan’.
Awalnya saya setuju dengan pernyataan ini, karena saya memiliki pengalaman yang kurang mengenakkan mengenai percintaan. Tetapi setelah saya bertukar pikiran dengan orang-orang terdekat saya, permasalahan terbesar mengenai masalah ini adalah kita mengharapkan apa yang seharusnya kita tidak harapkan.
Mengharapkan apa yang seharusnya kita tidak harapkan, misalnya kita telah bersikap baik terhadap pasangan kita, memperlakukannya dengan sangat baik, memberikan apa yang ia inginkan dan sebagainya, dan kemudian berharap ia akan memperlakukan kita dengan sama baiknya atau lebih parah lagi dengan lebih baik.
Dan ketika hal seperti ini berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan, kita merasa sedih, kecewa, dan bahkan marah. Hal seperti ini memiliki keterkaitan dengan ajaran Buddha.
Pemikiran yang benar tentang perasaan cinta atau sayang ini adalah ketika pasangan Anda bersama dengan Anda, maka ia harus merasa bahagia dan senang. Terlepas dari itu kita tidak bisa mengharapkan bagaimana pasangan kita akan bersikap kepada kita.
Kesadaran baru
Saya tersadar mengenai hal ini setelah saya berharap orang lain akan bersikap sebagaimana mestinya setelah kita bersikap baik kepadanya, dan terkadang hal itu tidak sesuai harapan.
Jadi, yang sebaiknya kita lakukan adalah mengubah pola pikir kita dari yang bersikap dan berharap, menjadi bersikap dan tidak berharap, dengan begitu kita akan dapat meminimalisir rasa kecewa, sedih, dan marah.
Bagian yang terakhir yang akan saya tulis adalah mengenai pola pikir. Saya merasa beruntung karena saya dulu merupakan anak yang nakal dan susah diatur. Bolos kelas hanya untuk bermain game, berantem dengan teman di sekolah, dan hal-hal merugikan lainnya merupakan kebiasaan saya sejak dulu.
Setelah menginjak SMA kelas 2, saya merasa tersadar setelah saya berpikir, “Jikalau orangtua saya meninggal saat ini, apakah saya bisa bertahan hidup secara mandiri?” Berangkat dari pertanyaan ini, saya mulai mengubah etika dan kebiasaan merugikan saya ini.
Singkat cerita, saya yang sekarang sudah mulai sedikit mengerti kalau melihat suatu permasalahan karena saya pernah hidup di 2 dunia (dunia yang saya anggap gelap dan dunia yang saya anggap cerah). Dan saya bersyukur pernah menjadi nakal sehingga tidak melihat suatu masalah dengan satu pola pikir saja.
*Marco Hadisurya, merupakan peserta workshop EWW! Eka-citta Writing Workshop (19/11). Diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Gadjah Mada (Kamadhis UGM) bekerja sama dengan BuddhaZine