• Saturday, 25 December 2021
  • Reza Wattimena
  • 0

Sejak kecil, kita diajarkan untuk menjadi juara. Kita diminta untuk melakukan yang terbaik di segala hal. Sistem sekolah mendukung hal itu. Sistem ekonomi kapitalisme Indonesia juga sejalan dengan itu.

            Namun, kita tak pernah diajarkan untuk kalah. Kita tidak pernah diajarkan untuk menderita. Padahal, di dalam hidup, orang tak selalu bisa menang dan senang. Derita dan kekalahan kerap datang berkunjung, tanpa diundang.

            Akibatnya, ketika derita datang, kita panik. Kita hanyut dalam emosi berlebihan. Kita marah secara berlebihan. Atau, kita tenggelam dalam kesedihan yang berlarut-larut.

Ajaran Salah

            Di hadapan emosi kuat, biasanya ada dua cara yang diajarkan masyarakat. Pertama, kita perlu mengekspresikannya. Ini berbahaya, karena bisa melukai orang lain. Kedua, kita menekannya, atau mencari pelarian. Ini juga berbahaya, karena tidak menyelesaikan masalah, dan memendam emosi kuat juga merusak kesehatan.

            Juga ketika kalah, kita sulit menerima. Bahkan, hati kita penuh dengki dan dendam, ketika menderita kekalahan. Kita pun mulai berniat jahat. Kita menempuh cara-cara curang untuk mencapai keinginan kita.

            Maka, kita perlu untuk belajar untuk kalah. Kita perlu belajar untuk menderita. Ini merupakan salah satu hal penting di dalam menjalani hidup. Tanpa kemampuan untuk menderita, hidup justru akan terasa amat berat.

Belajar untuk Menderita

            Ada enam hal yang penting untuk diperhatikan. Pertama, semua penderitaan lahir dari pikiran. Emosi juga adalah sebentuk pikiran, namun dengan energi lebih kuat. Ketika pikiran muncul, cukup diamati dengan tenang. Jangan menilai, menolak atau mengejar pikiran. Cukup amati dengan tenang dan lembut.

            Pikiran itu sementara sifatnya. Ia tidak memiliki bentuk yang kokoh. Ia seperti pelangi. Pikiran ada, namun transparan, dan sementara. Ketika kita mengamatinya, pikiran akan muncul, dan akan segera pergi.

            Dua, pikiran berubah. Namun, kesadaran tidaklah berubah. Kesadaran ini bersifat kosong, namun sepenuhnya hidup. Ia adalah sang pengamat di dalam diri. Ia berada sebagai latar belakang dari semua pengalaman kita. Kesadaran ini adalah diri kita yang alami, yang sejati.

            Kita perlu mengenalinya. Lalu, kita perlu berada bersama kesadaran sesering mungkin: menyadari kesadaran. Pikiran dan emosi tidak akan menganggu kita. Mereka datang, dan pergi dengan leluasa.  

            Tiga, kita perlu belajar dari filsafat Stoa tentang amor fati, yakni menerima segala yang terjadi dengan lapang dada. Apapun yang terjadi, itu sudah merupakan jalan kita. Tuhan atau semesta yang menghendakinya. Kita perlu menerimanya dengan lapang dada, dan melakukan apa yang kita bisa untuk menanggapinya.

            Empat, kita juga perlu sadar, bahwa hidup ini sementara. Kematian bisa menjemput setiap saat. Inilah yang disebut sebagai memento mori, yakni mengingat terus, bahwa kita akan mati. Dengan kesadaran akan kematian ini, hidup kita jadi berharga dari saat ke saat. Tak ada waktu yang dibuang percuma untuk marah, dendam atau sedih berlarut-larut.

            Lima, Simon Sinek, pemikir asal Amerika Serikat, punya pandangan menarik tentang hidup. Baginya, hidup itu adalah permainan tak terbatas. Kadang kita kalah. Kadang kita menang. Kadang kita bahagia. Terkadang kita menderita.

Itu semua tak menjadi masalah. Kita hanya perlu melakukan yang terbaik setiap saatnya. Kita hanya perlu mengenali jati diri kita yang asli, dan berusaha sebaik mungkin atas apa yang kita lakukan. Ini, menurut Sinek, adalah jalan hidup yang terbaik.

            Enam, para master Vajrayana dari aliran Buddha Tibet berulang kali mengingatkan: dari kaca mata absolut, tak ada yang kalah dan tak ada yang menang dalam hidup ini. Tak ada yang bahagia, dan tak ada yang menderita. Kita hanya perlu melihat hidup ini dari kaca mata absolut tersebut.

            Artinya, kita mengambil peran sebagai pengamat yang netral. Di hadapan kita, ada kehidupan dengan segala warnanya. Itu semua seperti tarian. Kita adalah penonton netral yang melihat itu semua, dan mungkin terkadang ikut menari.

            Belajar untuk menderita adalah salah satu hal terpenting dalam hidup. Kita tak boleh mengabaikannya. Jika tak memahami cara untuk menderita, maka kita belum mengerti hidup di dalam keseluruhannya. Hidup kita pincang. Ketika derita berkunjung, kita pun jatuh terpuruk. Apakah itu yang kita inginkan?

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *