• Sunday, 15 March 2020
  • Reza Wattimena
  • 0

Ketika belajar di negara lain, saya seringkali terlibat dalam beragam seminar ilmiah. Seperti namanya, seminar itu memang sangat kering dan membosankan. Hal-hal seru justru terjadi di malam hari, setelah seminar selesai. Kami berkumpul, minum, ngobrol dan menari sampai pagi.

Itu adalah peristiwa internasional. Puluhan orang dari berbagai negara berkumpul, berdiskusi dan, kemudian, menari bersama. Sayangnya, saya tidak bisa menari. Saya memilih untuk ngobrol, sambil minum bir.

Entah mengapa, saya selalu kaku, jika diajak menari. Saya merasa sangat tidak percaya diri. Padahal, untuk hal-hal lain, saya cenderung cuek, bahkan tidak tahu malu (tanya mahasiswa yang sering saya ajar). Ini memang agak aneh.

Namun, ada satu perkecualian. Karena bir Jerman yang memang sangat nikmat dan murah (untuk ukuran gaji Eropa tentu saja), saya lalu minum banyak, dan merasa agak mabuk. Tiba-tiba, ada lagu Rock berkumandang, dan saya langsung naik ke meja makan, sambil melakukan head bang gaya anak metal. Akhirnya, semua orang ikut naik meja, dan suasana menjadi ramai.. alias hancur.

Hanya itu sekali dalam seumur hidup, saya menari. Bahkan, itu juga tidak bisa disebut menari. Itu lebih tepat disebut sebagai “mengangguk-anggukan kepala”. Yah, Cuma itu yang saya bisa.

Sebagai orang yang jatuh cinta pada filsafat, saya pun bertanya, adakah filsuf yang berbicara soal menari? Pikiran saya langsung tertuju pada Friedrich Nietzsche, seorang pemikir Jerman. Ia terkenal dengan pandangan-pandangannya yang liar. Dan ternyata benar. Jantung hati pandangan Nietzsche bukanlah teori filsafat, tetapi laku menari (Tanzen).

Nietzsche dan tarian

Nietzsche menulis dengan gaya yang unik. Tak banyak yang sungguh mengerti pandangannya. Mungkin juga, pandangannya tidak untuk sepenuhnya dimengerti. Memahami Nietzsche berarti orang jatuh pada salah paham.

Ia menulis banyak sekali tulisan-tulisan pendek, aforisme, puisi dan karya fiksi. Di ranah filsafat, Nietzsche terkenal dengan konsep-konsep liarnya, seperti Manusia Atas, Kembalinya yang sama secara Berulang, Pembalikan Nilai-nilai dan memeluk hidup seutuhnya. Pribadinya pun unik. Ia mendukung dan kemudian mencela karya-karya musik jamannya, seperti karya Richard Wagner dan tulisan-tulisan Arthur Schopenhauer.

Membaca karya-karya Nietzsche, kita tidak akan berjumpa dengan pandangan-pandangan yang logis dan runtut. Ia tidak punya pola baku. Ia tidak mengambil posisi yang jelas. Ia bisa menyerang dengan argumen, sekaligus bertahan, pada saat yang sama.

Lepas dari kerumitan karya-karyanya, satu pandangan terus berulang: memeluk kehidupan seutuhnya (JA Sagen). Hidup adalah sesuatu yang kompleks. Ia tidak bisa disempitkan pada satu pandangan moral tertentu. Ia juga tidak bisa disempitkan pada satu pandangan filsafat tertentu.

Maka, menari adalah jawabannya. Pada saat menari, tubuh dan pikiran melebur. Tak ada masa lalu. Tak ada masa kini.

Menari merangsang semua organ. Ada rangsangan pendengaran lewat musik yang berdetak. Ada rangsangan gerak yang memicu otot bekerja. Tentu saja, ada rangsangan seksual yang mengalir deras.

Dengan menari, menurut Nietzsche, orang tetap setia pada bumi. (LaMothe, 2020) Orang tetap setiap pada kompleksitas. Ia tidak membelah dunia ke dalam baik buruk, ataupun benar salah. Semua melebur dalam kenyataan disini dan saat ini.

Di dalam tarian, ada kegilaan yang bercampur dengan pencerahan. Ada rasionalitas yang bercampur dengan hasrat. Ada penderitaan yang bercampur dengan kebahagiaan. Ada kesucian yang berbalut dengan kerakusan.

Inspirasi Nietzsche adalah kebudayaan Yunani Kuno. Di masa itu, tarian adalah upaya untuk memeluk hidup seutuhnya. Tarian lebih penting daripada pemikiran abstrak teoretik. Di dalam tari, hidup dan mati dilampaui.

Nietzsche juga banyak berbicara soal pengalaman paradoksal manusia. (LaMothe, 2020) Dengan menari, katanya, ego pribadi melebur. Orang menjadi satu dengan suara. Artinya, orang menjadi satu dengan unsur kreatif alam itu sendiri.

Dengan melebur, orang menemukan rasa gembira. Tubuh melebur menjadi satu kesatuan irama. Kenyataan adalah campuran gerak yang terus berubah. Hidup pun menjadi tampil seutuhnya, yakni sebagai kekuatan yang menciptakan dan menggerakan semesta, serta memberi kenikmatan tiada tara.

Bagi Nietzsche, seni adalah tiruan dari kehidupan. Seni lebih tua daripada bahasa. Ia ada tanpa arah, dan terus bergerak tanpa pola. Dan, tari adalah bentuk seni tertinggi, karena ia melibatkan semua unsur kehidupan, dari suara sampai raga.

Namun, agama menekan seni dan tari. Keduanya dianggap pengumbaran nafsu belaka. Keduanya mengundang dosa. Kehidupan pun terjebak pada kedangkalan, dan peradaban manusia menjadi cacat.

Maka, Nietzsche menegaskan, bahwa Tuhan (yang tak suka menari) sudah mati, dan kita yang membunuh-Nya. Kita harus membunuh-Nya, kata Nietzsche. Lalu, hidup pun tampil kembali di dalam seni dan tari. Kematian Tuhan (yang tak suka menari) menumbuhkan kembali cinta manusia pada kehidupan.

Tuhan yang menari

Barangkali, puncak karya Nietzsche tentang tari dalam dilihat dalam bukunya yang berjudul Also sprach Zarathustra: Ein Buch für Alle und Keinen. Di dalam buku tersebut, Zarathustra berkata, „Kamu orang-orang yang mengaku berstatus tinggi. Yang paling buruk dari kamu adalah bahwa kamu tidak belajar menari sebagaimana orang harusnya menari – menarilah sampai dirimu hilang… Aku hanya percaya pada Tuhan yang tahu caranya menari.“

Tari adalah upaya memeluk kehidupan. Tari lahir dari kesadaran, dan melampaui kesadaran itu sendiri. Dengan menari, orang membebaskan dirinya dari dirinya sendiri, termasuk dari kemarahan, dendam dan kesedihan. Orang lalu berkata „YA!“ pada kehidupan.

Ungkapan ini bukan hanya ungkapan akal budi, tetapi ungkapan seluruh eksistensi. LaMothe menulis, „Kemampuan untuk memeluk kehidupan memerlukan laku tubuh yang mendisiplinkan pikiran sesuai dengan ritme-ritme alam, pada kreativitas dari panca indera dan pada akal budi yang agung.“ Dengan menari, dan melakukan laku tubuh, kita memiliki kesadaran untuk menjalani hidup dalam segala kepenuhannya.

Shiva

Membaca Nietzsche dan uraian LaMothe, saya jadi teringat sosok Shiva di dalam spiritualitas India. Shiva adalah sesuatu yang tak bisa disebut. Ia bisa bergolak bergerak menghancurkan segala yang ada. Lalu, ia bisa tenggelam dalam hening begitu dalam.

Di dalam tradisi Hindu, Shiva dijadikan Mahadewa. Namun, pada hemat saya, ia lebih dari itu. Ia adalah alam semesta itu sendiri. Ia adalah materi gelap yang memenuhi alam semesta. Segala sesuatu lahir darinya, dan kembali padanya.

Shiva adalah „Tuhan“ yang bisa menari. Lewat tariannya, ia menghancurkan segala sesuatu. Lewat keheningannya yang dalam, ia melahirkan segala sesuatu. Ah, menulis ini, saya jadi terdorong untuk menari. Saya menari dulu ah…

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *