• Saturday, 6 July 2019
  • Adica Wirawan
  • 0

Kabar perceraian artis Korea Selatan Song Jong Ki dan Song Hye Kyo sempat menyita perhatian publik beberapa waktu lalu. Masyarakat, termasuk saya pribadi, dibuat bertanya-tanya tentang alasan perceraian yang dilakukan secara tiba-tiba tersebut.

Wajar, selama ini, publik menganggap bahwa Song Jong Ki dan Song Hye Kyo adalah pasangan yang ideal. Dalam versi Buddhis, mungkin pasangan yang menikah pada tahun 2017 tersebut bisa disejajarkan dengan Nakulapita dan Nakulamata, yang sangat serasi satu dengan lainnya.

Namun, kisah cinta Song Song Couple ternyata tidak seawet pasangan Nakulapita dan Nakulamata. Jika Nakulapita dan Nakulamata mampu mempertahankan keluarga dalam hitungan tahun, Song Song Couple hanya mampu membina rumah tangga dalam hitungan bulan saja.

Meskipun sempat bikin heboh, perceraian demikian bukanlah sesuatu yang baru. Perceraian sejatinya telah ada sejak zaman dahulu. Pada masa Buddha Gotama pun, perceraian pun pernah terjadi. Satu kasus yang cukup menarik dibahas adalah perceraian Ugga dengan istrinya. Dalam Sutta, Ugga dikenal sebagai upasaka yang senang mendermakan barang-barang berkualitas baik.

Ugga meyakini bahwa siapa pun yang mendermakan sesuatu yang terbaik, akan memperoleh sesuatu yang terbaik juga. Makanya, ia tidak segan menghabiskan banyak uang untuk membeli barang-barang bagus sebagai bahan dermanya.

Ugga memiliki empat orang istri yang masih muda dan cantik. Pada kehidupan Buddha, bukan sesuatu yang aneh jika seorang suami melakukan poligami. Tak hanya para raja, masyarakat biasa pun boleh berpoligami. Asalkan semua aturan telah dipenuhi, adalah sah-sah saja bahwa seseorang lelaki menikahi lebih dari satu perempuan.

Awalnya, Ugga hidup akur dengan keempat istrinya. Namun, setelah ia menemui Buddha dan menyimak ajaran-Nya, semuanya mulai berubah.

Baca juga: Empat Kesuksesan yang Menyuburkan Kamma Baik (Bagian 1)

Pasalnya, Ugga kemudian mencapai tataran Anagami. Sebagai seseorang yang telah merealisasikan tingkat kesucian demikian, ia tidak bisa terus mempertahankan kehidupan rumah tangganya. Maklum, para Anagami telah menghancurkan belenggu berupa hawa napsu. Jadi, keinginan untuk melakukan hubungan intim pun lenyap.

Ugga kemudian datang menemui istrinya. Ia mengizinkan semua istrinya untuk menikah dengan lelaki lain karena ia sudah tidak ingin hidup bersama lagi. Ia membolehkan istrinya memilih suami sesuai keinginannya sendiri. Satu per satu istrinya pun menemukan suami baru.

Tak hanya menikahkan istri-istrinya dengan lelaki lain, Ugga juga sampai memberi mereka cukup “modal” untuk melanjutkan hidup. Sepertinya ia merasa punya tanggung jawab atas kelangsungan hidup para mantan istrinya setelah perceraian tadi.

Harta

Dalam kasus perceraian di atas memang tidak disebutkan soal pembagian harta gono-gini. Tidak diceritakan apakah para istri Ugga menuntut jatah harta kepadanya. Yang ada, mereka hanya meneruskan hidup dengan pasangannya masing-masing.

Meskipun tidak disinggung, bukan berarti pembagian harta tersebut boleh dianggap sepele. Pasalnya, pada masa sekarang, harta tersebut kerap menjadi topik yang krusial dibicarakan pasca perceraian. Saking krusialnya, pembagian harta itu kerap memicu “peperangan baru” di dalam persidangan.

Itu baru soal harta, belum perihal hak asuh anak. Harus diakui, anak kerap jadi “rebutan” orangtua yang akan berpisah. Dengan mempertahankan ego masing-masing, orangtua terus bertengkar soal siapa yang berhak merawat anak. Tak jarang hal ini berdampak negatif pada diri anak. Bisa jadi, si anak akan merasa rendah diri, takut, dan stres jika dihadapkan dalam situasi demikian.

Namun demikian, Sutta-sutta sepertinya tidak membahas persoalan demikian. Dalam Sutta-sutta yang saya baca, belum ada satu pun yang secara spesifik menjelaskan hal tersebut.

Yang ada, justru saya menemukan Sutta yang mengupas cara untuk mempertahankan jodoh supaya lebih awet. Seperti Sutta yang memuat percakapan antara pasangan Nakulapita dan Nakulamata dengan Buddha tentang syarat hidup bersama dalam banyak kehidupan.

Boleh bercerai?

Makanya, sampai sekarang, saya sering bertanya-tanya. Bolehkah umat Buddha bercerai? Apakah perceraian yang dilakukan merupakan suatu bentuk dari kamma buruk, sehingga menyebabkan penderitaan bagi pelakunya?

Lantas, kalau memang demikian, dalam situasi rumah tangga yang sedemikian kacau-balau (misalnya suami tidak memberi nafkah yang layak kepada istrinya atau terjadi perselingkuhan di antara suami-istri atau kedua pihak saling menyakiti satu sama lain), haruskah seseorang mempertahankan kehidupan rumah tangga demikian?

Meskipun bagi saya, pertanyaan tadi masih “menggantung” karena belum ada referensi sutta yang menjelaskan hal tersebut, saya kira, jawaban yang disampaikan dosen Agama Buddha saya mungkin bisa diterima.

Dulu, dosen saya pernah berkata bahwa kalau sebuah rumah tangga sudah tidak mungkin dipertahankan, mengapa suami-istri tidak berpisah baik-baik? Kalau si suami happy, dan si istri juga happy, perceraian tidak ada salahnya dilakukan.

Saya pikir kata-kata dosen saya tadi ada benarnya. Asalkan kedua pihak, baik suami maupun istri, berhenti saling menyakiti, sehingga bisa menjalani kehidupan yang lebih baik, perceraian bukanlah sebuah “aib” atas kegagalan seseorang dalam membina rumah tangga.

Perceraian boleh dipandang sebagai pilihan terakhir manakala semua cara untuk mempertahankan rumah tangga sudah dicoba dan ternyata gagal. Biarpun akan menimbulkan luka yang dalam, perceraian barangkali bisa menjadi “obat”, yang mungkin rasanya sangat pahit ditelan, tetapi mampu menyembuhkan luka tadi.

Sampai di sini, saya tentu saja tidak ingin semua pasangan Buddhis bercerai. Saya justru menganjurkan supaya semua persoalan rumah tangga diselesaikan baik-baik. Namun, andaikan memang mesti bercerai sebagai pilihan terakhir, suami-istri mesti melakukannya dengan baik-baik. Bukankah sewaktu dulu, suami-istri bertemunya baik-baik. Kalau harus berpisah pun ya berpisahnya baik-baik juga.

Salam.

Adica Wirawan

Founder of Gerairasa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *