Aku memandang ke arah sekelilingku, udara pagi Bandung hari ini terasa begitu bersahabat. Bunga-bunga yang kutanam di dalam pot di halaman rumah ini juga tampak segar. Mawar dan melati sedang bermekaran. Hanya ada beberapa pot yang sudah mulai ditumbuhi rumput dan tanaman liar lainnya.
Udara yang sejuk, sinar mentari pagi yang hangat, dan beberapa tetangga yang lewat menyapaku dengan ramah, ah… begitu menyenangkan. “Pagi Oma…” sapa Jeslin, cucu Pak Robert yang akan berangkat sekolah. “Selamat pagi Jeslin… Hati-hati di jalan…” jawabku.
Suasana hari ini jauh dari bayanganku sekitar empat belas tahun lalu. Keadaan ini memang tak pernah terlintas di benakku. Saat itu suasana tempat kerjaku yang begitu tidak kondusif memaksaku untuk resign. Bukan karena kondisi keuangannya yang tak stabil, tapi persaingan tidak sehat yang berlangsung semakin memburuk. Pimpinan cabang yang karirnya meroket karena kelicikan dan pandai menjilat pimpinan pusat, membuatku semakin yakin untuk menyelesaikan kontribusiku di perusahaan itu.
Melihat ketidakadilan yang terus-merus terjadi, yang kerja tidak bagus tapi pandai mengambil hatinya, mendapatkan kenaikan gaji dan fasilitas lebih. Datang terlambat pun tidak pernah ditegur. Sementara yang bekerja sepenuh hati selalu ditekan, dijelek-jelekkan, dan selalu di-bully karena tidak sependapat dengannya. Apalagi ditambah dengan sikap rasis dan ujaran kebencian yang semakin menjadi. Aku muak.
Langkah yang kupilih saat itu memang berat, tapi itu harus dilakukan. Yang terpenting, suami tercinta mendukung penuh keputusanku. Anak kami pun bisa mengerti setelah kami menjelaskan duduk perkaranya. Meski Meilani baru duduk di kelas 5 SD dan Michael duduk di kelas 7, putra-putri kami dapat bersikap dewasa.
Ada beberapa perubahan yang harus kami alami. Suamiku yang baru setahun resign dan memulai usaha barunya belum sepenuhnya berjalan lancar, aku juga dipaksa resign oleh keadaan yang tidak kondusif. Kami tidak bisa menjadwalkan liburan ke luar kota dengan naik pesawat dan menginap di hotel berbintang atau tidak bisa sering main ke mal dan makan di luar atau menonton film di bioskop. Kami harus berhemat agar putra-putri kami dapat melanjutkan pendidikan hingga kuliah.
“Duuuaaar…!!!” sebuah ledakan keras mengagetkanku. Pikiranku yang tadi mengembara ke masa lalu seketika kembali ke masa kini. Suamiku keluar dari rumah dan menghampiriku yang sedang berdiri di dekat pagar. “Ada apa Ma?” tanya suamiku. “Itu Pa, kayaknya ban motor itu meledak…” terangku.
Suamiku menengok sejenak ke arah motor itu. Sang pengendara motor dihampiri tetangga kami yang memberitahukan di ujung jalan ini ada tukang tambal ban yang buka 24 jam. “Ayo kita sarapan, merawat tanamannya sudahan dulu, habis sarapan atau besok baru dilanjut lagi,” suamiku menggandeng tanganku. Aku tersenyum manis pada mantan pacarku ini, tidak salah aku memutuskan menikah denganmu, batinku.
“Aku sudah memasak mie instan dengan tambahan telur dan sayuran kesukaanmu,” lanjut suamiku. “Terima kasih sayang…” jawabku. “Ada berita gembira untuk kita. Kamu bisa menebak, berita apa itu?” tanya suami dengan tersenyum sumringah.
“Ada undangan reuni teman SMA untukku?” aku coba menebak. “Salah…” jawab suamiku. “Papa dapat undian uang dari operator telepon selular?” aku menebak sekali lagi. “Masih salah…” suamiku tertawa. “Sudah, nyerah aja deh…” kata suamiku. “Oke, aku menyerah,” kataku sambil mengangkat kedua tanganku.
“Mike kirim pesan lewat video di WA, istrinya sudah positif hamil 3 bulan… Kita segera akan punya cucu,” teriak suamiku yang tak dapat membendung kegembiraannya. “Apa??? Kita akan jadi Oma dan Opa?” aku tak kalah histerisnya. Berita gembira ini menambah indahnya hari ini. Suasana hati dipenuhi rasa syukur.
* * * * * * * * * * *
Aku dan suami sedang duduk di teras menikmati teh hangat dan camilan. Kami mengobrol tentang kedatangan Michael dan Marsha istrinya tadi siang. Meilani juga datang. Michael dan istrinya membawakan makanan istimewa untuk makan malam kami, Meilani membawakan buah jeruk. Yang terpenting dari semua itu tentu saja Marsha yang sedang hamil 3 bulan. Aku memberikan banyak cerita tentang pengalamanku dulu saat hamil Michael dan Meilani. Suamiku juga sibuk memberi nasihat bagaiman suami harus berperan menjaga kesehatan ibu hamil dan calon buah hatinya. Jadi suami siaga pokoknya.
Tiba-tiba smartphone-ku bergetar. Aku mengambil smartphone-ku dan membukanya. Ternyata ada pesan dari Dini, mantan teman kerjaku. Tumben, pikirku. Sudah hampir setahun aku tidak mendapat kabar darinya. Biasanya sebulan sekali kami masih bertukar berita. Aku pernah menelepon, tapi suara di ujung sana mengatakan “Telepon yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area.” Kirim pesan via WA pun tak terkirim.
“Sarah, ini Dini. Maaf lama tidak berkirim kabar. Smartphone-ku hilang dicuri. Sekarang aku pakai nomor ini, tolong disimpan ya? Maaf, aku tiba-tiba menghubungi kamu tapi membawa kabar mengejutkan. Kamu masih ingat mantan atasan kita? Kamu masih ingat Pak Larry?”
Aku segera mengetik jawaban di smartphone-ku. “Pasti ingat, nama itu tidak mungkin terlupakan begitu saja. Ada apa dengan dia?”
“Pak Larry dan Jilly istrinya, meninggal saat rumah mereka di Ngawi terbakar. Mungkin karena panik, mereka tidak dapat keluar dari rumah mereka yang terkunci. Ini ada link beritanya…”
“Astaga!!!” kataku setengah berteriak. “Ada apa Ma?” tanya suamiku. “Pak Larry dan istrinya meninggal. Mereka terpanggang di dalam rumah mereka sendiri saat terjadi kebakaran,” ceritaku. Suamiku hanya terdiam, beberapa saat tidak mengeluarkan kata-kata apa pun.
Aku gembira dengan keadaan suamiku sekarang. Tidak emosional dan relatif dapat mengontrol diri. Jika berita ini diterimanya empat belas tahun lalu, tentu reaksinya akan sangat berbeda. Kemungkinan ia akan berteriak keras “Yesss!!!, Terimalah karmamu…”
Dulu, dalam benakku pun selalu terlintas pertanyaan, “Mengapa Pak Larry yang selalu berbuat jahat dengan memfitnah lawannya hingga satu persatu diberhentikan, karirnya semakin cemerlang. Sementara aku yang sudah bekerja sepenuh hati, terpaksa harus angkat kaki dari perusahaan. Di mana letak keadilan?
Sekarang aku teringat pada kutipan Dhammapada 119-120:
“Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik, selama buah perbuatan jahatnya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.”
“Pembuat kebajikan hanya melihat hal buruk, selama buah perbuatan bajiknya belum masak, tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak, ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.”
* * * * * * * * * * *
Hidup ini memang serba tidak pasti, yang pasti hanyalah kematian. Bagi kita, yang dapat dilakukan adalah terus berbuat kebajikan. Tidak ada yang tahu bagaimana keadaan kita di masa yang akan datang. Aku dan suami juga tak menyangka jika usaha yang kami rintis bisa sukses dan penghasilannya jauh lebih besar daripada ketika kami berdua bekerja sebagai karyawan.
* * * * * * * * * * *
“Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau di mana pun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya,” Dhammapada 127
Hendry Filcozwei Jan
Penulis cerpen buddhis, suami dari Linda Muditavati, ayah dari 2 putra (Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan).
Pengelola blog www.vihara.blogspot.com, pendiri group WA: KCB (Komunitas Cerpen Buddhis), tinggal di Bandung
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara