Jurnalis kok ngakunya tukang ngarit? Pertanyaan ini sekaligus menjadi judul live streaming instagram BuddhaZine pada Sabtu, 25 April 2020. Tak sekadar mempertanyakan, saya menangkap isi kalimat itu juga bernada mendislegitimasi. Utamanya soal ngarit, jelas itu membuat legitimasi saya sedikit turun.
Kelas ngarit yang saya ampu dalam helatan Festival Dusun Krecek tahun lalu nampaknya belum menjadi bahan pertimbangan bagi sang perancang pokok bahasan. Padahal bisa dibilang kelas itu sukses besar, juga mampu menarik perhatian banyak orang. Lahirnya pengarit-pengarit handal sebagai bukti tak terbantahkan, rasanya juga luput dari perhatian.
(Bapak-bapak sedang mempraktikkan pegang arit dalam kesehariannya.)
(Happy Asmara seorang pedangdut yang tetap ngarit.)
“Lebih pilih mana, menjadi jurnalis atau tukang ngarit?” pemandu program menggiring pertanyaan. Perasaan saya mulai tidak tenang, seperti ditodong untuk membuat suatu pilihan sulit.
Harus pandai membuat jawaban supaya tidak menyinggung perasaan orang, atau lebih parahnya disingkirkan. Bukan dari BuddhaZine, tetapi saya lihat ada banyak murid-murid ngarit saya yang juga ikut menyaksikan program live stream di kantor BuddhaZine.
Supaya terlihat seperti orang pintar beneran, saya menjawab dengan mengutip cerita. Thich Nhat Hanh, Guru Zen terkemuka pernah ditanya oleh seorang muridnya, “Thay, mengapa Anda harus repot-repot berkebun, bukankah lebih baik bila waktu yang Anda miliki digunakan untuk menulis sesuatu yang bermanfaat, dan menginspirasi banyak orang?”
Mendengarkan pertanyaan itu, Thay menjawab dengan singkat, “Tanpa berkebun saya tidak akan bisa menulis.” Dari jawaban Thich Nhat Hanh itu saya mempunyai tiga asumsi. Pertama, berkebun bagi Thay adalah praktik meditasi. Kedua, Thay adalah sosok bhikkhu mandiri, berkebun adalah salah satu cara manusia untuk mencukupi kebutuhan makan. Ketiga, bahkan seorang master meditasi (yang juga diakui sebagai sastrawan dengan banyak karya buku) masih membutuhkan aktivitas lain untuk menulis.
Nah, dalam konteks jurnalis (saya akui masih amatiran) atau tukang ngarit? Saya merasakan keduanya tidak bisa dipisahkan. Menulis itu susah-susah gampang. Hanya duduk di ruangan menatap layar laptop yang terang-benderang sering kali membosankan, juga melelahkan. Dalam kondisi seperti itu tentu pikiran butuh penyegaran. Jalan-jalan ke ladang, memotong rumput yang sudah panjang, memberi makan ternak dengan penuh kasih sayang menjadi aktivitas yang menyenangkan.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara