Salah satu ciri utama Zen adalah Mushotoku. Ini adalah keadaan batin yang tidak mencari apa pun. Orang lalu hidup tidak melekat pada keinginan ataupun benda-benda luar, dan tidak lagi sibuk mencari keuntungan untuk dirinya sendiri. Ketika titik ini dicapai, kebebasan dan kebahagiaan muncul secara alami.
Kita hidup di dunia yang penuh dengan kepentingan. Jarang ditemukan ketulusan total di dalam hubungan antar manusia. Orang membantu orang lain, karena ada maunya. Kepentingan itu bisa sangat duniawi, seperti mencari balas jasa, atau sangat surgawi, yakni supaya mendapat pahala, atau masuk surga.
Cara berpikir semacam ini sama seperti berdagang. Walaupun terlihat spiritual, motivasi dasarnya tetaplah sebuah keuntungan, baik langsung ataupun tidak. Ada ego yang terselip disini. Selama ego masih muncul, kelekatan batin akan datang, dan penderitaan pun tak terhindarkan.
Mushotoku adalah sikap hidup yang asli dan alami. Ia melampaui ego dengan segala kepentingan dan kecemasan yang ia punya. Mushotoku juga menyadari kesatuan dari segala sesuatu di alam semesta. Jika orang hidup dengan prinsip ini, ia akan tetap merasa damai dan bahagia, walaupun ia rugi, jika dilihat dari kaca mata dunia sosial.
Dasar pertama dari Mushotoku adalah bertindak tanpa menginginkan hasil yang pasti. Ini juga mencakup memberi tanpa mengharapkan kembali. Mushotoku adalah ketulusan yang alamiah. Ia sepenuhnya bebas dari pamrih.
Ini juga merupakan sikap yang penting di dalam hidup beragama, baik dalam bentuk ritual, ajaran maupun spiritualitas (meditasi). Semuanya perlu dilakukan, tanpa mengharapkan keuntungan apa pun. Tidak ada nama baik, uang ataupun surga yang dinantikan. Juga tidak ada kekuatan batin apapun yang perlu diharapkan.
Di dalam Zen, semua tindakan adalah tujuan pada dirinya sendiri. Tidak ada objek dan tidak ada subjek. Yang ada hanyalah kesatuan utuh dari segala sesuatu di dalam setiap tindakan, dari saat ke saat. Sikap batin semacam ini lalu diterapkan di dalam bela diri dan berbagai bentuk seni, sebagaimana yang berkembang di Asia Timur.
Bagaimana dengan hidup sehari-hari? Bukankah di dalam bekerja dan berdagang, kita harus memperoleh keuntungan? Tidak ada masalah. Lakukan apa yang perlu dilakukan dengan setiap pada prosesnya, tanpa melekat pada hasilnya.
Ketika berbisnis, orang perlu berbisnis sepenuh hati. Ia perlu memberikan pelayanan yang bermutu tinggi kepada klien-kliennya. Semua proses ditekuni dengan sepenuh hati dan ketulusan sempurna, tanpa obsesi berlebihan pada hasilnya. Keuntungan tidak dilihat sebagai tujuan utama di sini, melainkan sebagai dampak alami dari tindakan yang sepenuhnya utuh di dalam proses dari saat ke saat.
Pada tingkat awal, Mushotoku adalah sikap batin yang melepaskan segala kelekatan terhadap kepentingan diri. Pada tingkat tertinggi, Mushotoku adalah melepaskan “diri” itu sendiri. Inilah pencapaian tertinggi, tidak hanya di dalam ajaran Zen, tetapi juga di dalam filsafat Asia. Sejatinya, “diri” itu memang tidak pernah ada. Ia hanyalah ilusi yang lahir dari kebiasaan semata.
Setiap tindakan adalah tujuan pada dirinya sendiri. Setiap saat adalah tujuan pada dirinya sendiri. Saat demi saat, semua hal dilakukan dengan ketulusan, termasuk ketika bekerja, berbisnis, meditasi, berdoa atau sekedar duduk bersama kerabat tercinta. Ketika penderitaan datang, ia tidak ditolak, melainkan dialami sepenuhnya dari saat ke saat. Itu pun hanya sementara.
Inilah jalan Zen,… jalan pembebasan.
Reza A.A Wattimena
Pelaku Zen, tinggal di Jakarta
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara