• Wednesday, 8 April 2020
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Wabah COVID-19 masih menyerang. Segala daya upaya sudah dikerahkan. Beberapa masih dinilai kurang maksimal. Contohnya saja social distancing – yang kini diganti dengan anjuran physical distancing. Himbauan demi himbauan diberikan oleh berbagai pihak, mulai dari Presiden Jokowi, STI, hingga pemimpin agama lainnya di Indonesia. Himbauan ini bermaksud agar kita dapat membatasi kontak fisik (sebelum dianjurkan pembatasan kontak sosial, tetapi setelah mendapat kritikan dan masukan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial, seharusnya yang dilakukan adalah pembatasan kontak fisik). Tetapi sayangnya, himbauan-himbauan seperti work from home (WFH), stay at home, dan lain sebagainya masih dinilai kurang efektif. Buktinya masih banyak orang yang ‘terpaksa’ keluar rumah untuk mencari nafkah.

Terbaru, kasus yang terjadi sejak digalakkannya WFH adalah banyak pekerja yang mudik lebih awal dari seharusnya. Mudik adalah tradisi tahunan yang dilakukan menjelang perayaan Idul Fitri atau lebih dikenal dengan istilah lebaran. Berhubung banyak perantau di Jakarta yang entah WFH atau tidak lagi memperoleh masukan akibat wabah COVID-19, memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya masing-masing. Bisa jadi karena kondisi kebutuhan (tidak ada pekerjaan di Jakarta), kebosanan, atau hanya keinginan untuk pulang kampung saja.

Apapun itu, beberapa pejabat dan Kemenhub menyatakan kekhawatiran mereka terkait mudik awal yang dilakukan oleh para perantau, terutama mengingat wabah COVID-19 ini yang masih menghantui. Bila kita lihat data, memang Jakarta merupakan episentrum dari wabah ini di Indonesia. Dengan segala kekurangan yang ada (kurangnya tes untuk mendeteksi infeksi virus, kurangnya tenaga medis, kurangnya kesadaran masyarakat untuk mencegah penularan virus), mudik yang lebih awal ini berpotensi besar memicu penyebaran COVID-19 lebih luas di Indonesia.

Dengan tingkat kematian lebih dari 8%, masyarakat seharusnya menyadari kegentingan dari penyebaran wabah ini. Penting bagi kita semua untuk berperan aktif dalam memutuskan rantai penyebaran virus korona baru. Tanpa dilakukan tindakan tegas dan nyata seperti lockdown, sulit rasanya kita dapat memutus mata rantai penyebaran virus ini. Tanpa lockdown, artinya pemerintah memberikan tanggung jawab kepada setiap warga untuk mengisolasi diri sendiri, baik dengan cara WFH, stay at home, dsb. Tetapi sayangnya, yang terjadi tidak demikian.

Gejala mudik awal sudah terlihat sejak beberapa hari silam. Hal ini membuat beberapa tokoh angkat bicara. Salah satunya Ketua Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban yang berpendapat sebaiknya lebaran tahun ini ditiadakan. Demikian pula Wapres Ma’ruf Amin berpendapat sebaiknya masyarakat untuk menahan diri tidak mudik pada lebaran 2020. Ini semua bertujuan untuk memutus rantai penyebaran COVID-19 ke seluruh wilayah Indonesia.

Dari sudut pandang Buddhis, wajar bila anjuran demikian dilontarkan oleh para tokoh mengingat pandemi ini masih terus berlangsung. Apalagi tren kasus menunjukkan peningkatan dan kemungkinan puncak infeksi terjadi dalam beberapa minggu kedepan. Ajaran Buddha tidaklah egois, tetapi menganjurkan kita untuk memancarkan cinta kasih (metta), kasih sayang (karuna), simpati (mudita), serta mengembangkan keseimbangan batin (upekkha). Wabah kali ini dapat menjadi ladang praktek bagi kita untuk mengembangkan empat sifat luhur ini.

Jangan bersikap egois dan memaksa untuk mudik mengingat kita semua berpotensi menyebarkan wabah ini. Cintai orang tua di rumah dengan tidak mudik karena orang-orang dengan usia lebih tua memiliki kemungkinan lebih buruk terinfeksi virus ini.

Karuna adalah rasa belas kasihan kepada mereka yang menderita. Wabah ini telah menyebabkan banyak orang menderita. Mari gunakan kesempatan ini untuk berlatih mengembangkan pikiran karuna dengan mengharapkan semoga mereka/kita terbebas dari penderitaan yang sedang dialami. Contoh yang dapat kita lakukan adalah dengan meringankan penderitaan orang lain yang sedang kesusahan, misalnya dengan memberikan makanan kepada mereka yang terpaksa bekerja di tengah kondisi seperti ini. Dengan demikian, mereka pun tidak harus terpaksa mudik lebih awal karena tidak ada nafkah di Jakarta.

Mudita adalah sikap bersimpati kepada orang lain. Ini pun semakin sering kita temui pada masa sulit seperti ini. Kita dapat mengembangkan mudita dengan cara bersimpati atas perbuatan baik yang telah dilakukan. Misalnya, ada sahabat kita yang memutuskan untuk tidak mudik tahun ini demi mencegah penyebaran virus. Kita bersimpati padanya, mendukung keputusannya, membantunya melewati tantangan yang ada.

Sedangkan upekkha adalah sikap keseimbangan batin, tidak memihak, melihat sesuatu sebagaimana adanya. Berada di tengah pandemi ini membuat kita berkesempatan untuk melatih upekkha. Jangan menyalahkan orang lain. Jangan menyalahkan pemerintah. Semua perbuatan membawa akibat buah karma. Wabah ini terjadi karena suatu sebab dan kita dapat merasakan dampaknya, tergantung pada karma kita masing-masing. Demikian pula menghadapi keinginan mudik, sebaiknya kita merefleksi dengan batin yang tenang, baik-buruknya agar tidak membawa penderitaan lanjutan.

Terakhir, kita juga dapat melatih kesabaran (khanti) kita. Wabah yang tengah melanda telah menguras banyak hal dari kita: emosi, kesehatan fisik, finansial, dan sosial. Kali ini, wabah ini pun mengancam tradisi mudik yang tiap tahun ditunggu-tunggu oleh banyak orang. Tidak banyak (hal di luar) yang dapat kita lakukan selain bersabar. Melatih kesabaran membuat hati dan pikiran menjadi lebih relaks dan tidak dihantui oleh kekhawatiran terus-menerus.

Pada masa-masa sulit seperti ini, Buddhis dianjurkan untuk mempraktekkan kesabaran, merefleksi diri dan menjadikannya sebagai sebuah pengalaman berharga. Ini adalah saat dimana khotbah Buddha dapat benar-benar kita pahami dan praktekkan:

“Dengan menjaga diri sendiri, kita menjaga orang lain.

Dengan menjaga orang lain, kita menjaga diri sendiri.

Dan bagaimana kita menjaga orang lain dengan menjaga diri kita sendiri?

Dengan mempraktekkan (sati), dengan mengembangkan (sati), dengan menjalankannya terus-menerus.

Dan bagaimana kita menjaga diri sendiri dengan menjaga orang lain?

Dengan khanti, dengan tidak menyakiti, dengan cinta kasih (metta), dengan peduli (pada orang lain).”

Sutta Sedaka, Sutta Nipata 47.19

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *