• Monday, 8 June 2020
  • Reza Wattimena
  • 0

Bodohnya saya. Jam 2 pagi terjebak di jalan raya Jakarta. Jalanan kosong. Bensin motor habis. Saya boncengan bersama seorang teman. Motor mogok.

Ini terjadi untuk kedua kalinya. Di kedua kesempatan tersebut, saya meminjam motor teman. Keduanya tak ada sensor bensin. Akibatnya, bensin menipis, tanpa sepengetahuan saya.

Saya pun mendorong motor, mencari pom bensin. Jauh sekali jaraknya. Itu pun belum tentu buka. Keadaan penuh kecemasan dan ketidakpastian.

Pikiran pun mengembara. Bagaimana jika ada rampok? Bagaimana jika ada pembunuhan? Kecemasan pun meningkat.

Sekitar 15 menit kemudian, empat motor lewat. Anak-anak muda pengendaranya. Mereka tak pakai helm, bahkan merokok, sambil mengendarai motor. Wah, kecemasan meningkat cepat. Bagaimana kalau mereka adalah preman yang hendak merampok kami?

Salah seorang pengendara berhenti, dan bertanya kepada kami. Percakapan pun terjadi. Saya menjelaskan, bahwa motor mogok, karena bensin habis. Setelah bercakap-cakap di antara mereka, salah satu seorang pengendara memutuskan untuk mendorong motor kami untuk mencari pom bensin yang buka.

Saya dan teman saya pun kaget. Apakah kami akan digiring ke tempat terpenting untuk dirampok dan diperkosa (siapa yang mau perkosa elu Za?)? Apakah kami akan disandera untuk diminta tebusan miliaran rupiah (nyokap lo rela deh elo diculik Za, daripada bayar miliaran rupiah)? Berbagai pikiran jelek datang berkunjung.

Sampai pom bensin, semua ternyata aman. Saya dan teman mengucapkan terima kasih. Saya pun mengeluarkan uang 20 ribuan untuk membayar para pengendara motor yang sudah membantu kami. Mereka menolaknya, lalu melanjutkan konvoi pagi hari mereka. Hmmm…

Pesimis dan sinis

Saya dua kali mengalami kejadian serupa. Dua hal yang saya pelajari, atau semakin saya yakini. Penampilan bisa menipu. Preman jalanan ternyata siap menolong tanpa pamrih.

Manusia pun pada dasarnya baik dan bersahabat. Hanya orang yang takut dan kesepian, yang siap menyakiti orang lain. Pasti banyak yang tak setuju dengan pandangan ini. Mari kita bedah lebih jauh.

Di abad ini, banyak orang jatuh ke dalam sikap pesimis dan sinis. Mereka tak percaya, manusia itu baik. Sebaliknya, manusia harus dikekang dan diancam oleh hukuman, supaya mereka bertindak baik. Agama sudah siap memberikan neraka bagi mereka yang melanggar moral dan hukum agama.

Jika ada orang baik, kita langsung berpikir, ah pasti ada maunya. Pasti ada kepentingan tersembunyi. Ketulusan itu tak ada di muka bumi ini. Lihat saja, nanti dia pasti akan menunjukkan wajah aslinya, yakni wajah penjahat. Begitu pikiran kita berkata.

Jangan membaca berita sampah!

Mengapa kita berpikir seperti itu? Mengapa kita menganggap, bahwa manusia itu jahat aslinya? Ada dua sumber dari cara berpikir merusak seperti ini. Yang pertama adalah dari berita, dan yang kedua adalah miskinnya cara berpikir kritis kita, baik dalam hidup sehari-hari, maupun dalam soal beragama.

Pertama, media sudah berubah sekarang ini. Mereka tidak lagi mendidik masyarakat untuk berpikir cerdas dan kritis. Mereka tidak lagi pilar demokrasi. Media sudah menjadi penyebar fitnah, penjilat pemerintah dan penipu masyarakat.

Berita dibuat berlebihan, sehingga membuat masyarakat heboh dengan rasa cemas. Fakta tak dicek lagi. Gambar dibuat seprovokatif mungkin. Semua demi meraup untung sesaat, sambil merusak tatanan masyarakat yang ada.

Film juga serupa. Film mengajarkan kekerasan dan ilusi seks. Seolah kekerasan adalah jalan keluar dari banyak masalah. Seolah seks adalah urusan gampang demi kepuasan semua pihak.

Berbagai penelitian menegaskan, bahwa film dan berita media kini membuat masalah kesehatan mental. (Bregman, 2020) Orang hidup dalam kesalahan berpikir tentang manusia lainnya. Mereka mengira, orang itu, pada dasarnya, jahat dan rakus. Mereka pun hidup dalam takut, cemas dan bahkan depresi berat, tanpa alasan yang masuk akal.

Maka lebih baik, jangan membaca berita-berita pendek yang heboh dan tak jelas. Semua itu menyebarkan kesesatan dan kebohongan. Bacalah analisis yang mendalam atas suatu peristiwa. Sayangnya, semakin jarang media yang menyediakan hal ini.

Berita itu adalah peristiwa perkecualian. Ia tak terjadi di banyak tempat. Maka, ia lalu jadi berita. Jangan mengira, berita menggambarkan keadaan masyarakat keseluruhan secara nyata. Itu sesat.

Agama dan miskinnya sikap kritis

Dua, beberapa agama juga gemar menyebarkan paham sesat, bahwa manusia itu jahat dan buruk pada dasarnya. Maka, agama perlu membuat hukum yang beragam, guna mengontrol manusia. Pemuka agama lalu memperoleh keuntungan besar dari penerapan hukuman ini, baik dalam bentuk uang maupun penghormatan semu masyarakat.

Namun, ada beberapa agama di Asia yang menolak pandangan tersebut. Bagi mereka, manusia, pada dasarnya, adalah mahluk yang penuh kasih dan kebijaksanaan. Asal, ia mampu melatih batinnya. Beberapa agama ini mengembangkan beberapa laku hidup untuk mengantarkan manusia pada kebijaksanaan yang sudah ia punya dalam dirinya sendiri.

Pada akhirnya, kita percaya, bahwa manusia itu jahat, karena miskinnya sikap kritis dalam diri kita. Kita jatuh pada trauma kita. Kita percaya buta pada media dan film yang sesat. Kita tidak berpikir kritis pada pandangan kita sendiri, maupun pada agama yang kita anut. Padahal, semua data dan penelitian menujukkan dengan lugas, bahwa manusia, aslinya, adalah makhluk yang baik dan bersahabat.

Manusia

Tentu saja, selalu ada perkecualian. Jumlah perkecualian pun amat kecil, jika dibandingkan dengan keseluruhan. Sebagian besar manusia amatlah baik dan bersahabat. Ini penting untuk kelestarian dirinya sebagai spesies.

Bukanlah makhluk terkuatlah yang tetap ada, namun yang mampu bekerja sama. Bekerja sama membutuhkan sikap baik dan bersahabat satu sama lain. Secara fisik dan intelektual, manusia tak jauh berbeda, bahkan lebih lemah, jika dibandingkan dengan hewan. Namun, karena ia baik dan bersahabat satu sama lain, manusia bisa bekerja sama, dan menguasai bumi ini dengan peradabannya (Survival for the Friendliest).

Pembacaan yang cermat dan kritis atas data sejarah membuktikan hal ini. Perang adalah perkecualian di dalam peradaban manusia. Sebagian besar sejarah manusia adalah sejarah kerja sama dan persahabatan. Jangan sampai perkecualian kita anggap sebagai keseluruhan, karena film, media ataupun agama yang sesat.

Itu adalah kesalahan berpikir. Buahnya hanyalah ketakutan dan kesalahpahaman. Ketika ini terjadi, kita mewujudkan ketakutan kita sendiri. Kita pun lalu saling curiga, membenci dan berperang satu sama lain. Inilah ramalan yang mewujudkan dirinya sendiri (self-fulfilling prophecy).

Sebaliknya, jika kita melihat dunia apa adanya, maka akan terlihat, bahwa sebagian besar manusia bersikap baik dan bersahabat satu sama lain. Kita hanya perlu membuka mata kita pada kenyataan ini. Maka, cara berpikir kita pun akan sesuai kenyataan. Kita saling percaya, dan bekerja sama mewujudkan dunia yang penuh kedamaian.

Kita semakin damai

Para sejarahwan perang memiliki data yang menarik. Dari semua perang yang tercatat dalam sejarah, hanya sekitar 18 persen orang yang saling membunuh. (Bregman, 2020) Sebagian besar menghindari konflik, walaupun perang sedang terjadi. Beberapa wawancara menunjukkan, terutama dari veteran perang dunia kedua, bahwa mereka tak saling ingin membunuh, walaupun bermusuhan di medan perang.

Kenyataan jelas amat berbeda dengan film. Di dalam film perang, kita melihat orang saling membunuh dengan beringas. Kita melihat orang saling membenci dan mencincang satu sama lain. Ini hanya film, bukan kenyataan. Jangan tertipu.

Secara alami, manusia tak memiliki dorongan untuk membunuh manusia lain. Inilah fakta sejarah. Di beberapa kebudayaan, konsep membunuh sama sekali tak ada. Bahkan, mereka tak mengenal konsep kekerasan.

Kebencian, perang dan saling curiga adalah perkecualian kecil di dalam sejarah manusia. Karena itulah kita bisa bertahan sebagai makhluk paling kuat di bumi. Kita bisa bersikap baik dan bersahabat satu sama lain. Kita bisa, dan telah, bekerja sama untuk mewujudkan hal-hal yang luar biasa. (Harari, 2011)

Di abad 21 ini, jumlah perang jauh menurun. Jumlah kematian, akibat konflik berdarah, juga menurun tajam. Jumlah konflik juga secara keseluruhan menurun. Sebagai makhluk hidup, manusia semakin bijak dari hari ke hari. Semua data menunjukkan hal ini dengan jelas. (Pinker, 2012)

Jadi, mahluk apakah kita sesungguhnya? Jawabannya jelas dan lugas. Kebaikan dan persahabatan adalah sifat utama sekaligus sifat alami kita. Semua data yang dibaca dengan cermat dan kritis membawa pada kesimpulan ini. Jangan percaya pada berita, film dan agama yang berkata sebaliknya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *