• Wednesday, 27 September 2017
  • Bintoro Gunadi
  • 0

Salah satu cerita menarik mengenai makna mengail ikan atau memancing berasal dari akhir Dinasti Shang (sekitar tahun 1100 Sebelum Masehi). Diceritakan Jiang Ziya turun gunung meninggalkan gurunya saat berumur 72 tahun. Kembali ke masyarakat dan saat mengail mengherankan tetangga-tetangganya karena caranya aneh. Mata kailnya lurus, tanpa umpan, dan kailnya dilemparkan semeteran di atas permukaan air.

Tidak sembarang ikan yang dikail, tapi hanya ikan yang berjodoh atau sial saja yang meloncat terkail oleh mata kailnya. Dia sambil mengail, sabar menunggu calon pemimpin masa depan yang akan mengunjunginya dan menjadi penasihat dari raja pertama Dinasti Zhao (tahun 1046 – 256 Sebelum Masehi).

Masa kehidupan Buddha pada masa yang sama saat Dinasti Zhao berkuasa di Tiongkok. Filsafat mengail dalam cerita di atas, yang tidak menjebak atau melukai ikan, hanya ikan yang sudah ditakdirkan yang tertangkap, sesuai dengan ajaran Buddha yang penuh dengan welas asih. Buddha dengan jelas menyatakan bahwa membunuh binatang akan menyebabkan konsekuensi karma negatif dan tidak konduktif terhadap pembebasan diri untuk mencapai pencerahan.

Mengail

Mengail ikan dapat sangat mengasyikkan dan membuang waktu lama. Pemula akan selalu bertanya dapat ikan berapa hari ini, besar-besar? Sekarang sering melihat pakar pengail ikan, setelah dapat ikan, dibelai sebentar, lalu dilepas lagi. Rela melepas berapa ikan hari ini? Walaupun kasihan juga melihat ikan yang pernah terkail, lemas, terluka mulutnya sewaktu dilepas.

Sedikitnya ada 6 ekspresi wajah berbeda yang sempat terekam waktu mengalami atau melihat orang mengail ikan. Berangkat sambil memegang kail dengan semangat menggebu. Melempar mata kail dengan penuh percaya diri. Menunggu dengan sabar umpan dimakan. Menarik kail saat disambar ikan. Menangkap ikan ditangan dengan bangga. Pulang dengan wajah ceria puas (walaupun kadang tanpa tangkapan).

Tiap-tiap tahapan mengail ikan mempunyai arti tersendiri, yang paling menentukan ialah memilih dan menaruh umpan di mata kail dan ini seringkali dirahasiakan caranya. Dulu saya pernah punya patung-patung kecil porselen tiap tahapan tersebut, kadang saya tampilkan sesuai selera, entah sekarang ada di mana.

Masa lalu

Waktu kecil sempat terkagum-kagum dengan kakak seperguruan yang dapat menentukan akan mengail ekor ikan, bukan lewat mulut ikan dan berhasil karena saking banyaknya ikan di dekat mata air yang jernih. Atau saking asyiknya melihat kakak seperguruan memancing belut di lumpur di dekat sawah dengan kail di tangan tanpa senar. Kadang tergigit belut jarinya dan begitu dapat langsung gantian menggigit belutnya supaya tidak melepaskan diri karena licin sangat berlendir.

Saat mahasiswa pernah ikut ahlinya mengail di laut bersama anaknya yang masih kecil bersama teman kos. Panasnya pantai membuat mimisan anaknya, sampai sore bertahan di perahu, tanpa ada kata pulang. Mengail ikan menjadi hambar kalau ada yang ingin pulang duluan.

Kejadian miris pernah terjadi sewaktu SMA. Kail kesayangan saya taruh di atas almari makan. Mengingatkan supaya konsisten dengan prinsip kuno, dapat ikan jangan dibuang atau untuk mainan, tetapi digoreng dimakan. Entah bagaimana jari ayah saya pernah terkena mata kail tersebut, berlepotan berdarah, tidak dapat lepas mata kailnya, terpaksa saya antar ke rumah sakit.

Saya kagum dengan pak manteri yang sangat terampil, pangkal mata kail tempat senar dipotong dengan catut kecil lalu ditarik ke depan menembus kulit daging. Kurang dari semenit langsung lepas mata kailnya dan berkurang sakitnya. Kagum juga saya tidak dimarahi ayah, cuma dinasihati kalau terkena kail tariklah ke depan jangan sekali-kali ke belakang.

Di pasar lelang Amsterdam bersama teman pernah ikut lelang lukisan. Lukisan tersebut mengenai dua anak muda sedang mengail ikan bersemangat di tepi laut berombak dengan latar belakang dua orang tua samar-samar juga memancing ditempat lebih tenang berkabut. Lukisan tersebut didapatkan oleh orang lain yang lebih piawai dalam lelang melelang. Setelah menembus harga 300 gulden. Cukup puas berkesan menikmati, melihat sekali lukisan tersebut.

Mudik yang lalu mencoba mengail di Rawa Pening, ikannya jauh sekali berkurang, juga makin pandai dalam memilih umpan musiman ganggang (algae) vegetarian yang dijual di sekitar rawa.

Mudik yang akan datang siapa tahu ada kesempatan mencoba mengail tanpa umpan. Kemajuan teknologi menciptakan radar pendekteksi ikan (fish detector) untuk menemukan sarang ikan atau umpan buatan yang sangat canggih bentuknya dengan bau pheromone segala dan warna buatan yang mengelabui ikan.

Mengail menjadi kurang menantang, lebih curang, tidak alami dan sekedar hobi tangkap-lepas yang mahal harganya. Prinsip mengail dapat diterapkan disegala bidang, cuma kalau setelah dapat dilepaskan lagi, itu bukan budaya kita yang mudah dilakukan.

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *