• Saturday, 3 March 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

Hari ini pikiranku benar-benar kacau. Malam hingga pagi aku sulit memejamkan mata. Aku mencoba bermeditasi, tapi pikiranku seperti kera liar yang terus melompat ke sana ke sini. Aku benar-benar tak bisa mengendalikannya.

Problem kali ini, memang benar-benar problem terberat yang aku alami. Saat papa meninggal dua tahun lalu, atau saat mama meninggal tahun lalu, aku dapat melaluinya dengan mudah. Anicca, satu kata yang membuatku mudah menerima kenyataan.

Kedua masalah terbesar yang pernah terlintas di benakku saat aku menjadi umat awam, bagaimana jika nanti papa dan mama meninggal. Aku pasti mengalami hal itu dan aku pasti akan kesulitan melewatinya. Berhari-hari aku sulit tidur. Aku tidak berani menceritakan problemku pada papa dan mama.

Aku pernah cerita pada teman dekatku, ia malah menertawakanku. “Itu masih lama, ngapain dipikirin. Itu bikin kamu stres sendiri. Mending kita main bola yuk…” katanya.

Dalam keluargaku, nuansa spiritualnya tidak terasa. Aku dari keluarga keturunan Tinghoa, di KTP kedua ortuku tertulis beragama Buddha. Kami, anak-anaknya juga sama, beragama Buddha. Bagaimana berdoa menurut agama Buddha, kami tidak tau. Riwayat Buddha saja kami tidak tau. Apa itu Waisak juga tidak tau. Kitab sucinya kami tidak punya. Kami hanya sembahyang 1 tahun 4 kali, saat tahun baru Imlek, Ceng Beng, makan onde, dan makan bakcang.

Doanya? Aku juga tidak tau. Aku bicara sendiri dengan kalimat sendiri saat 3 batang hio sudah dinyalakan dan diberikan kepadaku. “Tuhan, semoga kami sehat, banyak rezeki, bla.. bla… bla…” begitu yang kuingat. Hanya mengulang semua perkataan ortu saat mereka sembahyang.

Meski begitu, suasana di rumah cukup nyaman. Kami tak paham ajaran Buddha, tapi papa dan mama menjalani hidup dengan baik. Mereka mencari uang dengan cara yang baik, tidak merugikan orang lain, dan suka membantu tetangga.

Suara pintu gerbang vihara yang dibuka penjaga vihara mengembalikanku ke saat ini. Saat ini, aku masih di tempat tidur. Tadi pikiranku mengembara ke masa lalu.

Bagaimana mengatasi masalah ini? Semalam aku mengisi Dhamma Talk di sebuah gedung pertemuan. Semua berjalan lancar. Hanya setelah acara bubar, seorang anak perempuan kecil berusia lima tahun berlari menghampiriku dan langsung memeluk kakiku. “Papa… ayo pulang. Livina mau jalan-jalan sama Papa,” kata anak itu sambil menangis.

Belum sempat aku mengucapkan sepatah kata, seorang wanita tua menariknya dan membawanya pergi. “Bhante, kami pulang dulu…” kata wanita tua itu sambil menggendong anaknya yang menangis. “Papa…, Livina ingin main sama Papa. Livina ingin jalan-jalan dan digendong Papa,” teriak anak itu  di sela isak tangisnya. Aku mengenali wanita yang matanya sembap itu, ia mantan mertuaku.

Aku duduk terdiam beberapa saat. Seorang panitia melangkah mendekat, “Bhante, ada umat yang ingin konsultasi. Apakah Bhante bersedia?” tanya seorang panitia Dhamma Talk. “Silakan saja. Suruh mereka masuk,” aku duduk di dekat sebuah meja di ruangan di belakang panggung Dhamma Talk.

Setelah selesai umat berkonsultasi, seorang umat masuk. Aku mengenali beliau. Ia adalah mantan mertuaku, Pak Johan.

Bhante, saya ingin bicara sebentar,” suara mantan mertuaku. Papa Johan, demikian dulu aku menyapanya saat aku masih menjadi menantunya.

“Iya, ada apa?” aku berusaha mengendalikan emosiku. Aku harus menahan air mata yang akan mengalir keluar, teringat Livina yang tadi menangis dan memeluk erat kakiku .

“Maafkan kami Bhante… Selama ini kami sudah berusaha merahasiakan hal ini. Kami bilang papanya sudah pergi ke tempat yang sangat jauh, setiap kali ia bertanya tentang papanya. Tapi beberapa bulan lalu, tanpa setahu kami, mungkin Livina mendengar percakapan kami. Saat itu keluarga besar kami sedang berkumpul. Mungkin dari sanalah ia jadi tahu bahwa Bhante Giri Ratano adalah papanya,” mantan mertuaku berhenti sejenak.

“Hari ini kami sekeluarga menghadiri Dhamma Talk. Kami sama sekali tidak tahu jika Livina sudah tahu bahwa Bhante adalah papanya. Seminggu sebelum Dhamma Talk ini, Livina bilang ingin ikut mendengarkan ceramah Bhante, kami pun tidak ada yang curiga. Baru tadi ketika saya melihat Livina menangis histeris dalam pelukan Oma-nya, barulah saya menyadari hal ini. Maafkan kami…” Pak Johan mengakhiri ceritanya.

“Ini kejadian spontan dan di luar kendali kami. Sekali lagi kami minta maaf,” Pak Johan mengucapkan kalimat itu sambil ber-anjali.

“Sekalian saya ingin menginformasikan sebuah kabar duka. Mama Livina baru meninggal dua hari lalu. Besok Mama Livina akan dikremasi. Saya dan istri datang ke acara ini hanya untuk menyampaikan kabar duka itu secara langsung. Tadinya keluarga besar kami akan hadir di Dharma Talk ini, tapi kini hanya kami yang bisa hadir. Yang lain sibuk di rumah duka. “Bhante, saya pamit,” kata mantan mertuaku.

* * *

Setelah melalui proses panjang, akhirnya aku menjadi umat biasa lagi. Aku lepas jubah. Aku terpaksa meninggalkan kehidupanku sebagai bhikkhu. Aku mampu melewati peristiwa besar, meninggalnya Papa dan Mamaku, melewatinya tanpa terhanyut dalam kesedihan. Manyadari bahwa itu proses alami yang harus dialami setiap manusia yang terlahir di dunia ini.

Tapi tangisan Livina, anak kandungku, yang baru saja kehilangan Mamanya, aku menyerah kalah. Aku tidak tega saat mendengar suara tangisnya. Suara tangis dan ucapannya selalu terngiang di telingaku.

Dulu, Renita mengalah dengan memberi izin kepadaku untuk menjadi bhikkhu. Kini saatnya aku yang mengalah, lepas jubah dan jadi umat awam untuk membesarkan Livina, buah hati kami.

Kini, aku menjalani hari-hari sebagaimana umat awam lainnya. Bekerja mencari nafkah, menemani Livina anakku yang ingin diajak jalan ke tempat wisata atau sekedar main, mendengar ceritanya, dan duduk, bahkan tertidur di pangkuanku, Hanya saja aku tetap seorang diri, tidak ada keinginan untuk menikah lagi.

Semoga di kehidupan yang akan datang, aku dapat melanjutkan keinginanku menempuh jalan yang sudah pernah kutempuh di kehidupan ini. Kehidupan sebagai seorang bhikkhu yang membuatku merasa tenang dan nyaman, melepas semua keduniawian.

Catatan:

Cerita ini hanyalah fiktif belaka, jika ada kesamaan, itu hanya kebetulan saja.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *