• Thursday, 29 December 2016
  • Jennifer Lie
  • 0

Sering kita bertanya pada diri sendiri, setelah melakukan perjalanan spiritual yang panjang, apakah ada kemajuan secara spiritual dalam diri kita? Berikut tulisan dari guru meditasi ternama Pema Chodron seperti dilansir dari Lion’s Roar.

Sesungguhnya pertanyaan tentang kemajuan spiritual pada diri sendiri adalah suatu hal yang patut dipertanyakan lebih jauh. Terkadang, demi menyenangkan diri, kita beranggapan bahwa kita telah mengalami kemajuan. Padahal mungkin jawabannya, kita belum mengalami kemajuan yang berarti walaupun sudah menempuh perjalanan spiritual yang panjang.

Beberapa ajaran tradisional menyatakan adanya sebuah pertanda yang bisa ‘mengukur’ pencapaian pelatihan meditasi, yaitu teririsnya kebodohan mental.

Kebodohan ini adalah konflik emosi yang sangat kuat yang bisa menjadi-jadi kala kita terjebak dalam kebencian maupun godaan. Ajaran spiritual hendaknya mengajarkan murid untuk meredam kebodohan mental, dan bukan menuduh bahwa seseorang dengan kebodohan mental adalah orang yang bodoh. Penuduhan hanya akan menumpuk kebencian dan kebodohan.

Yang harus dilakukan adalah terus berlatih dan dengan sadar tidak mengucapkan atau bertindak bodoh. Bila kebablasan, segera sadari apa yang terjadi, jangan merasa bersalah, namun teruslah berlatih dan belajar dari pengalaman tersebut.

Salah satu poin yang bisa membantu pelatihan kita adalah dengan mencari jalan tengah. Karena di sinilah kebijaksanaan dan welas asih berada. Penemuan titik tengah ini akan membuat kita berpikir bahwa kemajuan spiritual yang kita capai bukanlah kemajuan seperti yang kita pikirkan pada mulanya.

Di sini kita berbicara mengenai proses belajar bertahap, kemajuan bertahap. Dengan berkaca pada diri sendiri bagaimana cara kita berhadapan dengan orang lain melalui perkataan dan tindakan, secara bertahap kita akan menyadari apa yang terjadi pada kita. Kita akan mulai melihat di saat kita mulai bersikeras pada pendirian kita. Kita akan menyadari di saat kita menuduh orang lain; atau di saat kita takut dan mundur, atau ketika kita mulai marah dan tidak bisa diredam; atau ketika kita mulai berkata kasar dan tidak semestinya. Kita mulai menyadari saat hal ini terjadi. Dan kemampuan ini bisa didapat melalui pelatihan meditasi.

Yang harus ditekankan di sini adalah, kemampuan akan kesadaran diri ini bukanlah sesuatu yang bisa diukur, melainkan ini adalah bukti adanya welas asih dalam diri. Rasa welas asih ini adalah buah dari pelatihan meditasi. Saat melakukan meditasi, kita duduk dalam diam dan kita mulai mengenali segala hal yang datang dengan sikap yang netral. Lalu kita labeli hal tersebut, renungkan sejenak, kemudian keluarkan bersamaan dengan hembusan napas. Melalui meditasi, kita berlatih untuk tidak memberi label baik atau buruk pada pikiran yang datang. Kita hanya sekedar “melihat”. Seorang yang berlatih meditasi menyadari bahwa perjalanan dari kesukaan menghakimi diri sendiri dan orang lain, kemudian meningkat pada kemampuan untuk “melihat” segala sesuatu dalam perspektif netral, adalah sebuah tahapan.

Jadi satu perkembangan dalam meditasi adalah kita mulai menyadari apa yang terjadi. Tidak menghakimi atau menggurui, hal ini bisa terjadi karena adanya welas asih dalam diri kita. Kemudian kita mulai bersikap tanpa pamrih, yang kita sebut maitri –bersikap terbuka pada apa pun yang akan terjadi.

Pertanda selanjutnya adalah kita menemukan bahwa pola bisa berubah. Misalnya kita tahu ketika marah, kita akan berteriak. Namun di titik ini, kita menyadari bahwa kita marah, namun kita tidak berteriak. Walaupun kita belum bisa menghilangkan amarah tersebut, namun dengan tidak berteriak, pelatihan kita telah maju satu langkah ke depan. Kita memutarbalikkan pola dengan mengiris kebodohan.

Proses ini bisa berlangsung lama, tapi akan ada satu titik di mana kita mulai menyadari bahwa kita bisa melakukan hal yang berbeda, yaitu dengan membuang pikiran tersebut di saat kita menyadarinya. Ketika pikiran tersebut merayapi benak kita, kita tentu akan merasakannya, karena pemikiran tersebut akan mempengaruhi indera-indera di tubuh. Di sini kita harus proaktif untuk menepis pikiran tersebut.

Pada dasarnya ini adalah sebuah instruksi untuk melepaskan dan mengurangi kemelekatan. Di satu saat kita akan menyadari adanya keinginan yang tak bisa ditepis, tapi kita bisa melatih untuk meredam keinginan dan pemikiran tersebut. Terkadang kita mungkin merasa bahwa kita tidak bisa meredamnya. Tidak apa, karena ini adalah sebuah proses. Dan sangat mungkin, ini adalah komitmen seumur hidup karena sudah menjadi cara atau gaya hidup.

Proses ini tentu ada naik dan turunnya. Kita akan menyadari bahwa ketidaksempurnaan selalu terjadi. Kita ‘melihat’ bahwa kita terkadang mudah dibengkokkan, cemburu, agresif, atau penuh nafsu. Namun, ketika kita berkeinginan untuk lebih baik hati, kita mulai menyadari adanya keegoisan. Ketika kita ingin murah hati, kita menyadari adanya ketamakan. Dengan mengenali perasaan dan pemikiran ini secara jujur dan welas asih, belajar untuk melepas diri dan lebih lunak akan segala hal, ini adalah jalur menuju pencerahan. Di sinilah kebodohan mental mulai tergerus. Kita juga mulai membangun kepercayaan untuk lebih terbuka dan berbaik hati pada keberadaan diri.

Seperti yang sudah dipaparkan, bila kita mengukur kemajuan spiritual berdasarkan tingkat menurunnya kebodohan mental, kita pasti akan gagal. Selama kita merasakan adanya emosi yang kuat atau kedamaian yang kuat, kita akan merasa bahwa kita gagal. Akan menjadi sangat membantu bila kita mentargetkan tujuan kita untuk lebih mengenali pada hal-hal yang membuat kebodohan mental kita menguat dan bagaimana mengeliminasinya. Karena tujuan ini lebih cair dan kita akan terbuka untuk pembelajaran pada banyak hal. Ini adalah eksplorasi tanpa tujuan, dan berarti tidak ada kegagalan dalam eksplorasi ini. Selama tujuan kita adalah mencapai kesempurnaan dan kesuksesan, kita tidak akan belajar tentang relasi tanpa pamrih maupun menemukan rasa welas asih. Kita hanya akan terus terjebak pada apa yang benar dan salah, menjadikannya lebih solid namun tertutup pada esensi kehidupan yang selalu dinamis.

Ketika kita berlatih untuk melepaskan diri, kita melatih pemikiran kita untuk lebih pemaaf dan memiliki rasa humor. Dan kita berlatih untuk membuka sebuah ruang welas asih, di mana benar dan salah bisa melebur. Kita belajar untuk melepaskan pemikiran dari “tujuan” dan konsep “kemajuan”, karena di sinilah, pada proses pelepasan, hati kita terbuka dan melembut –sebuah proses yang akan terus terjadi berulang kali. (www.lionsroar.com)

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *